Hujan turun ritmis pada sebuah permulaan malam yang gagu. Dan aku terbantun dari dekap gelisah yang mengekang kepastian hidup. Ku telusuri jejak-jejakmu yang kian lenyap terhapus fana waktu. Barangkali kau adalah masa silam yang menyisa dalam sudut-sudut kesadaranku. Ah! Kau adalah fana! Kau adalah remah yang tak memihak pada hal ihwal nyata! Kau hanya imajinasi, kau… Sudah… sudah… aku hanya seorang yang kalah. Seorang yang hanya memungutmu dalam huruf-huruf, dalam kata-kata, dalam frasa, dalam kalimat… dalam ketakhadiran. *** Sekarang aku baru tahu, ternyata hubungan kita hanya sebatas penjual dan pembeli. Ya, sebatas itu, tak lebih dan tak kurang. Huah! Sialan! Mana mungkin senyum manis yang meliuk indah dari bibirmu itu adalah senyum laba? Ah! Aku tak percaya! Sorot matamu benar-benar buat aku terpedaya, dan aura mu! Ya Aura mu benar-benar membikin aku hanyut dalam ketakberdayaan. Hingga tiap kali aku musti menyempatkan diri untuk membeli barang-barang yang kau jual. J
“Manusia di kutuk menjadi bebas… tapi dengan kebebasannya ia bertanggung-jawab atas segala yang dilakukannya…” Sudah jamak kita dengar kutipan ini, tentu saja, bagi kita yang pernah membaca Sartre—seorang filsuf eksisensialisme yang menempatkan eksistensi manusia sebagai pokok terdasar kehidupan, istilah kerennya sih ontology. Nah loh, apa hubungannya dengan Madame Bovary? Novel maha karya Gustave Flaubert yang kini telah menjadi karya klasik ini? Ada sedikit hubungan, saya kira, selepas membaca novel Flaubert ini. Namun, saya tak akan membahas keterkaitan eksisensialisme sartrean dengan novel Flaubert secara ketat di sini. Ya, sekedar melihat secara harfiah apa saja yang baru tertangkap selepas merampungkan novel ini. Madame Bovary becerita tentang keluarga Bovary dan segenap lika-liku kehidupan yang menyertainya. Kisah ini bermula dari Monsieur Bovary tua yang menikah dengan perempuan desa yang cukup kaya. Dalam perkawinan ini, monsieur bovary mempunyai anak ya