Langsung ke konten utama

Yang dipungut kembali, seperti, sisa pagi



Setiap pagi tiba, kehidupan mulai terkembang, semua alur kegiatan dimulai kembali. Pagi adalah awal dari derap waktu, menyuguhkan setiap gerak, setiap kebaruan. Selepas lelap membaringkan diri, rehat, menyepuh energi agar kembali pada keadaan yang menyegarkan.
Cahaya mentari pun terbit, menapak sepenggalah langit. Manusia kian bergiat, sibuk dengan pelbagai hal, apa saja, mengisi waktu, mengisi hidup, mengurai makna, atau sekedar santai dan bingung akan kearah mana hidup ini akan tertuju.
Pertanyaan-pertanyaan yang liar, memunculkan rasa asing. Kadang semuanya—bahkan perkara kecil saja—jadi perkara yang begitu serius. Tentu saja, inilah hasil olahan rasa, bahasa, pikiran, hasrat, imajinasi. Membaur semuanya tanpa celah, hingga menghasilkan percik makna yang tercerap dari dialog batin, solilokui, dan kadang dengan sesuatu liyan yang terbaca.
Tapi dari sana ada saja yang selalu tertinggal. Seperti ingatan, tentang masa lalu yang sedang kita tafsirkan kini dan disini. Masa lalu kadang membikin sayu, tapi juga menyisakan harapan untuk menapaki hidup yang lebih berarti. Dan harapan ini, barangkali seperti burung-burung yang gaduh berkicau tapi malu untuk disapa, ia selalu luput, selalu saja bersembunyi jauh nun entah dimana, hingga ikhtiar menyapanya adang kandas begitu saja. Habiskah? Tentu tak demikian, hidup ini absurd, tanpa sebuah horizon yang pasti, tapi seperti kata Camus, dengan absurditas hidup, manusia harus tak bunuh diri, tapi melawan, “aku berontak, maka aku ada!”
Melawan absurditas, ya itulah hidup. Melawan absurditas dengan kebebasan dan tanggung-jawab. Dari sana, dari hidup yang kosong tanpa makna, adalah kita yang akan memaknainya, apa saja, karena kesuksesan tak bisa diukur dengan penilaian adat, budaya, atau tatanan social lainnya. Kitalah yang menilai, kitalah yang akan menentukan baik-buruk diri kita, tapi tetap moralitas adalah pegangan utama.
Hidup kita, seperti pagi juga, kadang kita memungut apa yang telah terlarut, kadang kita meminta apa yang sejatinya jadi keharusan diri kita. Dari cerah awan, mega-mega, langit jinga yang lamat-lamat merupa ungu, aliran sungai yang deras menuju muara…
Dari setiap nafas yang kita hembus-hilirkan, dengan rahmat kebebasan, berfikir, berzikir, berusaha menggapai tujuan yang semestinya kita citakan sebagai utama. Dan cinta, semoga bersemi, semoga kian dekat aku menuju ruang rindu itu, entah siapa, entah apa, tapi aku selalu menunggu wajah asing itu, aku menati jejak rindu penanda kosong itu. Dari sini, dari pagi ini, dari ornament embun yang sayup terserap panas mentari…

Komentar

Populer