Langsung ke konten utama

WANITA DAN PERANAN POLITIKNYA



            Membicarakan wanita tentu seperti menelusuri seabrek permasalahan. Seperti kita ketahui bahwa dalam sejarahnya peran wanita terutama dalam ranah publik selalu mengalami dialektika. Wanita sering menjadi objek eksploitasi dimana terjadi semacam marjinalisasi atas hak asasinya. Posisinya dalam ranah publik dan privat sekalipun selalu dinomor duakan, seolah-olah mereka adalah makhluk nomor dua setelah laki-laki. Bahkan tak jarang pemarjinalan tersebut dilegitimasi oleh dogma agama. Tentunya, hal tersebut tak akan lepas dari konteks budaya patriarkhi yang memang telah mengakar dalam system kebudayaan. Seorang filsuf sekaliber aristoteles pun memgatakan bahwa wanita: “Laki-laki yang tidak lengkap, ia tidak serasional laki-laki, karenanya secara alami ia diatur laki-laki”.
            Memang sungguh sangat problematis membicarakan masalah gender dalam konteks zaman kontemporer ini, dimana terjadi lompatan sejarah yang sangat signifikan terutama gerakan feminism yang mengusung persamaan hak atas laki-laki. Gerakan yang mengklaim diri melakukan emansipasi peran wanita dalam konteks social tersebut memang telah menciptakan transformasi social baru. Namun ‘negosiasi’ atas persamaan hak tersebut telah terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan gender terjadi oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara social. Dan terkadang peranan gender tersebut sering dianggap given dari Tuhan, padahal pada substansinya gender sendiri merupakan sebuah konstruksi social. Dimana pembagian peran social yang terjadi adalah proses bentukan masyarakat.
            Hal inilah yang menjadi tantangan hari ini, dimana peran social wanita yang sudah berabad-abad dikebiri akhirnya menemukan titik kulminasinya dengan mendekonstruksi struktur social yang telah mapan. Gerakan feminism yang berkembang di eropa abad ke 19 tersebut telah menghasilkan sedikit kesetaraan dalam ruang public. Dalam konteks Indonesia tentu kita mengenal sesosok Kartini, Nyi Walidah, Cut Nyak Dien dan lain sebagainya. Dalam konteks peran politik pun wanita mulai menunjukan tajinya. Contoh real di Negara kita ialah Megawati Soekarno Putri yang sempat menduduki kursi keperesidenan.
            Lalu bagaimana dalam perspektif Islam? Apakah peran wanita dalam ranah politik mendapatkan legitimasi hukum? Mengingat dalam surat An-nisa: 34 ditegaskan: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
            Secara eksplisit diterangkan bahwa wanita tidak memiliki kekuatan untuk melakukan aktualisasi diri dalam ranah social karena ia dibawah kekuatan laki-laki. Wanita seolah dalam posisi inferior dibawah superioritas laki-laki, namun meurut Ashgar Ali Engineer ayat tersebut harus ditinjau dari segi yang proporsional dan ditinjau dari segi historisitasnya atau tidak terpaku pada tinjauan normative semata. Dimana menurutnya, dalam pendekatan ayat Al-Quran diatas bersifat pragmatis bukan normative.
            Jika ditelaah secara mendalam, secara tegas Islam mendeklarasikan persamaan antara kaum lelaki dan wanita,  Allah berfirman dalam QS. an-Nahl : 97, yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan“.
Jelaslah bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah pilih kasih antara umat manusia siapa saja yang beramal shalih maka akan memperoleh pahala yang tidak ada aniaya sedikitpun, firman Allah SWT:”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al Hujurat :13).
 Secara eksplisit terdapat sebuah penegasan bahwa Allah SWT sama sekali tidak pilih kasih dalam hal pahala dan ganjaran. Allah juga tidak pilih kasih dalam hal dosa. Demikian pula persamaan dalam kewajiban-kewajibannya sebagai hamba termasuk pula kewajiban-kewajiban terhadap agamanya. Semua itu dilakukan dalam rangka menyiapkan wanita muslimah untuk mengemban peran besar dalam kehidupan sosial politik umat.
Dengan demikian Islam sangat mengakomodir peran-peran strategis dalam kehidupan sosial dan politik; peran dalam rumah tangga, peran di masjid, memberantas buta aksara, peran arahan dan bimbingan masyarakat, pendidikan dan pengajaran, peran dalam amar makruf nahi munkar, peran memberdayakan sesama kaum perempuan, peran mengembangkan ilmu pengetahuan dan dakwah kepada kebajikan, peran-peran wanita dalam bidang kesehatan dsb.
Islam bahkan menganjurkan dan memerintahkan wanita-wanita muslimah untuk berperan aktif dalam rumah tangga, masyarakat, negara dan pemerintahan tanpa mengorbankan kewajiban-kewajibannya yang lain sebagai istri, ibu rumah tangga; karena semua hal tersebut dilakukan secara seimbang, moderat dan adil antara hak dan kewajiban, dengan tetap menjaga harga diri dan kehormatannya selaku makhluk Allah yang dimuliakan dan dihormati.

Komentar

Posting Komentar

Populer