Kepemimpinan Intelektual Profetik Dalam Konteks Demokrasi dan Kebangsaan
~Hendra Setiawan*
”Sejarah
menunjukkan bahwa politik yang hanya mencari pemimpin, mengandalkan ’subyek’
yang seakan-akan utuh, akan berakhir dengan harapan yang guncang...” –Goenawan Mohammad
Sebongkah epigram dari Goenawan Mohammad
diatas paling tidak mengingatkan kita akan sebuah keterbatasan, bahkan
ketakmungkinan. Agaknya ini menjadi sebuah ironi, ketika banyak kalangan
merindukan sosok pemimpin yang kuat, karismatik, dan merakyat. Sesuatu yang
seringkali dinanti-nanti sebagai ”ratu adil”—sebuah subyek yang utuh—yang
mendatangkan kesejahteraan dan keadilan.
Memang kecenderungan ini sah-sah saja,
mengingat kondisi realitas ekonomi-politik kita yang nyaris sekarat. Sistem
demokrasi Pancasila yang diterapkan dinegeri ini tak lebih hanya jadi utopia
normatif yang sama sekali tak terejawantah dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Demokrasi yang sejatinya memberikan kedaulatan bagi rakyat, kini
justru diprivatisasi oleh sebagian golongan elit tertentu. Pendek kata,
demokrasi khas indonesia yang berdasarkan semangat gotong royong, telah jadi
demokrasi liberal yang disabotase kekuatan modal, kapital pengetahuan, dan
budaya individualisme.
Demokrasi liberal, yang secara diam-diam kita
praktikkan dalam tatanan politik negeri ini, telah merubah pandangan-dunia (weltanschauung)
kita ihwal demokrasi sebagai ajang perebutan sumberdaya ekonomi semata. Demokrasi
hanya jadi makanan empuk bagi para penguasa modal untuk meraih posisi strategis
dalam pemerintahan. Tentu saja, kepentingan yang muncul bukanlah memperjuangkan
kepentingan rakyat, tapi kepentingan pribadi. Ini dibuktikan dengan maraknya
pejabat negara yang tak malu-malu untuk merampok uang rakyat (korupsi).
Gejala rezim parlementaro-kapitalisme yang
mengeram dalam demokrasi ini jelas-jelas mengangkangi politik dibawah logika
pasar yang intinya kalkulasi untung-rugi—sebuah gejala yang disebut Jurgen
Habermas sebagai ”krisis legitimasi”. Akibatnya, dalam ruang publik politik,
bukan lagi rakyat dan hak asasi manusia yang berdaulat, tapi hukum pasar.
Selain itu, sistem demokrasi yang cenderung
dipahami dalam kerangka legal-formal semata hanya menghasilkan pemimpin
karbitan yang hanya bermodal citra dan kapital. Pemimpin bukan lagi dipahami
sebagai abdi rakyat tapi sebaliknya, menghisap hak rakyat. Kedaulatan rakyat
tersandera oleh anarki dalam demokrasi itu sendiri, dimana demokrasi yang
berprinsip kolektivitas, kesetaraan (egalitarian), keadilan, kerakyatan, dan
kebebasan—justru memenjarakan semua prinsip itu sendiri. Hal ini karena semua
orang tak mengacuhkan kewajiban mereka sebagai bagian dari yang-politik
(kolektivitas) tapi mendahulukan haknya diatas prinsip demokrasi itu sendiri
(individualisme).
Kondisi kegalauan bangsa ini, yang terutama
terlihat dari carut-marut sistem politiknya, membuat orang memimpikan seorang
pemimpin sejati. Hanya saja mengandalkan sosok atau individu tertentu, saya
kira terlalu naif. Sebab negara ini terlalu besar jika hanya mengandalkan orang
per-orang, subyek, atau individu semata. Barangkali itu pula yang dimaksud
Goenawan Mohammad dengan akan berakhir dengan harapan yang guncang.
Kepemimpinan negeri ini memang hendaknya
dikembalikan kepada semangat demokrasi Pancasila. Yang mana semangat
kegotong-royongan menjadi utama untuk diejawantah dalam ruang publik politik.
Maka dari itu kesadaran kolektif untuk menata dan memperbaiki negeri ini dari
jerat privatisme apolitis sangatlah mendesak. Sudah saatnya demokrasi kembali
kepada khittah-nya untuk melindungi kaum tertindas (mustadaffin).
Oleh karenanya, demokrasi mesti di selamatkan dari liberalisme. Nilai-nilai
demokrasi yang sudah di gariskan oleh para founding fathers republik ini
hendaknya kita jadikan pegangan hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam pidatonya kepada sidang BPUPKI tanggal 1
Juni 1945, Soekarno memberikan gambaran nilai-nilai dasar dalam menjalani
kehidupan dalam ruang publik. Nilai-nilai dasar itu adalah kebangsaan Indonesia
(nasionalisme—non-chauvinisme), peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Kelima prinsip tersebut bisa diperas
menjadi tiga prinsip yaitu kebangsaan yang berperikemanusiaan (sosio-nasionalisme),
demokrasi yang berkeadilan (sosio-demokrasi) dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Dari ketiga prinsip itu, dapat disarikan dalam jiwa gotong-royong. (Yudi Latif,
Negara Paripurna)
Nilai-nilai kebangsaan ini sangat relevan
dengan semangat intelektual profetik, sebagaimana konsepsi bang Abdul Halim
Sani dalam bukunya: Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Kepemimpinan
profetik yang pandangan-dunianya terilhami dari Rasulullah Muhammad SAW adalah
semangat pembebasan (liberasi), kemanusiaan (humanisasi), dan ketuhanan
(transendensi)—QS Ali Imran 110. Semangat kepemimpinan ini tentunya menjadi starting
point bagi konstruksi idealisme kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk
tetap berjuang dan terlibat dalam sejarah sebagai agent of social change.
Tentu saja, kepemimpinan profetik ini tak hanya mengandalkan subyek atau
individu-individu tapi kolektivitas (gotong-royong), bukan dipimpin oleh
kehendak orang per-orang melainkan perpijak pada nilai-nilai yang berpihak pada
keadilan universal.
Nalar kepemimpinan profetik ini tentu saja
tidak bebas-nilai (netral) tapi berpihak. Keadilan, kesetaraan, pembelaan kaum
tertindas (kaum mustadaffin) serta melakukan perubahan terhadap
struktur sosial yang tidak adil adalah wujud keberpihakan itu sendiri. Hal inilah
yang perlu disadari oleh kader muda Muhammadiyah sebagai salah satu pilar
kebangsaan. Karena tak dapat dipungkiri kaum muda progresif merupakan tonggak
awal dalam rangka mencapai suatu perubahan revolusioner. Sebagaimana para Nabi
yang diutus oleh Tuhan sebagai agen yang akan mendekonstruksi system sosial
yang timpang dan penuh dengan ketidakadilan. Seorang intelektual adalah penerus
tradisi para nabi yang membela golongan lemah dan terpinggirkan. Seorang
intelektual adalah seorang yang melampaui kapasitas definitif dirinya sendiri
untuk mendahulukan kepentingan maslahat dari pada kepentingan diri pribadinya
sendiri.
Memang, suka atau tidak suka, kader-kader muda
Muhammadiyah yang berkiprah di dunia politik saat ini masih bisa dihitung
dengan jari. Padahal, politik adalah sarana yang sangat strategis dalam rangka
merubah tatanan sosial menjadi lebih adil. Pada aras ini, kader-kader muda
Muhammadiyah (IMM) hendaknya menjadi ”penyambung lidah rakyat” dalam momentum krisis
kepemimpinan yang melanda negeri ini. Paling tidak, mempersiapkan diri untuk
menjadi pemimpin. Sebagaimana saya tegaskan diatas, pemimpin memang bukan soal individu
semata, atau siapa yang memimpin. Memang determinasi individu tak bisa
dilepaskan, terutama sang pemimpin dalam mengambil arah kebijakan. Namun,
lagi-lagi, negara ini bukanlah sebuah mesin otomatis yang hanya dikendalikan
segelintir orang saja, sehingga kolektivitas dalam rangka memajukan dan
mensejahterakan rakyat adalah tugas kita bersama, tanpa memandang suku, ras,
agama, dan kecenderungan primordialitas lainnya. Syahdan, ”ratu adil” itu
bukanlah sesosok individu—subyek yang utuh—tapi nilai-nilai yang kita yakini
dan ejawantah sebagai jalan menuju sebuah negeri yang baldatun tayibatun warabbun
ghafur. []
*Sekbid Keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
PC Djasman al-Kindi kota Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar