Langsung ke konten utama

Postingan

poskolonialisme dalam karya sastra

A.       Prawacana Karya sastra telah menjadi semacam estetika yang melekat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi semacam wahana dalam mengaktualisasikan diri terhadap kondisi sosio-politik maupun sosio-budaya oleh pembuatnya. Karya sastra juga menjadi ajang penumpahan perasaan dan inspirasi tentang pandangan hidup dan kehidupan pribadi penulisnya.  Tentunya membicarakan karya sastra secara defintif sangat luas. Namun dalam hal ini, karya sastra tidak sekedar sebagai ekspresi jiwa sang penulis seperti dalam definisi kaum romantic namun juga cerminan masyarakat, alat perjuangan social, alat menyuarakan aspirasi dan nasib kaum tertindas, seperti yang terdapat dalam gagasan mengenai realism, naturalism, dan realism sosialis (Faruk, 2010: 45). Sebagai fenomena budaya, karya sastra tentu tidak lahir dari suatu ruang hampa dimana sebuah karya sastra baik itu novel, puisi, ataupun cerpen selalu merangkum fenomena social dalam kehi...

Ketika Manusia Terkomoditaskan

Jogja merupakan masyarakat yang penuh mobilitas. Mobilisasi orang-orang dalam masyarakat, juga diiringi oleh mobilisasi benda-benda konsumsi yang melingkupinya. Namun apakah kaidah mobilisasi ini bisa sebaliknya, berasal dari mobilisasi benda-benda yang melatari mobilisasi orang-orang dalam masyarakat kita saat ini. Asumsi hubungan antar benda inilah yang kemu d ian mengandaikan hubungan antar orang-orang dalam masyarakat yang mengiringinya, sehingga entitas manusia tidak lagi mengandaikan humanisme nya, tapi lebih mengandaikan hubungan antar benda yang disejajarinya. Semacam ‘objektifikasi khayali’ hubungan antara orang-orang yang mengambil hubungan antar benda-benda. Inilah yang kemudian masyarakat sampai pada fase komoditas yang tidak lagi melekat pada benda-benda tapi sudah sampai pada entitas manusia dalam masyarakat. Manusia sebagai komoditas begitu jelas nampak pada perilaku mobilisasi masyarakat Jogja sebagai kota industri hari ini. Produktifitas sebagai pakem dalam masyaraka...

Kebangkitan Pemuda, Kebangkitan Indonesia

Setiap tanggal 28 Oktober tentu tak akan hilang dari memori kita sebagai sebuah bangsa bahwa dalam rentang sejarah terbentuknya nation state Indonesia melawan imperialialisme Belanda terjadi sebuah integrasi kesadaran nasional. Kesadaran yang mulai melunturkan primordialisme kelompok tersebut terangkum dalam rangkaian teks yang kita kenal dengan nama ‘sumpah pemuda’. Sumpah pemuda merupakan titik awal terbentuknya suatu kesadaran nasional yang berbasis pada kesamaan nasib. Dimana seluruh entitas kebangsaan yang majemuk terlebur dalam sebuah konsensus bersama. Bahkan dalam pandangan buya Syafii maarif sumpah pemuda   lebih pantas disebut sebagai awal kebangkitan nasional, bukan terbentuknya organisasi budi utomo yang dalam versi pemerintah selama ini merupakan awal terjadinya kebangkitan nasional. Dalam pandangan buya syafii maarif secara historis diakuinya budi utomo sebagai awal kebangkitan nasional adalah cacat . karena pada waktu terbentuknya budi utomo belum terjadi sebuah...

IMM: aksi menolak komersialisasi pendidikan

Mahasiswa IMM mengkritisi buruknya pendidikan di Indonesia dengan menyatakan menolak kapitalisasi dan liberalisasi dunia pendidikan serta menyuarakan pendidikan murah ntuk rakyat. (Adhitya Pandu Murti Aksi damai dilakukan dengan menggelar aksi di tengah titik nol kilometer atau di simpang empat Kantor Posa Besar Yogyakarta. (Adhitya Pandu Murti) Dana triliunan rupiah untuk pembangunan gedung baru DPR di kritik keras karena dana tersebut bisa digunakan untuk membangun gedung-gedung sekolah. (Adhitya Pandu Murti) Tolak liberalisasi pendidikan karena mengakibatkan rakyat miskin tidak bisa memperoleh hak mengenyam pendidikan. (Adhitya Pandu Murti) sumber :http://foto.detik.com/readfoto/2011/05/04/132619/1632160/157/1/mahasiswa-tolak-komersialisasi-pendidikan

kapitalisme, benih dekadensi moral

                                                  Apa yang terbesit di pikiran kamu ketika melihat komik di atas? Didasari dengan asumsi setiap manusia memiliki kebutuhan akan rasa nyaman, maka interpretasi saya, seorang kakek kapitalis panjang akal dan berorientasi pada uang, yang mengubah sesuatu yang seharusnya bisa didapatkan lelaki itu secara gratis. Walhasil, lelaki itu dengan terpaksa harus membayar apa yang sudah si kakek buat agar dia tetap bisa mendapatkan kenyamanan. Gambar di atas memberi kita gambaran sederhana mengenai kapitalisasi yang sedang terjadi. Tanpa kamu sadari,  fasilitas-fasilitas hiburan  dalam dan luar ruangan pelepas penat (bisa kau tebak sendiri, ratusan ragam fasilitas hiburan) atau juga  pusat-pusat perbelanjaan disediakan  oleh kakek-kakek  kapitalis  ...