Langsung ke konten utama

KONSTRUKTIVISME SEBAGAI PRINSIP PENGAJARAN BAHASA INGGRIS



AVANT-PROPOS
Proses pembelajaran bahasa merupakan suatu proses alamiah yang terjadi pada manusia. Sebagaimana diketahui bahasa merupakan alat untuk melakukan suatu komunikasi dan interaksi dalam rangka hubungan intersubyektif antar manusia. Bahasa sendiri merupakan suatu system yang abstrak berupa tatanan simbolik yang ada dalam struktur kognitif manusia. Ernst Casirer (1990) misalnya secara sporadis menyebut manusia sebagai “animal simbolicum” atau hewan yang menggunakan simbol-simbol untuk melakukan interaksi diskursif serta untuk memahami dunianya.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa inggris sebagai bahasa kedua (second Language), tentunya akan mengalami banyak rintangan dalam proses akuisisinya. Ada batasan-batasan tertentu yang memisahkan pola kebahasaan itu sendiri seperti budaya, tata bahasa, serta perubahan cara berfikir. Hal tersebut tentunya membutuhkan strategi khusus agar pemerolehan bahasa kedua tersebut terasa semakin mudah. Sebagaimana diketahui, proses pemerolehan bahasa bukanlah serangkaian langkah mudah yang bisa diprogram melalui sebuah panduan praktis. Tentunya salah satu factor determinan yang cukup penting adalah metode serta prinsip pembelajaran yang digunakan. Selain itu hal tersebut juga terkait dalam proses pendidikan di ruang kelas. Sebagaimana pendidikan itu sendiri merupakan basis dari pembelajaran bahasa.
Dalam hal ini pengajaran terutama dalam bahasa inggris seyogyanya tidak terlepas dari konteks pendidikan yang membebaskan. Yaitu pendidikan yang membuat atau membentuk siswa menjadi kritis. Hal ini didasari atas asumsi bahwa pendidikan tidak hanya mengisi sebuah botol kosong yang hanya terjadi komunikasi satu arah (monolog) namun seharusnya menjadikan pendidikan bersifat transformatif yaitu dengan komunikasi dua arah (dialog). Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulo Freire dimana proses pendidikan bergaya bank yang menganggap objek pendidikan adalah peserta didik harus diubah yaitu objek pendidikan adalah realitas atau ilmu pengetahuan.
Maka dari itu peran guru adalah sebagai fasilitator atau mediator bukan sebagai pusat dari ilmu pengetahuan. Ketika guru menjadi fasilitator secara tidak langsung guru tersebut telah menanamkan benih-benih keaktifan maupun kekritisan siswa dalam proses belajar mengajar. Jadi guru hanya sekedar membantu memberikan stimulus kepada siswa untuk mengaktualisasikan kemampuannya.
Hal inilah yang begitu penting diperhatikan, karena dalam perspektif teori konstruktivisme pengetahuan merupakan bentukan dari subjek yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian secara aktif tidak hanya menerima dari guru mereka dan terus-menerus. Melalui dialog dan partisipasi siswa sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dalam pendidikan, khususnya ketrampilan berbahasa Inggris. Pengajaran bahasa inggris sekarang ini cenderung menganut paradigm behavioris. Behavioris memandang psikologi sebagai tingkah laku dan menjelaskan belajar sebagai suatu respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Sehingga dalam perspektif kaum behavioris siswa dipandang sebagai pasif, butuh motivasi luar, dan dipengaruhi oleh suatu penguatan (Skinner dalam fosnot, 1996). Karena itu, pendidik mengembangkan suatu kurikulum yang terstruktur baik dan bagaimana siswa harus dimotivasi, dirangsang, dan dievaluasi. Kemajuan belajar siswa diukur dengan hasil yang dapat diamati.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, paradigma behaviorisme-liberalistik yang telah mendominasi paradigma pendidikan kita yang mengasumsikan siswa sebagai benda mati yang harus terus dipahat tentu harus dibenahi. Paradigma ini cenderung anti-humanis karena menempatkan peserta didik itu sendiri sebagai objek yang harus dijejali pengetahuan. Dalam doktrin paradigma behavioris-liberalistik guru ditempatkan sebagai segala-galanya, pusat ilmu pengetahuan manusia super yang tak pernah salah. Hal ini tentunya menimbulkan semacam penindasan atau dalam bahasa Pierre Bourdieu yaitu kekerasan simbolik (simbolic violence), pendidikan model seperti ini cenderung bersifat feodalistik. Belum lagi proses belajar mengajar yang orientasinya hanya secara kuantitatif semata dimana angka-angka telah menjadi faktor penentu berhasil tidaknya proses pembelajaran. Contoh nyata adalah pelembagaan ujian nasional yang hanya menekanan hasil akhir bukan proses belajar itu sendiri.  Berbanding terbalik dengan paradigma tersebut, paradigma konstruktivisme yang bisa dikatakan sebagai anti-tesisnya bisa dikatakan bercorak lebih humanis. Hal ini dikarenakan posisi siswa lebih sebagai subyek bersama guru untuk menguak objeknya yaitu pengetahuan dan realitas. Selain itu, paradigma konstruktivisme dirasa lebih demokratis karena posisi guru dan murid lebih egaliter.
Berdasarkan beberapa asumsi diatas, penulis berusaha menyusun paper ini dengan bertolak dari teori-teori konstruktivisme dan mencoba mewacanakan prinsip-prinsipnya dalam dunia pendidikan yang selama ini masih didominasi oleh pendekatan behavioris. Dengan demikian, masalah yang akan dicari jawabannya melalui paper ini dirumuskan sebagai berikut: “Apakah model belajar konstruktivisme sebagai prinsip pengajaran dapat menjadi solusi dalam mengajar bahasa inggris?”. Sebagai tujuannya yaitu untuk mendeskripsikan keberterimaan, keunggulan, dan signifikansi prinsip pembelajaran bahasa Inggris dengan model belajar secara konstruktif.
PEMBAHASAN
Kontruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Konstruktivisme sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori belajar dan pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai landasan paradigma pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Sementara itu dalam hal pemerolehan pengetahuan para konstruktivis beranggapan bahwa pengetahuan adalah proses pembentukan terus-menerus yang berkembang dan berubah. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorag guru ke kepala muridnya. Murid sendirilah yang harus mengonstruksi pengetahuannya sendiri melalui apa yang telah diajarkan dan pengalaman subyektifnya. Menurut Suparno (1997:19) para konstruktivis memahami pengetahuan bukan secara tertentu dan deterministik namun sesuatu proses menjadi tahu. Dalam pertautannya terutama secara epistemologis konstruktivisme merupakan sintesis antara rasionalisme dan empirisme. sebagaimana diketahui, para rasionalis lebih menekankan rasio, logika, dan pengetahuan deduktif, sedangkan kaum empiris lebih menekankan pengalaman inderawi melaui impresi panca indra dan pengetahuan induktif. Sedangkan menurut Staver (dalam Suparno: 1997: 27) “konstruktivisme menunjukkan interaksi antara subyek dan obyek, antara realitas eksternal dan internal, antara universalitas dan partikularitas”. Melihat skema tersebut dapat kita lacak sejak pemikiran Emmanuel Kant seorang filsuf Jerman yang menyatukan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme yang bisa disebut kritisisme yang dalam konsep terkenalnya yaitu syntetik-apriori. Atau mungkin lebih tepatnya secara epistemologis konsep pengetahuan dalam kostruktivisme sangat dipengaruhi oleh filsafat kritisisme Kantian.
Seruan dan konsep yang relative baru dari para konstruktivis tersebut memberi dampak terhadap landasan teori belajar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Semula teori belajar dalam pendidikan Indonesia, lebih didominasi aliran psikologi behaviorisme. Akan tetapi saat ini, para pakar pendidikan di Indonesia banyak yang menyerukan agar landasan teori belajar mengacu pada aliran konstruktivisme. Menurut Syaiful (2005:88) Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Implisit dalam definisi tersebut konstruktivisme haruslah berawal dari pandangan dunia yang sederhana menuju suatu pemahaman yang lebih kompleks dalam hal ini secara subyektif manusia (siswa) haruslah menilai dan melakukan abstraksi terhadap objeknya secara otonom sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang baku namun dari berbagai macam kesimpulan yang diperoleh tersebut tergantung dari sang subyek itu sendiri untuk menerima atau menolaknya.
Secara garis besar konstruktivisme dapat dibedakan dalam dua aliran besar yaitu: konstruktivisme psikologis dan konstruktivisme sosiologis (Mathews dalam Suparno, 1997:43). Konstuktivisme psikologis lebih menekankan pada perkembangan psikologis individu (anak) dalam membangun pengetahuannya. Dalam pandangan Brown (2007: 13)  konstruktivisme kognitif (psikologis) “secara perorangan para pembelajar harus menemukan dan mengubah informasi kompleks jika mereka ingin menguasai informasi tersebut, mengarahkan agar siswa lebih aktif dalam pembelajaran mereka sendiri ketimbang yang lazim dijumpai di kebanyakan kelas”. Secara implicit memang siswa haruslah mengkonstruksi pengetahuannya sendiri secara mandiri dan aktif dalam menggali informasi yang kompleks. Sedangkan konstruktivisme sosiologis lebih mendasarkan pada masyarakatlah dalam membangun pengetahuannya, selain itu menurut Brown (2007:13) proses pembelajaran lebih ditekankan pada pembelajaran kooperatif melalui interaksi social dalam membangun gambaran kognitif dan emosional atas realitas. Jadi, dari kedua aliran tersebut setidaknya terdapat suatu relasi dialektis terutama jika dikaitkan dengan pembelajran didalam kelas, yaitu konstruksi secara individual dan secara kelompok.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis sebenarnya keduanya dapat diterapkan dalam pembelajaran. Dengan asumsi bahwa secara kualitatif memang anak dalam ranah individu dia akan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Sedangkan secara kelompok dalam institusi social mereka juga tak akan lepas dari proses interaksi antar sesamanya. Berdasarkan kerangka teori diatas maka terapan konstruktivisme dalam proses belajar mengajar dapat kita jabarkan sebagai berikut:
MAKNA MENGAJAR
Menurut kaum konstruktivis makna mengajar bukan sekedar memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Berpikir yang baik adalah lebih penting dari pada sekedar menjawab pertanyaan yang benar atas suatu persoalan yang sedang dipelajari. Jadi,mengajar lebih meniktikberatkan agar siswa bisa berfikir sendiri secara kreatif menuju pemahaman yang substansial. Sebagaimana dikatakan Battencourt (dalam Suparno, 1997:21), “memang kostruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih bagaimana melihat sesuatu agar menjadi tahu”. Atau bisa dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dengan pengamat. Yang dietahui bukanlah realitas “disana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya.
FUNGSI DAN PERAN GURU 
Pendidikan bahasa Inggris sesungguhnya diajarkan bukanlah dengan tujuan agar siswa memahaminya sebagai sejenis pengetahuan, sehingga berkesan seolah-olah siswa itu tengah disiapkan untuk menjadi seorang ahli linguistik. Akhirnya, siswa akan dijejali oleh sejumlah perangkat, aturan, dan hukum-hukum tata bahasa yang mesti dihapalnya di luar kepala; tidak mempergunakannya dalam suatu pengalaman berbahasa. Oleh karena itu, dalam konteks tersebut siswa diharapkan dapat memahami dan mengaplikasikan skill dalam berbahasa.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka peran guru dalam pembelajaran perlu beralih dari model belajar konvensional yang dilandasi oleh asumsi bahwa “pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa” ke model belajar modern (konstruktivisme). Pendekatan konstruktivisme, sejalan dengan keterampilan proses, terpadu, dan pendekatan whole language. Pembelajaran model ini tidak dilaksanakan terpisah-pisah, tetapi dilaksanakan secara utuh sesuai dengan minat, kemampuan, dan keperluan belajar. Piaget mengatakan bahwa struktur kognisi itu dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu sendiri. Menurut konstruktivisme, pembelajar (learner, orang yang sedang belajar) akan membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang sudah diketahuinya. Karena itu belajar tentang dan mempelajari sesuatu itu tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat “diborongkan” kepada orang lain. Siswa sendiri harus proaktif mencari dan menemukan pengetahuan itu, dan mengalami sendiri proses belajar dengan mencari dan menemukan itu. Di sini diperlukan pemahaman guru tentang “apa yang sudah diketahui pebelajar”, atau apa yang disebut pengetahuan awal (prior knowledge), sehingga guru bisa tepat menyajikan bahan pengajaran yang pas: Jangan memberikan bahan yang sudah diketahui siswa, jangan memberikan bahan yang terlalu jauh bisa dijangkau oleh siswa. Patut diingat bahwa sebelum belajar bahasa Inggris siswa sudah mempunyai bahasa ibu (bahasa daerah) serta bahasa Indonesia sebagai “pengetahuan awal” mereka. Pengetahuan, pengalaman, dan keterampilannya dalam bahasa daerahnya itu harus dimanfaatkan oleh guru untuk belajar bahasa inggris dengan lebih baik.
            Menurut Suparno (1997:66) Fungsi guru sebagai fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa factor sebagai berikut: (1) menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu jelas memberi ceramah bukan tugas utama seorang guru. (2) menyediakan atau memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan murid dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. (3) memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid.
            Oleh karena itu dapat kita intisarikan bahwa peran guru dalam aliran konstruktivisme adalah sebagai fasilitator dan bukan seseorang yang mahatahu. Dalam proses belajar mengajar murid aktif mencari tahu untuk membentuk pengetahuannya sendiri, sedangkan guru membantu agar proses pencarian itu berjalan secara efektif. Dalam banyak hal guru dan murid bersama-sama mencari dan membangun pengetahuan. Dalam artian inilah hubungan guru dan murid yaitu lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.
SEBAGAI PRINSIP BELAJAR MENGAJAR
Menurut Suparno (1997:73) prinsip-prinsip yang sering diambil dari pembelajaran konstruktivism antara lain: (1) pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif, (2) tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, (3) mengajar adalah membantu siswa belajar, (4) tekanan dalam pembelajaran lebih diperhatikan pada proses bukan pada hasil, (5) kurikulum menekankan partisipasi siswa, (6) guru adalah fasilitator. Berdasarkan prinsip tersebut, hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. guru harus bisa menempatkan dirinya terutama sebagai pemantik agar memicu aktivitas belajar siswa. Hal ini menjadi sangat penting karena dalam pengajaran bahasa selama ini, siswa kurang mendapatkan ruang untuk mengembangkan kemampuannya sendiri karena otoritas guru yang terlalu mengekang. siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang mem buat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Tentunya karena proses pengajaran tersebut terkait dengan pemerolehan bahasa, dalam hal ini bahasa inggris sebagai bahasa kedua atau asing, guru haruslah memperhatikan pola-pola pemerolehan bahasa itu sendiri. Menurut Brown (2007: 1-2) factor yang sangat penting perlu diperhatikan dalam pemerolehan bahasa kedua antara lain: (1) karakteristik pembelajar, (2) factor linguistic, (3) proses pembelajaran, (4) usia dan pemerolehan, (5) variable instruksional, (5) konteks, dan (6) tujuan. Tentunya keenam factor tersebut sangatlah penting untuk diperhatikan oleh seorang guru bahasa inggris karena dalam proses pembelajaran diruang kelas tentu akan mengalami banyak kesulitan. Terutama terkait dengan perbedaan budaya, serta tata bahasa.
Selain itu, berdasarkan prinsip-prinsip diatas dapat kita jadikan acuan sebagai perencanaan proses belajar mengajar, pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan guru, dan untuk mengevaliasi proses belajar mengajar yang berjalan.
Sebagai referensi, sekelompok guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk menyusun metode mengajar yang lebih menekankan keaktifan siswa baik belajar sendiri maupun kelompok. Guru-guru mencari cara untuk lebih mengerti apa yang dipikirkan dan dialami siswa dalam proses belajar. Mereka memikirkan beberapa kegiatan dan aktivitas yang dapat merangsang murid untuk berfikir. Interaksi antar siswa dikelas dihidupkan, siswa diberi kebebasan mengungkapkan gagasan dan pemikiran mereka.
Yang penting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses belajar siswalah yang harus mendapatkan tekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa aktif ini dalam dunia pendidikan terutama dalam pengajaran bahasa inggris, kiranya sangat penting dan perlu dikembangkan. Kretifitas dan keaktifan siswa akan membatu merekan untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Merekan akan terbentuk menjadi orang yang kritis menganalisi sesuatu hal karena mereka berfikir dan bukan meniru saja.
Tentu proses mandiri dalam berpikir itu perlu dibantu oleh pihak pendidik. Anggapan lama yang mengatakan bahwa anak itu tidak tahu apa-apa, sehingga pendidik harus mencekoki mereka dengan macam-macam hal, kiranya tidak cocok dengan prinsip konstruktivisme. Pengajaran dengan cara indoktrinasi, sehingga siswa hanya pasif tanpa boleh mengajukan pertanyaan kritis. Transfer pengetahuan yang tidak melibatkan kegiatan dan penilaian dari siswa, hanya akan melucuti keaktifan dan kreatifitas siswa. Pendidik perlu menyadari bahwa anak walaupun masih kecil sudah memiliki suatu pemikiran dalam taraf mereka. Inilah yang perlu dibantu perkembangannya.
KEKURANGAN DAN KELEBIHAN
            Sebagai mazhab pemikiran tentunya konstruktivisme memiliki kelebihan dan kekurangnnya masing-masing. Terutama apabila diterapkan dalam prinsip belajar dan pembelajaran bahasa inggris yang notabene sebagai bahasa asing. Dalam hal kelebihan, konstruktivisme dipandang sebagai paradigma yang humanis karena menempatkan peserta didik sebagai subyek dalam proses belajar mengajar. Kemudian dari segi posisi dianggap lebih egaliter karena guru bukan sebagi sumber ilmu pengetahuan, dengan demikian coraknya cenderung demokratis dimana siswa dibebaskan untuk mengeksplorasi kemampuannya untuk mencari ilmu pengetahuan. Implikasinya siswa dituntut untuk menjadi kritis dan proaktif dalam proses belajar mengajar itu sendiri.
            Kelemahan paradigma konstruktivisme itu sendiri adalah membuat peserta didik itu sendiri menjadi mandiri dan proaktif dalam mencari materi pembelajaran atau ilmu pengetahuan. Karena dalam realitanya terkadang semangat belajar siswa sangatlah minim, sehingga peran guru sebagai stimulator dan fasilitator tentu sangat penting terutama bagaimana sang guru memotivasi siswa untuk membangkitkan gairah atau semangat dalam mencari pengetahuannya secara mandiri. Misalnya, dalam paradigma pengajaran lama dimana guru harus selalu berceramah yang kadang membuat siswa bosan dan mengantuk akan lebih baik jika digunakan untuk mengekspresikan gagasan, mengerjakan keaktifan, meneliti, merumuskan kesimpulan, dan berdiskusi.
PENUTUP
            Konstruktivisme sebagai mazhab pemikiran yang bisa dibilang termasuk dalam tradisi pemikiran filosofis merupakan suatu paradigma yang cukup baru dalam ranah pendidikan. Nama-nama seperti Jean Piaget, dan Lev Vygotsky merupakan nama yang sering dihubungkan dalam paradigma konstruktivisme itu sendiri. Dalam pengajaran bahasa konstruktivisme memang bisa dikatakan memberikan cara pandang baru terhadap proses belajar mengajar. Hal ini terkait dengan pemerolehan bahasa asing sebagai objek pengetahuan yang tentunya memiliki kompleksitasnya sendiri.
            Cara pandang tersebut tentunya memberikan suatu alternative yang lebih menempatkan peserta didik sebagai subyek yang berfikir secara aktif bukan benda mati yang terus diisi dan dipahat. Hal ini tentu memiliki konsekuensi logis bahwa peran guru bukan pusat ilmu pengetahuan, namun hanya sebagai fasilitator. Implikasinya siswa dalam proses belajar mengajar dituntut untuk selalu pro-aktif dalam mencari pengetahuannya sendiri serta mengembangkan kemampuan kognisinya. Akhirnya, teori konstruktivisme itu sendiri merupakan sebuah kerangka alternative terutama dalam system pendidikan di Indonesia yang masih didominasi dengan paradigma behaviorisme-liberalistik. Namun satu hal yang patut digarisbawahi adalah sebagai guru seyogyanya bukan menanamkan dogmatisme ilmu pengetahuan yang kaku dan konservatif namun bagaimana menstimulasi siswa agar mereka mencari dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Sehingga biarkan siswa berkreasi dengan akemampuannya untuk mengungkapkan gagasan serta interpretasinya terhadap apapun yang mereka pelajari.
BIBLIOGRAPHY
Brown, H Douglas. 2007. Principle of Language Teaching and Learning. New York: Pearson Education, inc.
Murtiningsih, Siti. 2004. pendidikan alat perlawanan: teori pendidikan radikal Paulo Freire. Yogyakarta: RESIST Book.
Suparno, Paul.1997. filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta :Kanisius.
Suparno, Paul. 2004. Teori Inteligensi Ganda, dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Syaiful, Sagala. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Komentar

Populer