Lulus kuliah
adalah sebuah momen yang sangat krusial. Dan, barangkali amat
menentukan ihwal perjalanan hidup kita. Setelah beberapa waktu bergelut dengan
diktat yang ketat dan teori-teori yang njlimet. Kita pun kian di tuntut
untuk menjadi seorang yang kembali ke ”bumi”—selepas berjalan-jalan mengarung
dunia ”langit” yang penuh dengan idealitas yang mengawang dan terlampau utopis.
Tuntutan akan ”realitas” adalah sebuah keniscayaan yang harus kita hadapi. D.N. Aidit pernah berteguk wejang pada kita bahwa ‘Mereka yang
punya pengetahuan buku harus pergi ke kenyataan yang hidup, supaya bisa maju
dan tidak mati dalam mengeloni buku… Mereka yang berpengalaman bekerja supaya
pergi studi dan supaya membaca dengan sungguh-sungguh… dengan demikian dapat
meningkatkan diri di lapangan teori.’ Agaknya pernyataan Aidit ini
merupakan suatu kenyataan hidup yang seringkali disepelekan orang, yaitu
kesatuan antara teori dan praksis yang kemudian bermuara pada realitas.
Kita, sebagai mantan mahasiswa, semakin menjadi manusia yang benar-benar di uji dengan berbagai
persoalan kehidupan yang lebih nyata—persoalan eksistensial manusia untuk
mempertahankan hidupnya. Kita juga akan
menelusup jejaring posisi sosial yang ditempati oleh berbagai macam profesi
yang berperan sesuai dengan bidang yang dikuasainya. atau dalam bahasa yang
sangat realis: mencari uang untuk mencukupi kebutuhan hidup!
Kerja—demikian kita biasa menyebutnya—sebagai distingsi dari sebuah hobby. Kerja
mengandaikan suatu keseriusan dengan suatu ”upah” sebagai prasyarat kausalitas
yang kita dapatkan sebagai imbalan atas hasil yang kita lakukan. Kerja memang
selalu diartikan sebagai sebuah kualitas yang menerakan posisi sosial manusia—Pierre
Bourdieu menyebutnya sebagai habitus. Dalam terminologi yang peyoratif pekerja
biasa kita sebut sebagai ’buruh’—pekerja kasar yang tak punya alat produksi. Atau
dalam bahasa yang lebih eufemistik pekerja yang tak punya alat produksi ini
biasa kita sebut ’pegawai’. Agaknya, terminologi ini tercipta dari suatu
trajektori zaman yang mengalami transformasi dari proses produksi material ke
proses produksi imaterial. Namun, pada substansinya terletak sebuah kerangka
yang sama yaitu ”pekerja” sebagai subyek yang tak punya alat produksi.
Saya bekerja maka saya ada! Atau saya ada maka saya bekerja?
Seringkali orang menjalani hidupnya dengan pola“saya bekerja maka saya
ada”—sebuah frasa yang saya pinjam dari Descartes yang bunyi aslinya: “saya
berfikir maka saya ada.”—yang merupakan posisi ontologis yang akan mempengaruhi
pandangan hidup kita secara keseluruhan.
Orang memang lebih banyak berkutat pada dirinya yang mementingkan hidupnya
untuk bekerja, atau dengan kata lain, karena bekerja mengandaikan upah, maka
hidup adalah untuk mencari uang, dimana dengan hasil uang yang di dapati itu
kita dapat bertahan hidup seraya mencukupi kebutuhan hidupnya. Posisi ini menjadikan
kerja sebagi tujuan hidup, bukan sarana. Dalam frasa “saya ada maka saya
bekerja” adalah suatu posisi yang berseberangan dengn posisi orang kebanyakan
yang mengandaikan pekerjaan—dalam makna sempitnya sebagai wahana mencari uang—sebagai
sebuah tujuan hidup. Saya ada, saya hidup, maka saya mengaktualisasikan hidup
ini melalui sarana pekerjaan. Jadi, kita hidup tidak hanya dari bekerja semata,
karena toh uang itu akan datang dengan sendirinya ketika kita memang tak
menjadikan kerja sebagai tujuan.
Bekerja sebagai pegawai atau buruh memang seringkali menjadi sebuah ‘alienasi’.
Kita bekerja di bawah “kekuasaan” yang otoritatif dengan suatu admistratif yang
membuat tubuh kita di disiplinkan oleh suatu aturan-aturan yang mengikat. Kita,
barangkali, terpaksa mengikuti segala tata tertib itu agar kita dapat mencukupi
khidupan kita dengan kemandirian tanpa tergantung lagi pada orang tua—atau
dengan berbagai alasan elementer lain agar tidak di cap sebagai “sarjana
pengangguran” atau “sampah masyarakat”.
Memang problematis, ketika kita—sebagai seorang yang tak punya basis
material (modal) yang besar—harus bertahan hidup dibawah kuasa struktur pasar
dan Negara yang semakin bersilang-sengarut membentuk jejaring absurd yang
disebut neo-liberalisme. Marx menyebut pekerja telah kehilangan daya
kemanusiaanya yang naluriah dimana kesadaran eksistensialnya terangsingkan oleh
hujaman kekuatan struktur yang kuat menerpanya. Gejala yang disebut “alienasi”
ini memang sebuah paradoksal. Paradoksal karena manusia semakin tak peduli,
acuh-tak-acuh, terhadap situasi ekonomi-politik yang mengitarinya, karena ia
sudah terjebak dalam rutinitas kerja. Padahal realitas ekonomi-politik itu sejatinya
sangat menentukan nasibnya sebagai seorang yang menjadi warga negara. Selain
itu, kerja yang dilakukannya hanyalah mendapatkan upah yang ala kadarnya, atau
katakanlah sangat minim dibandingkan dengan nilai-tambah (surplus-value) yang
ia hasilkan untuk sang pemodal. Alhasil, sang pekerja hanya bisa membeli
barang-barang yang ala kadarnya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun, itu
zaman Marx dimana pekerja adalah pekerja kasar yang menghasilkan produk
material.
Zaman Marx adalah zaman indutrialisasi dimana kapitalisme industry semakin
memacu mode produksinya untuk mengeruk nilai-lebih yang berlipat ganda dengan
mengeksploitasi pekerja. Di zaman yang diklaim sebagai zaman Post-industrial
ini, mode produksi semakin kompleks dan rumit. Namun demikian, pada hakikatnya sama
saja, hanya berbeda pada tataran obyek yang dihasilkannya. Kalau dulu, kerja
hanya dalam artian material, maka sekarang kerja menjadi immaterial, karena
yang dihasilkan oleh pekerja (pegawai) tidak hanya produk-produk material,
namun lebuh pada tataran ‘ide’ yang bersifat abstrak.
Ya, begitulah, proses historis manusia yang mengaktualkan dirinya untuk
bertahan hidup. Proses kehidupan yang berputar dalam siklus: Sekolah, Kerja, Nikah,
punya anak, sukses = Kaya, lalu… Mati… Yah… itulah kehidupan eksistensial
manusia yang biasa-biasa saja. Apakah hidup memang sebanal itukah? Sekedar siklus
yang hanya memburu kekayaan? Barangkali, kita perlu berfikir sejenak, apakah
selama ini kerja kita adalah sarana dalam hidup atau tujuan hidup? Tentu saja,
ada hikmah bagi orang-orang yang berfikir…hehehe… tinggal kita pilih, mau
mengikuti arus “sejarah” atau menjebol arus “sejarah”?
Komentar
Posting Komentar