Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2012

Patologi

« Kengerian itu tidak ada. Manusia abad pertengahan akan merasa jijik dengan kehidupan kita sekarang—sebagai sesuatu yang lebih buruk dari keburukan. Setiap zaman, setiap budaya, setiap norma, dan tradisi memiliki karakternya sendiri, kelemahan dan kekuatan, kecantikan dan keburukan, menerima penderitaan tertentu sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Perlahan, terisi oleh kejahatan. Kehidupan manusia, menuju penderitaan sesungguhnya, neraka, hanya ketika dua zaman, dua budaya, dan agama saling tumpang-tindih. Seseorang dari zaman pertengahan akan mati tercekik, sama halnya dengan orang liar yang hidup di kebudayaan kita, hari ini. Sekarang tiba saat kita hidup dimana setiap generasinya terperangkap dalam dua arus kehidupan. Kesenangan yang didamba, dipuja, dijadikan berhala-berhala. Semua berkiblat pada keterasingan yang tak bisa memahami diri sendiri, « aku », tak ada persetujuan diam-diam. Semua orang terpikat dan terpana, merasa biasa-biasa saja, tak sebagaimana ...

kicau pagi

Tampaknya, seolah-olah pagi yang stabil, Matahari terhenti, untuk sejenak tak terhitung, terpikat, awan mendung Dalam cahaya dan lini keheningan, tahun murka, malam mencair perlahan menjauh. aku dengarkan suara liris, nyaris dilupakan dalam diri panjang berhenti, yang dengan tenang mulai berdetak lagi... Dan terjaga sekarang, tak diakui satu per satu suara tak terlihat di mana keheningan terdiri dari burung, yang memperbarui pagi, singkat mendesah di kaki batu, getaran dari pohon-pohon, bernyanyi dari kolom, gemerisik mawar ungu, kadal sembunyi-sembunyi... seperti mencari, hidup yang sendiri menyadari, perlahan pagi, meningalkan jejak usia, pada sisa remah pertama...

Entah!

Haruskah, lagi, demikian? bahwa apa yang menjadi hal yang membahagiakan justru menjadi sumber derita? Anehnya, ini selalu saja terjadi, bersama hidupku, sepi, selalu larut dalam sendiri. Hanya fenomena alam yang nampak dalam semesta batinku, membuat semua rasa luka itu sedikit reda. Begitu juga, hamparan teks Homer yang sarat dengan epic—masih aku cari maknanya.   Pagi secerah ini, aku masih menatap nanar pada sebuah pintu kamar, sedikit tertawa dan beberapa gelisah perihal cinta. Hidup yang mengalir begitu saja, seperti burung yang bersenang ria di pagi hari, gelisah di siang harinya, dan penat saat mentari tenggelam di ufuk barat daya. namun hidup harus terus berjalan, terus menapak sejarah yang akan selalu berubah. Waktu yang berderap, merubah setiap pola kehidupan, ada saja yang selalu berbeda. Dan relung rasa dalam hatipun tak bisa dipaksa pada keadaan yang selalu statis, sama, repetitif. Semua ini, setiap keadaan, setiap kejadian, selalu terkandung multiplisitas, selal...

Seks

Setiap orang pasti punya pengetahuan tentang seks-nya masing-masing. Seringkali memang agak dianggap tabu, tapi juga penting. Pengetahuan saya tentangnya bermula sejak umur sekitar sepuluh. Samabil berbaring di balai kayu jati tua yang sejuk, dengan asyik aku baca legenda Hindu yang memperkenalkan huruf palawa kepada orang Jawa. Alkisah satu ketika Ajisaka mampir ke sebuah rumah. Dirumah itu tinggal seorang janda, sewaktu Ajisaka masuk, mbok rondho tengah menumbuk padi. Dalam ketekunan kerja, kainnya tersingkap di bagian paha. Seketika Ajisaka terperangah, mani ajisaka mendadak tumpah, seekor ayam betina kemudian mematuk cairan itu, lalu…. Ada yang tak saya pahami dari cerita yang dimuat dimajalah Penjebar Semangat , langganan bapak saya itu. “apa itu mani…?” Tanyaku pada seorang sepupu yang kebetulan lewat. Ia berbisik kemudian, sambil tengok kanan-kiri, menjelaskan dengan beberapa isyarat gerak tangan yang tak seluruhnya saya mengerti. Toh, sejak itu pengetahuan seks s...

Yang dipungut kembali, seperti, sisa pagi

Setiap pagi tiba, kehidupan mulai terkembang, semua alur kegiatan dimulai kembali. Pagi adalah awal dari derap waktu, menyuguhkan setiap gerak, setiap kebaruan. Selepas lelap membaringkan diri, rehat, menyepuh energi agar kembali pada keadaan yang menyegarkan. Cahaya mentari pun terbit, menapak sepenggalah langit. Manusia kian bergiat, sibuk dengan pelbagai hal, apa saja, mengisi waktu, mengisi hidup, mengurai makna, atau sekedar santai dan bingung akan kearah mana hidup ini akan tertuju. Pertanyaan-pertanyaan yang liar, memunculkan rasa asing. Kadang semuanya—bahkan perkara kecil saja—jadi perkara yang begitu serius. Tentu saja, inilah hasil olahan rasa, bahasa, pikiran, hasrat, imajinasi. Membaur semuanya tanpa celah, hingga menghasilkan percik makna yang tercerap dari dialog batin, solilokui, dan kadang dengan sesuatu liyan yang terbaca. Tapi dari sana ada saja yang selalu tertinggal. Seperti ingatan, tentang masa lalu yang sedang kita tafsirkan kini dan disini. Masa lalu...

Ruang kosong

“Tak terlampau berharap…” ya, itulah mungkin yang sekarang aku baca dari tiap perasaanku yang terserak. Entahlah, tak juga habis aku mengerti, belum sembuh benar dari berbagai goresan, yang tertananam, dalam, gelap. Cinta, mungkin harus aku tunda, juga perasaanku yang tak jelas tersimak. Aku ini membingungkan, aku sendiri juga sering tak paham. Kenapa aku selalu demikian, kenapa aku seringkali berharap tapi mengacuhkan,   paradoks bahkan kontradiktif. Seringkali aku takut, tapi juga bersikap tak terlalu menginginkan. Kadang juga berani, tapi lagi-lagi, ada sebagian gejolak jiwa yang selalu tertahan, terpaku dalam hembus egolatri. Kemarin aku bertemu dengannya, dan hanya sekilas, sekilas pandang. Sedikit merasakan apa yang pernah tertinggal bersama masa silam. Memang, aku selalu jadi bahan olok-olok mereka yang tahu ‘cinta’, dan bukan tanpa alasan kenapa aku selalu dicampakkan wanita. Dan seringkali aku hanya bisa tertawa, tertawa dalam bisu, melihat diriku yang tolol, an...