Langsung ke konten utama

kapitalisme, benih dekadensi moral

                     
                           
Apa yang terbesit di pikiran kamu ketika melihat komik di atas? Didasari dengan asumsi setiap manusia memiliki kebutuhan akan rasa nyaman, maka interpretasi saya, seorang kakek kapitalis panjang akal dan berorientasi pada uang, yang mengubah sesuatu yang seharusnya bisa didapatkan lelaki itu secara gratis. Walhasil, lelaki itu dengan terpaksa harus membayar apa yang sudah si kakek buat agar dia tetap bisa mendapatkan kenyamanan.
Gambar di atas memberi kita gambaran sederhana mengenai kapitalisasi yang sedang terjadi. Tanpa kamu sadari, fasilitas-fasilitas hiburan dalam dan luar ruangan pelepas penat (bisa kau tebak sendiri, ratusan ragam fasilitas hiburan) atau juga pusat-pusat perbelanjaan disediakan oleh kakek-kakek kapitalis di luar sana yang sudah mencuri hak kita, lalu mencari segala cara agar kita mau tidak mau membeli kenyamanan dari mereka, dan tanpa disadari saya dan kamu-kamu sudah berada dalam lingkaran setan konsumerisme. 
Membahas konsumtif, adalah sebuah kata sifat. Penggambaran tepat untuk sebuah sikap yang sedang menyebar di masyarakat kalangan menengah ke atas dari sebuah negara yang dikenal sebagai negara dunia ketiga. Miris memang. Di saat masyarakat miskinnya kesulitan air bersih, jaminan kesehatan dengan birokrasi seabrek, kesulitan membeli sembako, susah payah untuk menyambung hidup. Bahkan baru-baru ini ada cerita tentang Pak Supriono yang membawa mayat anaknya di gerobak karena tidak mampu menyewa ambulans. Masyarakat kelas atas mampu belanja dan belanja terus. Seolah dalam hidupnya kebutuhan-kebutuhan premier dan sekunder mereka harus terus berganti setiap harinya, belanja terus sampai mati*!
Kau tahulah bagaimana kehidupan sebagian besar kaum sosialita di negara kita, dari satu ke pesta ke pesta, dari satu butik mewah ke butik mewah lainnya. Atau tidak usah jauh-jauh deh, di sekeliling kita saja. Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang disediakan, kita juga tidak berhenti membeli jasa dan barang. Belum lagi barang-barang impor dari pemimpin kapitalis yang menawarkan teknologi terbaru dan semua orang pun langsung kalap membelinya. Semua kalangan, dari balita hingga dewasa, bersaing untuk menjadi si empunya pertama walaupun nyatanya utilisasi produk sangat minimal, karena belum membutuhkannya, tapi ingin atas bujukan setan hasrat yang dijebak zaman*. Ibadah pun sekarang menjadi manifestasi para kapitalis. 
Tenang saya tidak munafik, saya pakai produk teknologi, tapi karena saya sudah bekerja menurut saya wajar. Saya juga suka berbelanja, tapi hati kecil saya selalu merasa ketika saya dengan mudahnya mengeluarkan beberapa lembar uang merah hanya untuk membeli sepasang sepatu lalu dalam perjalanan pulang saya melihat kakek tua renta yang memanggul dagangannya dengan susah payah. Makanya sekarang saya lebih suka membeli pakaian bekas atau pakaian diskon. Murah meriah. Tidak sok suci, hanya ingin berterus terang.
Duhai korban keganasan* apakah sebegitu peliknya kehidupan urban*, sehingga memikirkan nasib kaum miskin pun enggan? Kau tahu, kata ibuku, “Semakin kaya orang, semakin berat mereka mau membagi sedikit saja kekayaan mereka”. Padahal dengan menjamurnya fasilitas-fasilitas baru, menciptakan banyak pengusaha sukses baru, semakin banyak orang kaya di Indonesia. Tapi awal dari sebuah kepuasan kadang menghadirkan kebanggaan, raih keangkuhan*..Sifat kikir muncul dan mungkin itu memang hukum alam, saya perhatikan banyak dari mereka memang terus memupuk kebahagiaan diri seolah tak ada saudara sebangsa mereka yang menderita. semakin bahagia semakin mereka ingin bahagia, tidak ingin membagi kebahagiaan, semakin mereka lupa ada saudara yang menderita. Tidak semuanya memang, tapi sebagian besar.
Kapitalisasi tidak pernah membawa kebahagiaan bagi kaum papa. Kapitalisasi hanya semakin menandakan kesenjangan sosial. Konsumerisme tidak pernah membawa kebahagiaan pada akhirnya. Kekikiran juga tidak akan pernah membawa kebahagiaan dalam hidup, seperti Paman Gober yang selalu takut hartanya hilang. Kebahagiaan hakiki didapat dengan kesederhanaan dan saling berbagi. Semoga kita semua bisa menjadi insan yang berbahagia tanpa harus menjadi budak setan kapitalis.
Salam anti-kemapanan!
*diambil dari lirik Belanja terus sampai mati-Efek Rumah Kaca

Komentar

Populer