Mendengar istilah “cinta” mungkin kita akan segera membayangkan suatu bentuk (form) yang kita “anggap” sebagai hati yang memiliki kualitas warna pink. Setidaknya itulah konsepsi umum yang kita terima sebagai sebuah representasi dan “kebenaran” tentang cinta. Membicarakan cinta-pun tak semudah seperti membicarakan pertandingan final liga champions atau mode dan tren terbaru fashion. Yang jelas banyak interpretasi terhadapnya. Mungkin cinta itu kita persepsi melalui pengalaman empirik yang menyertai langkah gerak kehidupan kita; ada yang bilang menyakitkan, menyenangkan, mencerahkan, dan mungkin membuat galau.
Cinta memang menjadi misteri sejak manusia menjejakkan kakinya dimuka bumi ini. Ia tak dapat kita “tangkap” dengan logika dan impresi inderawi kita. Kadang-kadang sangat absurd, tak bisa terjamah secara material. Ia hanya bisa kita rasakan, persepsikan, dan intensikan; seperti angin yang berhembus hanya bisa kita rasakan tapi tak dapat kita lihat dan sentuh. Cinta adalah pengalaman eksistensial yang esoteris, ia terjadi secara alamiah melalui relung bawah sadar yang terkadang “hadir” dan “hilang” begitu saja. Bahkan apa yang kita rasa sebagai “cinta” bisa saja sekedar hasrat yang sebenarnya menipu dan sifatnya temporal.
Satu yang pasti, sebuah cinta adalah sebuah hubungan primordial yang sangat eksklusif. Ini terjadi dalam hubungan dua anak manusia yang berbeda jenis (sesame jenis pun bisa,hehe) dan menghasilkan sebuah alur estetik yang begitu indah. Hubungan yang sublim dan membikin hati serasa dimabuk kepayang. Sebuah ekstasi atas kerinduan yang membekas dalam jejak (trace) ruang mediasi antara transendensi dan imanensi (wuih opo kui?). namun tak hanya hubungan primordial-eksklusif bagai sepasang merpati yang saling setia terhadap pasangannya, lebih dari itu adalah hubungan sesama kita; manusia! Karena tak jarang kita sesama makhluk ciptaan Tuhan yang berlumur dengan kekurangan justru saling mencibir, merepresi, mengeksploitasi, dan menjajah; hanya demi bayang semu tentang ilusi kekuasaan. Sejatinya sesama kita adalah menanamkan benih cinta-kasih demi kedamaian. Bahkan dengan alam semesta yang seringkali kita anggap sebagai objek eksploitasi pun haruslah diharmonisasikan dengan balutan tirai cinta.
Dalam kacamata Ibn Arabi, Cinta adalah tajjali atau wujud “kehadiran” Tuhan dalam ruang imanensi. Ia bisa terefleksi kedalam wajah seorang yang kita cintai. Mencintai pasangan kita dengan kerendahan hati dan kebersihan nurani untuk berbagi kasih adalah wujud kepatuhan dan ketakwaan kita kepada Tuhan. Mungkin terdengar logosentris tapi toh itulah keindahan yang sejati dimana kita bisa terdiam sejenak dalam alusi dan hamparan “metafisika kehadiran” itu. Sebuah pengalaman estetik yang “berwajah” lain dimana cinta memediasi diri kita dihadapan Sang causa prima.
Cinta adalah representasi estetik dari sublimnya kedalaman jiwa dan kesucian nurani. Emmanuel Kant telah memberikan clue kepada kita tentang putusan estetik, yang didalamnya cinta bisa kita andaikan sebagai salah satu hasil putusan itu. Putusan estetik “murni” Kantian itu merupakan hasil konstruksi akal-budi secara apriori. Sederhananya ia adalah hasil refleksi yang hadir “diluar” pengalaman. Cinta akhirnya dimaknai secara bebas-nilai dari dimensi kepentingan dan kekuasaan yang didalamnya mengandaikan adanya konsepsi universal. Namun, apakah putusan estetik yang mengandaikan suatu konsep keindahan secara universal itu benar-benar nyata? Atau putusan itu hanya sekedar delusi yang justru mengawetkan status-quo kaum berkelas (baca:borjuis)?
Bagi saya cinta bagaikan sebuah teks. Cinta selalu dalam tarikan dan tegangan yang selalu dimaknai dan diresapi dalam ruang multiplisitas interpretasi. Walau tak terlihat secara kasat mata, tapi ia bukan sebuah entitas yang bebas dari jeratan kepentingan. Misalnya saja ketika kita jumpa dengan sesosok wajah yang dalam kategori kita cantik/ganteng, bukankah konsep ganteng/cantik itu sendiri tergantung dari sisi apa kita memandang? Memang cantik/ganteng itu hanya sekedar representasi atau citra semata yang sifatnya material, sementara cinta lebih sublime dari itu. Cinta adalah imajinasi tentang estetika yang sangat mendalam dan terkadang tak dapat direpresentasikan dengan bahasa verbal biasa. Namun, tak dapat dipungkiri cinta terkadang “hadir” dalam buaian citra material itu.
Belum lagi ketika kita melihat realitas yang terjadi hari ini, dimana tafsir tentang cinta dimonopoli dan sengaja dipolitisasi dalam ruang kekuasaan. Cinta sekedar menjadi alat untuk mengondisikan kita dalam tirani arus konsumsi. Hari ini cinta cenderung kita maknai sebagai ilusi yang menciptakan daya magis komoditas untuk sirkulasi nilai-lebih capital (uang) dalam permainan pertandaan. Agaknya benar ketika Umberto Eco dengan sangat sinis menyatakan semiotika (ilmu tanda) sebagai teori untuk berdusta. Hal ini dikarenakan tanda bukan merujuk pada dirinya sendiri, tapi yang dirujuk adalah yang diluar dirinya. Contoh konkret adalah sekarang daya magis iklan telah menyulap secara psikologis diri kita dalam represi dan jeratan untuk terus hanyut dalam pola konsumtif yang tak jarang dibalut dengan simbol-simbol per-cinta-an.
Jika kita cermat, buaian manis para artis sinetron, serta media info(tai)nmen, realiti show dsb. kian mengkhotbahkan dan menjerumuskan tafsir cinta dalam dimensi kedangkalan. Kita dibawa dalam rayuan dan interpelasi akan pemaknaan cinta yang melemahkan hati dan akal pikiran menjadi sok mellow, sok eksis, sok narsis! Padahal sejatinya cinta menjadi sebuah "senjata" untuk melawan segala macam alienasi dan pembodohan yang dikonstruksi oleh para kaum modal yang tentu tujuannya satu: profit! Kita justru "lupa" dengan kekuatan cinta untuk hidup bersama "yang lain". Untuk melakukan emansipasi, sehingga kekuatan cinta dapat membawa manusia pada kesetaraan, keadilan, dan kedamaian.
Lantas ketika cinta “ideal” itu sudah terkontaminasi dengan kepentingan dan kekuasaan, apakah cinta itu sendiri masih dapat kita miliki? Tentu saja itu mungkin dan niscaya, selagi kita bersikap kritis terhadap system yang mencoba merepresi makna cinta dalam tafsir homogen. Cinta sejatinya haruslah menjadi kesatuan dalam diri kita untuk menyayangi dan menghargai sesama dalam pluralitas dan perbedaan. Sehingga cinta tidak terjebak dalam totalitarianisme yang mengabsolutkan dirinya sendiri sebagai yang layak untuk bertahta didunia imanen ini. Didalam ruang privat kita mencintai Tuhan dan mengejawantahkan pada pasangan hidup kita. Didalam ruang publik kita mencinta sesama kita, manusia, binatang, alam semesta, sebagai sesama ciptaan Tuhan. Tanpa ruang interpretasi sepihak, namun dengan menghargai yang-lain (others). Utopia akan peradaban dengan cinta sebagai jantungnya akan membawa kehidupan dalam harmoni, keselarasan, keadilan, dan perdamaian. Sehingga hidup yang penuh kesejukan bukan lagi menjadi imajinasi yang jauh didunia idea sana. SELAMAT MENCINTAI SESAMA…
Komentar
Posting Komentar