Dewasa ini generasi muda Islam sebagai pilar-pilar kemajuan bangsa mendapat tantangan serius dengan munculya budaya populer. Budaya populer yang berwatak sekuler tersebut merupakan produk budaya kapitalisme global yang memang menginginkan dominasinya sebagai ideologi tunggal di dunia ini. Infiltrasinya terhadap Indonesia sendiri sebenarnya juga tak lepas dari arus globalisasi yang begitu cepat. Globalisasi yang dulunya dijanjikan akan mensejahterakan dunia justru menjadi malapetaka besar bagi negara dunia ketiga. Pemboncengan paham neoliberal dalam globalisasi yang bertumpu pada kapitalisme tersebut selain menyerang basis dari superstruktur (ekonomi) juga menyerang ranah budaya. Budaya populer sendiri memang sengaja diciptakan untuk merusak generasi muda sebagai generasi sampah, kaum muda didekte untuk tunduk pada indoktrinasi faham kapitalisme dan dibuatnya berbagai cara agar mereka mengalami ekstasi hingga akhirnya teralienasi dan lupa jati dirinya. karena mereka tahu generasi muda yang kritis akan membahayakan eksistensinya sebagaimana paham komunis Soviet yang telah runtuh.
Dalam kehidupan sosio-kultural di Indonesia sendiri, kini budaya populer telah menghegemoni sendi-sendi kehidupan kaum muda di berbagai aspek. Hegemoninya tercermin dari perilaku dan gaya hidup sebagian besar kaum muda yang semakin amoral (jauh dari nilai normatif), hedonis (serba mau enak/foya-foya), permistik (serba boleh), materialistik (serba uang), brutalistik (serba kekerasan) dan sangat jauh dari bingkai keislaman. Sangat ironis sekali, Kaum muda yang seharusnya menjadi tonggak perubahan justru terjebak dalam sikap pragmatis dan bisa dibilang justru melanggengkan kebodohan. Hal ini pun diperparah dengan adanya tayangan televisi yang malah ikut mengkampanyekan doktrin kapitalisme yang membodohkan tersebut. Seperti yang terjadi sekarang ini, Mereka diarahkan oleh media dan idola semacam “artis-selebritis” yang hanya menegaskan peradaban gosip, peradaban lisan yang selama berabad-abad membuat rakyat nusantara dibodohi oleh kekuasaan (feodal) di istana. Idola itu menghambat kemajuan peradaban literer (baca-tulis) yang diwariskan oleh aktivis pergerakan melawan penjajah melalui pers dan kesusastraan.
Pahlawan masa lalu mengajarkan pentingnya pena dan organisasi dalam menjawab perubahan dalam masyarakat kita yang berada dalam cengkeraman penindasan. Pahlawan masa kini justru membodohi anak-anak, remaja, dan orang dewasa dan menggiring mereka pada kehidupan satu dimensi: Pasar. Sekarang ini, di tengah-tengah masyarakat yang masih menggunakan bahasa dan kata-kata sekedar untuk menghafal nama-nama pemain sinetron dan sepakbola, sekedar untuk melihat berapa persen diskon harga baju yang lagi “ngetrend”. Tak mengherankan jika sekarang bangsa ini gamang dalam menghadapi perubahan karena kaum mudanya saja tidak punya visi yang jelas.
Melihat dekadensi disegala kehidupan kaum muda yang serba pragmatis ini kita sebagai kaum muda Islam haruslah berani melakukan counter-culture (budaya tanding) terhadap ketidakberesan budaya yang dilegalkan tersebut. Kita harus menciptakan suatu kebudayaan yang bahkan mencoba mendefinsikan realitas untuk melawan kecenderungan umum yang berkembang dan dikembangkan untuk menyangga tatanan ekonomi kapitalis. John Milton Yinger, dalam bukunya Counter Culture (1982), mendefinsikan istilah “budaya tandingan” sebagai “seperangkat norma dan nilai dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan norma dan nilai dominan dalam masyarakat di mana kelompok itu menjadi bagiannya”. Jadi disini jelas, sebagai Kaum muda Islam seharusnya berani menyatakan pikiran dan orientasi gerakan yang berbeda. Jangan sampai kita terjebak dalam jurang kubangan budaya populer yang sedang menjadi mainstream dalam masyarakat tersebut.
Kita sebagai generasi muda Islam harus lebih menggali lagi aspek normatif dari budaya keislaman yang semakin terkikis oleh budaya populer. Karena budaya populer dengan ajaran Islam sangatlah antagonistik. Kalau di analogikan sebenarnya budaya popular tersebut merupakan suatu yang merefleksikan penjajahan kolonial layaknya kompeni . hanya saja bentuk dan caranya saja yang berbeda namun substansinya sama yaitu dehumanisasi, pembodohan, dan perbudakan yang lebih halus.
Gerakan kaum muda pun harus selalu tampil dalam setiap sejarah di mana kebudayaan dijadikan topeng kekuasaan yang menindas. Jika kita melihat sejarah, revolusi sosial yang terjadi selalu berawal dari pemikiran kaum muda yang resah akan ketidakadilan sistem. Maka dari itu, kita di sini sebagai kaum muda Islam haruslah sadar akan peran kita sebagai pilar kebangsaan. Tidak dapat dipungkiri jika kaum muda dalam suatu bangsa hancur maka hancurlah bangsa tersebut. Jadi siapkah kita untuk merubah tatanan yang sudah mapan namun salah tersebut? Untuk itu kita harus mulai dari diri kita sendiri untuk merubahnya, pada tingkat individu, secara moralitas, baru kemudian berada langsung pada posisi penting dalam rangka perubahan. Melakukan transformasi secara legal politikal lewat kedudukan yang memiliki kewenangan yang kita capai dalam rangka usaha melakukan perubahan sosial. Karena dalam Al-Qur’an pun dijelaskan:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS: Ar-Ra’d : 11)
Kaum muda Islam memiliki potensi itu, memiliki idealisme itu, memiliki kapasitas itu. Karena perubahan sosial adalah sunatullah, dan manusia adalah aktor utama transformasi sosial walaupun penentu akhir, tetap; berada pada genggaman-Nya. Fastabiquul Khairaat, Wallahul Musta’an...
Komentar
Posting Komentar