Jogja merupakan masyarakat yang penuh mobilitas. Mobilisasi orang-orang dalam masyarakat, juga diiringi oleh mobilisasi benda-benda konsumsi yang melingkupinya. Namun apakah kaidah mobilisasi ini bisa sebaliknya, berasal dari mobilisasi benda-benda yang melatari mobilisasi orang-orang dalam masyarakat kita saat ini.
Asumsi hubungan antar benda inilah yang kemudian mengandaikan hubungan antar orang-orang dalam masyarakat yang mengiringinya, sehingga entitas manusia tidak lagi mengandaikan humanisme nya, tapi lebih mengandaikan hubungan antar benda yang disejajarinya. Semacam ‘objektifikasi khayali’ hubungan antara orang-orang yang mengambil hubungan antar benda-benda. Inilah yang kemudian masyarakat sampai pada fase komoditas yang tidak lagi melekat pada benda-benda tapi sudah sampai pada entitas manusia dalam masyarakat.
Manusia sebagai komoditas begitu jelas nampak pada perilaku mobilisasi masyarakat Jogja sebagai kota industri hari ini. Produktifitas sebagai pakem dalam masyarakat industri menyisakan sebuah pergeseran tentang makna hubungan antar manusia dalam masyarakat yang tidak lagi berbasis pada hubungan yang manusia, tapi satuan manusia kini dihitung berdasarkan nominal-nominal. Mulai dari kesibukan sehari karena jam kerja yang terlihat pada lalu lalang masyarakat serta kemacetan di jalan raya kota sepanjang waktu. Begitu pula, sebagai sebuah kota, jogja merupakan mobilisasi masyarakat yang dipenuhi oleh kegiatan berbelanja sebagai gaya hidup, serta identitas.
Mobilisasi perputaran dari produktifitas sampai dengan konsumsi sebagai sirkulasi terakhir dari mata rantai masyarakat industri, benar-benar memobilisasi masyarakat yang sejajar dengan benda-benda. Kesadaran manusia di era industri inilah yang kemudian melahirkan ‘reifikasi’ atau keterasingan masyarakat karena direduksi oleh hukum ekonomi industri. Kondisi keterasingan diperkuat lagi dengan budaya media massa yang sebagai acuan kesadaran, yang sirkulasinya ujung-ujungnya adalah konsumsi.
Komentar
Posting Komentar