Langsung ke konten utama

Entah!



Haruskah, lagi, demikian? bahwa apa yang menjadi hal yang membahagiakan justru menjadi sumber derita? Anehnya, ini selalu saja terjadi, bersama hidupku, sepi, selalu larut dalam sendiri. Hanya fenomena alam yang nampak dalam semesta batinku, membuat semua rasa luka itu sedikit reda. Begitu juga, hamparan teks Homer yang sarat dengan epic—masih aku cari maknanya.  
Pagi secerah ini, aku masih menatap nanar pada sebuah pintu kamar, sedikit tertawa dan beberapa gelisah perihal cinta. Hidup yang mengalir begitu saja, seperti burung yang bersenang ria di pagi hari, gelisah di siang harinya, dan penat saat mentari tenggelam di ufuk barat daya. namun hidup harus terus berjalan, terus menapak sejarah yang akan selalu berubah. Waktu yang berderap, merubah setiap pola kehidupan, ada saja yang selalu berbeda. Dan relung rasa dalam hatipun tak bisa dipaksa pada keadaan yang selalu statis, sama, repetitif. Semua ini, setiap keadaan, setiap kejadian, selalu terkandung multiplisitas, selalu saja ada yang puspa ragam, sebuah keberbedaan, mungkin kebaruan tak tepermanai. Dan setiap dari apa saja yang selalu tak sama itu, aku selalu mencari hal-ihwal, mungkin cinta, kebenaran, dan setiap hal yang selalu dalam negativitas-nya.
Dan dalam puisi yang terbaca, yang dimaknainya, kadang membuat menjauh dan membenci kata-kata, gramatika yang terpahat dalam keheningan intertekstualitas bahasa. Barangkali, karena bahasa yang terucap belum tentu seperti apa yang tertangkap. Sehingga, seringkali puisi hanya jadi saksi bisu cinta yang selalu tertutup awan egolatri.
Akankah luka senantiasa sisakan jejak yang sama? Luka yang disamarkan hanya mampu bertahan dalam bilangan waktu tertentu. Bisa jadi darinya kita belajar pada hidup yang masih terus berjalan, juga pada masa silam. Kita kemudian tahu bahwa langit tak hanya satu, masih ada lapisan langit lain yang tak bisa kita lihat, kasat mata. Dari luka, dari benci, dari mimpi, tersisa secercah harap, untuk menapak kaki kembali, melata sedari awal, menuju langit, yang mungkin tak akan selesai, hingga nafas tak lagi terhembus dalam paru-paru.
Tapi selalu saja ada rasa sesal yang hinggap, selalu saja ada jejak masa lalu yang membuat kita tenggelam dalam pikiran naïf, kadang ingin kembali. Hah! Pikiran yang salah dan melenceng! Padahal kita harusnya menatap cerah masa depan, pada yang-akan-datang. Tak bisa dihindari memang, hidup [terkadang] berkubang dalam keputus-asaan, dimana ketika sebuah luka kembali mengoyak, sungguh tak pernah aku mengerti, sanggupkah jiwa dan raga ini menampung segala pedihnya. Barangkali, memang cinta itu tak harus dipahami, apalagi, dikupas sampai kering, sampai metode yang paling canggih pun, tetap tak akan bisa membedah keagungan dan negativitas cinta.
Dan dari cerita hidup ini, dari jejak pagi ini, akan aku simpan sebagai catatan hati. Rasanya harus banyak lagi belajar. Belajar untuk bicara dengan bahasa hati—memaknai diri dan hatinya yang kadang tak selalu terbaca—sehingga ketika harus bicara tak lagi ada salah sangka, seperti saat aku mencoba mencintainya, meski ternyata semua berbeda, kebebasanku tak di izinkan untuk menampung kebebasan hatinya. Kupungut sepenggal catatan ini dari sebuah jiwa yang gundah, seraya menatap hidup yang masih menyimpan jutaan Tanya, yang tak kunjung jua beroleh jawabnya, entah!

Komentar

Populer