Langsung ke konten utama

Postingan

Le Coup De Foudre

Hujan turun ritmis pada sebuah permulaan malam yang gagu. Dan aku terbantun dari dekap gelisah yang mengekang kepastian hidup. Ku telusuri jejak-jejakmu yang kian lenyap terhapus fana waktu. Barangkali kau adalah masa silam yang menyisa dalam sudut-sudut kesadaranku. Ah! Kau adalah fana! Kau adalah remah yang tak memihak pada hal ihwal nyata! Kau hanya imajinasi, kau… Sudah… sudah… aku hanya seorang yang kalah. Seorang yang hanya memungutmu dalam huruf-huruf, dalam kata-kata, dalam frasa, dalam kalimat… dalam ketakhadiran. *** Sekarang aku baru tahu, ternyata hubungan kita hanya sebatas penjual dan pembeli. Ya, sebatas itu, tak lebih dan tak kurang. Huah! Sialan! Mana mungkin senyum manis yang meliuk indah dari bibirmu itu adalah senyum laba? Ah! Aku tak percaya! Sorot matamu benar-benar buat aku terpedaya, dan aura mu! Ya Aura mu benar-benar membikin aku hanyut dalam ketakberdayaan. Hingga tiap kali aku musti menyempatkan diri untuk membeli barang-barang yang kau jual. J
Postingan terbaru

Madame Bovary

    “Manusia di kutuk menjadi bebas… tapi dengan kebebasannya ia bertanggung-jawab atas segala yang dilakukannya…” Sudah jamak kita dengar kutipan ini, tentu saja, bagi kita yang pernah membaca Sartre—seorang filsuf eksisensialisme yang menempatkan eksistensi manusia sebagai   pokok terdasar kehidupan, istilah kerennya sih ontology. Nah loh, apa hubungannya dengan Madame Bovary? Novel maha karya Gustave Flaubert yang kini telah menjadi karya klasik ini?   Ada sedikit hubungan, saya kira, selepas membaca novel Flaubert ini. Namun, saya tak akan membahas keterkaitan eksisensialisme sartrean dengan novel Flaubert secara ketat di sini. Ya, sekedar melihat secara harfiah apa saja yang baru tertangkap selepas merampungkan novel ini. Madame Bovary becerita tentang keluarga Bovary dan segenap lika-liku kehidupan yang menyertainya. Kisah ini bermula dari Monsieur Bovary tua yang menikah dengan perempuan desa yang cukup kaya. Dalam perkawinan ini, monsieur bovary mempunyai anak ya

Sedikit Catatan Setelah Membaca Dunia Kafka

Membaca Haruki Murakami serasa jiwa terbawa masuk dalam lanskap teks yang begitu kaya. Kita seolah diajak berkeliling ke dunia antah-berantah, dunia imaji, dunia yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bahasanya sederhana namun sarat dengan letupan makna yang dalam. Setidaknya impresi seperti ini saya rasakan selepas membaca novelnya: Dunia Kafka ( Kafka on the Shore ) yang di terbitkan Pustaka Alvabet (2011). Dunia Kafka sarat dengan absurditas, surealisme, metafora, imajinasi yang kadang liar, ya bisa dikatakan kita sedang berlayar dalam ruang yang mustahil di jamah akal manusia. Berbeda dengan Dengarlah Nyanyian Angin yang cenderung realis, Dunia Kafka dipenuhi dengan aura magis yang bertaburan di dalam cerita—setidaknya dua novel murakami itulah yang sudah saya baca, dan tentu ketagihan pengen baca novelnya yang lain, terutama Norwegian Wood , sayang udah hilang dipasaran. L Lanjutkan...

Paradoks... Lagi... Paradoks!!!

Barangkali kita sedang merayakan paradoksikalitas. Seperti menderu dan mencekam dalam keterasingan akan kesadaran yang terombang-ambing dalam realitas. Seolah waktu mengalir menelusupkan angka-angkanya dalam tiap jengkal tubuh kita. Hingga kita merasa tubuh kita semakin termakan oleh zaman. Yah! Di sebuah zaman yang barangkali nyaris tanpa ironi. Atau barangkali saking banyaknya ironi yang bertebaran di segala sudut ruang dunia maya yang makin menggerus dunia hidup kita hari ini??? Dunia semakin menjadi palsu. Kita semakin dikangkangi oleh rezim layar gadget. Mencengangkan sekaligus memilukan. Begitulah, ketika semua hal yang tampak serta merta kita ukur dari gambar, sebuah representasi yang penuh tipuan, bahkan mengandung parody dalam dirinya sendiri. Yang nyata adalah yang tak nyata. Yang imajiner telah melebur menjadi realitas. Apakah kita sedang bergerak menuju kemajuan peradaban? Atau sebaliknya, kita sedang dikangkangi oleh hasil rekaan manusia sendiri? Sebuah ekses yang tak

Paradoxa Jawa

Saya, mungkin tak hanya saya, adalah anak yang tersesat, ling-lung, di atas tanah wiladahnya sendiri. Tuhan, dengan segala kuasa rahman dan rahim-Nya, menempatkan jasad dan jiwaku di tanah Jawa yang begitu agung tapi penuh absurditas ini. Tubuhku Jawa tulen. Dengan kulit sawo matang, hidung yang tak mancung pula tak pesek, rambut hitam yang agak bergelombang, bola mata coklat, dan paras yang tak terlalu tampan—biasa-biasa saja. Di tanah Jawa ini aku lahir dari golongan kelas menengah yang menggapai-gapai disposisi sosial seraya ingini melampauinya. Dari bumi nusantara yang subur ini aku meneguk nafas. Berkelindan dalam kehidupan rakyat yang sederhana. Mungkin dari latar belakang kelas menengah muslim setengah ‘abangan’ juga setengah ‘santri’ itu, aku dididik. Aku dibesarkan dengan kebudayaan Jawa yang tak seluruhnya bisa kuserap. Bahkan, seringkali aku tak mengacuhkannya. Entahlah, mungkin itulah yang aku rasa sekarang, terasing dari budayaku sendiri. Sebagai orang Jawa, tent