Hujan
turun ritmis pada sebuah permulaan malam yang gagu. Dan aku terbantun dari
dekap gelisah yang mengekang kepastian hidup. Ku telusuri jejak-jejakmu yang
kian lenyap terhapus fana waktu. Barangkali kau adalah masa silam yang menyisa
dalam sudut-sudut kesadaranku. Ah! Kau adalah fana! Kau adalah remah yang tak
memihak pada hal ihwal nyata! Kau hanya imajinasi, kau…
Sudah…
sudah… aku hanya seorang yang kalah. Seorang yang hanya memungutmu dalam
huruf-huruf, dalam kata-kata, dalam frasa, dalam kalimat… dalam ketakhadiran.
***
Sekarang
aku baru tahu, ternyata hubungan kita hanya sebatas penjual dan pembeli. Ya,
sebatas itu, tak lebih dan tak kurang. Huah! Sialan! Mana mungkin senyum manis
yang meliuk indah dari bibirmu itu adalah senyum laba? Ah! Aku tak percaya! Sorot
matamu benar-benar buat aku terpedaya, dan aura mu! Ya Aura mu benar-benar
membikin aku hanyut dalam ketakberdayaan. Hingga tiap kali aku musti
menyempatkan diri untuk membeli barang-barang yang kau jual. Jujur saja
sayangku, sebenarnya aku tak terlampau butuh minuman kaleng bangsat itu. Tapi aku
rindu pada wajahmu yang melankolis, aku rindu pada senyummu yang anarkis! Yah anarkis!
Senyummu membikin aku girang dalam kebebasan! Dalam sebuah ruang yang tak butuh
aturan! Ah mungkinkah? Senyummu itu se-anarkis yang aku kira? Tidak-tidak! Mungkin
tidak! Senyum mu ternyata sudah di atur-atur sedemikian rupa dalam sketsa,
dalam sebuah tata-kelola laba mekanisme rumit jual-beli.
Ah
tapi aku percaya! kau tetap seorang wanita, setidaknya kau seorang manusia. Kau
pasti punya perasaan, kau punya hati. Semua yang kau tampilkan hanyalah sebuah
mekanisme yang musti kau jalani… sebuah kewajiban yang kau pertaruhkan demi
upah yang menghidupi, ah, barangkali sekedar mengisi waktu luang mu? Atau sekedar
memenuhi standar hidup duniawi? Entahah, aku tak bisa berteori soal ini. Tapi
dari sekat-sekat tipis yang terselip dari ranum bibir mu itu aku tak bisa
melewatkan sebuah seni yang natural, sebuah kecantikan yang apa adanya.
Ya
begitulah, tapi apapun itu aku tetap menjadi seorang yang mengaggumimu dari
belakang, mungkin dari reung hati yang tak kelihatan. Barangkali semacam rasa
asing yang menelinap, sebuah perasaan aneh yang tiap kali memprovokasi
kesadaranku untuk bersua dengan mu. Entahlah, aku benar-benar gila kali ini. Bujuk
rayu mu benar-benar sialan! Sungguh tak dapat kutahan! Dan kau tahu, aku harus
terus membeli, aku harus terus mengonsumsi untuk selalu bisa menatap wajahmu
yang ayu dengan sedikit curi pandang supaya kau tak terlampau curiga dengan
gelagat aneh ku tentu saja…hahahaaaa…
Aku
tahu, aku sungguh paham. Aku tak terlampau berani untuk menggoda mu tatkala kau
harus hibuk dengan mesin penghitung uang yang selalu berkeluh kesah dengan mu
itu. Ah tidak! Tapi apa maksud mu dengan pertanyaan retorik “struknya sekalian
ndak?” ah sialan! Apa maksudmu pula? hingga aku harus bertanya-tanya pada isi
kepalaku yang malah tak menghasilkan apa-apa? Ah Sialan! Apa maksud mu? Bukankan
kertas kecil itu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari para pembeli? Aih!
Jangan bikin aku bingung… sungguh gara-gara tatapan matamu yang satu ini aku
jadi salah tingkah sendiri. Bah! Aku hanya bisa tersenyum culas tatkala sudah
beranjak keluar, “Sialan! Ternyata kita hanya seorang penjual dan pembeli!”
Komentar
Posting Komentar