Langsung ke konten utama

cinta dan filsafat: sebuah perenungan

Kenapa filsafat? Sebab cinta sejati hanya mungkin didapat kalau orang mau berpikir tentang hakikat hidup, terutama hubungan antara manusia, dengan alam dan Tuhan. Sedangkan menghabiskan waktu untuk "pacaran"—apalagi hanya didasarkan pada pelampiasan nafsu seksual (libido)—hanya akan menjauhkan jiwa dari kegilaan akan kebenaran.

Mahasiswa yang menyukai ilmu pengetahuan, filsafat, dan memaksimalkan intelektualnya, biasanya akan berbeda dengan mahasiswa yang hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Sebagian besar mahasiswa yang menyukai buku-buku kelak akan menjadi bagian dari orang-orang pengukir sejarah bagi perubahan kemanusiaan. Sedangkan para mahasiswa yang menyukai belanja kosmetik dan benda-benda yang membuatnya nyaman dalam budaya "gaul" tetap saja menjadi makhluk yang hanya mengikuti ritualitas kemanusiaan biasa, dan perannya sangat sedikit sekali dalam sejarah, bahkan hanya ikut-ikutan dan ikut memundurkan kemanusiaan.

Kita semua sepakat bahwa hidup adalah misteri. Mahasiswa yang tekun menjalani hari-hari bersama buku-buku dan aktifitas merespons perkembangan zaman biasanya cenderung menggapai-gapai kebenaran sepanjang sejarah. Merangkak dan menyusuri bukit-bukit pertanyaan. Secara integral waktu dan ruang itu membentuk kegiatan kita dari pemahaman mereka. Waktu dan ruang itu tidak bisa digugat justru karena mereka pada dasarnya mengarang dirinya sendiri.

Filsafat sebagai cara berfikir total dan radikal harus mempertanyakan kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Realitas yang ada harus selalu di ungkit-ungkit. Artinya, skeptisisme harus diarahkan pada kritisisme terhadap kebenaran dan logika yang selama ini dominan serta tidak mampu menjelaskan lika-liku dan kontradiksi yang ditimbulkannya. Instrumen dan teknik-teknik guna mendapatkan kebenaran harus diruntut karena peradaban (realitas) yang dihasilkannya terkesan menuju kearah pelembagaan status-quo yang ujung-ujungnya menindas, sebagaimana terjadi dalam kasus modernitas.

Dalam kapitalisme dewasa ini, segalanya menjadi komoditas, termasuk cinta, dan diantara kita ada yang pesimis, bahwa cinta tidak ada. Tapi, kita masih memungkiri kita hanyalah spesies biasa yang kehilangan ancangan filsafat. Inilah masa dimana the death of phylosophy terjadi.

Ternyata cinta harus tunduk pada diktum kaum pemodal (kapitalis) yang mempropagandakan cinta-cinta sempit. Cinta hanya direduksi pada tataran eksklusif seperti di sinetron-sinetron yang akhirnya tertuju pada pematian karakter pemuda dan ajaran amoral. Cinta hanya dikomoditaskan untuk meraup untung belaka. Kaum muda "dipaksa" hanya mengurusi style dan didikte untuk melupakan buku-buku dan ilmu pengetahuan. Cinta pun dalam dunia muda hanya mengarah pada tindakan-tindakan seksual yang mereka tiru dari para mainstreamnya -selebritis glamour antek kapitalis.

Yang perlu ditegaskan ialah persoalan cinta dalam hal ini bukan hanya masalah keseimbangan libidnal belaka. Tetapi, lebih dari itu, ia adalah semangat dan bahkan soal filsafat. Bercinta adalah berfilsafat. Manusia yang dari hubungannya dengan orang lain berhasil melampiaskan kebutuhannya yang bermacam-macam, tetapi ia sama sekali tidak tahu hakikat manusia dan hubungannya dengan Tuhan,alam,dan manusia lain. Ia memang cenderung seperti binatang (rakus, serakah, hanya dikendalikan alam bawah sadarnya). Jadi, cinta bukan persoalan main-main. Cinta adalah filsafat: mencintai kebijaksanaan.

Dengan demikian kita harus melakukan restorasi pemikiran dan pemahaman kritis terhadap realitas sosial dan hubungan cinta antar sesama manusia. Selanjutnya marilah kita hargai kebenaran cinta dengan sebenar-benarnya. Ketulusan, kerelaan, kesetiaan, dan pengorbanan tanpa pamrih harus dipraktikan dalam kehidupan. Karena salama ini klaim-klaim kebenaran hanya menghasilkan tragedi dan elegi cinta, justru atas nama agama dan negara (nasionalisme) itu sendiri.

Kita selalu berharap peradaban dunia akan selalu tampil dan indah. Perkembangan dan maturitas filsafat serta nilai-nilai cinta akan selalu menemukan relevansinya dengan tingkat pencapaian budaya dan peradaban dalam masyarakat yang tinggi.

Komentar

Populer