Haruskah, lagi, demikian? bahwa apa yang
menjadi hal yang membahagiakan justru menjadi sumber derita? Anehnya, ini
selalu saja terjadi, bersama hidupku, sepi, selalu larut dalam sendiri. Hanya fenomena
alam yang nampak dalam semesta batinku, membuat semua rasa luka itu sedikit
reda. Begitu juga, hamparan teks Homer yang sarat dengan epic—masih aku cari
maknanya.
Pagi secerah ini, aku masih menatap nanar
pada sebuah pintu kamar, sedikit tertawa dan beberapa gelisah perihal cinta. Hidup
yang mengalir begitu saja, seperti burung yang bersenang ria di pagi hari,
gelisah di siang harinya, dan penat saat mentari tenggelam di ufuk barat daya.
namun hidup harus terus berjalan, terus menapak sejarah yang akan selalu
berubah. Waktu yang berderap, merubah setiap pola kehidupan, ada saja yang
selalu berbeda. Dan relung rasa dalam hatipun tak bisa dipaksa pada keadaan
yang selalu statis, sama, repetitif. Semua ini, setiap keadaan, setiap kejadian,
selalu terkandung multiplisitas, selalu saja ada yang puspa ragam, sebuah
keberbedaan, mungkin kebaruan tak tepermanai. Dan setiap dari apa saja yang selalu
tak sama itu, aku selalu mencari hal-ihwal, mungkin cinta, kebenaran, dan
setiap hal yang selalu dalam negativitas-nya.
Dan dalam puisi yang terbaca, yang
dimaknainya, kadang membuat menjauh dan membenci kata-kata, gramatika yang
terpahat dalam keheningan intertekstualitas bahasa. Barangkali, karena bahasa
yang terucap belum tentu seperti apa yang tertangkap. Sehingga, seringkali
puisi hanya jadi saksi bisu cinta yang selalu tertutup awan egolatri.
Akankah luka senantiasa sisakan jejak yang
sama? Luka yang disamarkan hanya mampu bertahan dalam bilangan waktu tertentu. Bisa
jadi darinya kita belajar pada hidup yang masih terus berjalan, juga pada masa
silam. Kita kemudian tahu bahwa langit tak hanya satu, masih ada lapisan langit
lain yang tak bisa kita lihat, kasat mata. Dari luka, dari benci, dari mimpi,
tersisa secercah harap, untuk menapak kaki kembali, melata sedari awal, menuju
langit, yang mungkin tak akan selesai, hingga nafas tak lagi terhembus dalam
paru-paru.
Tapi selalu saja ada rasa sesal yang
hinggap, selalu saja ada jejak masa lalu yang membuat kita tenggelam dalam
pikiran naïf, kadang ingin kembali. Hah! Pikiran yang salah dan melenceng! Padahal
kita harusnya menatap cerah masa depan, pada yang-akan-datang. Tak bisa
dihindari memang, hidup [terkadang] berkubang dalam keputus-asaan, dimana
ketika sebuah luka kembali mengoyak, sungguh tak pernah aku mengerti, sanggupkah
jiwa dan raga ini menampung segala pedihnya. Barangkali, memang cinta itu tak
harus dipahami, apalagi, dikupas sampai kering, sampai metode yang paling
canggih pun, tetap tak akan bisa membedah keagungan dan negativitas cinta.
Dan dari cerita hidup ini, dari jejak pagi
ini, akan aku simpan sebagai catatan hati. Rasanya harus banyak lagi belajar.
Belajar untuk bicara dengan bahasa hati—memaknai diri dan hatinya yang kadang
tak selalu terbaca—sehingga ketika harus bicara tak lagi ada salah sangka,
seperti saat aku mencoba mencintainya, meski ternyata semua berbeda,
kebebasanku tak di izinkan untuk menampung kebebasan hatinya. Kupungut sepenggal
catatan ini dari sebuah jiwa yang gundah, seraya menatap hidup yang masih
menyimpan jutaan Tanya, yang tak kunjung jua beroleh jawabnya, entah!
Komentar
Posting Komentar