Langsung ke konten utama

Ruang kosong




“Tak terlampau berharap…” ya, itulah mungkin yang sekarang aku baca dari tiap perasaanku yang terserak. Entahlah, tak juga habis aku mengerti, belum sembuh benar dari berbagai goresan, yang tertananam, dalam, gelap. Cinta, mungkin harus aku tunda, juga perasaanku yang tak jelas tersimak.
Aku ini membingungkan, aku sendiri juga sering tak paham. Kenapa aku selalu demikian, kenapa aku seringkali berharap tapi mengacuhkan,  paradoks bahkan kontradiktif. Seringkali aku takut, tapi juga bersikap tak terlalu menginginkan. Kadang juga berani, tapi lagi-lagi, ada sebagian gejolak jiwa yang selalu tertahan, terpaku dalam hembus egolatri.
Kemarin aku bertemu dengannya, dan hanya sekilas, sekilas pandang. Sedikit merasakan apa yang pernah tertinggal bersama masa silam. Memang, aku selalu jadi bahan olok-olok mereka yang tahu ‘cinta’, dan bukan tanpa alasan kenapa aku selalu dicampakkan wanita. Dan seringkali aku hanya bisa tertawa, tertawa dalam bisu, melihat diriku yang tolol, angkuh, dan selalu tak paham, selalu kebingungan menghadapi cinta, menghadapi wanita.
Terkadang aku hanya inginkan satu, ya cuma satu saja, dia saja. Tapi keinginan itu lepas seraya gelap hatiku yang tanpa perasaan. Dan semua kini sudah makin mencampakkan aku, menguburku dalam kelupaan masa lalu. Aku menyerah kini, menanti lagi sesuatu yang juga semakin absurd. Mati bahkan mati, rasaku mati, makin hari aku muak mendengarkan suara liris dan sayu lagu-lagu cinta yang diperdengarkan disebelah kamarku. Hah! Ingin rasanya aku mencaci, tapi tetap saja aku tertahan hak orang lain, yang juga harus aku hormati dalam ruang publik.
Perasaanku hanya bisa mencintai hari, mencintai diri sendiri, damai dengan diri, meski damai dengan diri adalah hal yang teramat sulit, bahkan kadang segala emosi lepas tanpa kendali. Saat seperti itulah, alam diluar sana membawaku mencerap damai kedalam lubuk hati, pada batu-batuan, rumput-rumput liar yang mungil, tanah dan pasir, lagit jingga, angin berdesau seraya sederet mega, dan hujan yang semakin sering turun membasah bumi, begitu sarat dan erat, hal-hal kecil yang kadang dilupakan, tak berharga bagi kehidupan yang terkekang arus komodifikasi, yang dikendalikan nilai tukar untuk membeli, membeli segala, merayakan hasrat besar dunia, membeli cinta, bahkan harga diri. Ya ditengah itulah, benda-benda kecil yang dilupakan saja itu menolong, bertranformasi dalam kata-kata, puisi, imajinasi, yang kecil itu seakan menjadi sejenis antidote bagi ketamakan, kerakusan.
***
Tunggulah aku, kejujuran hatiku, tak akan mampu menampik, tak akan mampu berdusta. Mana cinta, mana nafsu belaka. Tapi biarkan mereka tertawa, biarkan mereka berbahagia dalam lukaku. Aku masih percaya, aku masih selalu menunggu seseorang yang mampu meredakan aku, dari segala keangkuhanku, dari segala ambivalensi sikapku. Dan sekarang au hanya ingin diam, cukup menati separuh hati, seraya jalani hari, menghargai setiap nafas yang tertoreh dalam tiap waktu yang berlalu.
Mungkin tindakan akan membuka lagi cakrawala, dan tentu tindaan adalah sejalan dengan pikiran, yang juga seiring pula dengan penilaian. Bertindak untuk membuka ruang gelap, membuka ruang bagi terangnya Logos, kebenaran, cinta… negativitas absolute, temaram dunia, titik kegilaan utama dimana wujud-wujud fantasmagoria menelusup dari bagian obyek—berkalana tak tentu tuju.
Dan seperti mimpi yang tak kukenali, tapi semakin aku tak mengenali, aku tak harus tahu, aku tak harus mengerti. Bersinarlah cahaya pagi, menerawang sudut gelap kamarku, mengendapkan bulir embun yang sayup-sayup. Burung yang berkicau, meghias hijau pagi, memberi sejumput makna yang hilang, kosong, lenyap. Waktu, mungkin pada waktu aku menyandarkan asaku, tanpa harapan yang berlebih, hanya sekedar menjaninya, menjalani hidup apa adanya.
Kalaulah gadis itu tak lagi, atau tak sama sekali menyimpan aku dihatinya, aku hanya bisa mengiringnya doa, menyambut penanda kosongnya, membawa serta wangi yang pernah aku sambut, yang pernah aku tafsirkan secara salah, ya, akan aku bawa selalu wangimu. Dan pagi ini, adalah awal untuk sedikit merubah diri, mencari lagi, sesuatu yang akan menerima dan menyambut ruang kosong, yang tersisa dalam celah-celah hatiku…

Komentar

Populer