Belakangan popularitas pancasila kembali mengalami titik kulminasi setelah sekian lama terabaikan oleh hiruk-pikuknya kepentingan politik praktis. Adanya wacana kembali kepada pancasila merupakan sebuah efek sebab akibat terhadap perilaku beberapa entitas bangsa yang semakin luntur rasa nasionalismenya. Hal ini sepertinya dirasa agak terlambat setelah begitu masifnya intoleransi dan demoralisasi, seperti tindakan elit politik yang koruptif hingga tindakan brutal yang mengaatasnamakan agama. Rasanya ini merupakan sebuah akumulasi dari kegalauan masyarakat yang telah jenuh dengan segala kekacauan yang menghiasi keseharian bangsa ini.
Pancasila yang notabene merupakan konsensus politik yang dikonsepsikan oleh para founding fathers bangsa Indonesia, merupakan sebuah manifestasi dari nilai kebudayaan dan religius yang sangat kompatibel terhadap krakteristik bangsa Indonesia yang pusparagam. Didalamnya jelas mengakomodasi seluruh komponen bangsa tanpa kecuali, mulai dari komunitas agama, etnis, hingga diversitas kebudayaan. Bahkan secara substansial nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri tidak ada yang bertentangan dengan nilai normatif agama.
Sebagai sebuah ideologi, pancasila cenderung bersifat terbuka. pancasila bukan milik suatu golongan, ras, rezim, maupun agama tertentu saja, namun ia merupakan sebuah alat pemersatu ditengah keanekaragaman. Bhinneka tunggal ika, Sebuah determinasi yang melahirkan semangat keindonesiaan. Tak dapat dibayangkan bilamana tidak ada pancasila, bukan mustahil akan berdiri Negara jawa, Negara Sumatra, sampai Negara papua barat. Lalu dimanakah spirit persatuan yang telah kita bangun selama ini? Seolah menghilang ditelan kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Sungguh ironis, bangsa yang dulu dielu-elukan dengan toleransi, keramahtamahan, dan kegotongroyonganya sekarang justru menjadi bangsa brutal yang kehilangan identitas dirinya sendiri. Pancasila pun akhirnya hanya menjadi sebuah narasi artifisial semata.
Hal ini terjadi karena faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal sangat berkaitan erat seiring perkembangan tatanan dunia dengan instrumentasi globalisasinya yang begitu cepat. Pancasila dengan sendirinya entah mengapa begitu saja dilupakan oleh para generasi bangsa. Generasi muda banyak yang mengalami amnesia terhadap sejarah dan karakter bangsanya sendiri. Pengaruh budaya asing memang sangat cepat menginfiltrasi kesadaran berbangsa dan nasionalisme kita. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya berita dimedia yang menyebutkan bahwa banyak dari komponen bangsa yang mengalami disintegrasi, dan dekadensi moral yang nyata-nyata jauh dari kepribadian bangsa timur. Belum lagi rasa persatuan yang semakin luntur. Untuk menyebutkan tiap-tiap poin pancasila dari sila pertama hingga ke lima saja masih tetatih-tatih, apalagi untuk memaknai isi kandungan tiap-tiap sila. Dan yang lebih miris adalah banyak dari komponen masyarakat kita yang justru lebih bangga dengan semua hal yang berbau asing, produk lokal dianggap tak bermutu dan tak berkelas.
Tentunya hal ini sangat memprihatinkan karena tak dapat dipungkiri ketika generasi sebuah bangsa itu hancur maka hancurlah bangsa tersebut. Namun tidak serta merta pula kita dapat menyalahkan para anak bangsa yang melupakan karakter bangsanya sendiri itu. Ini merupakan sebuah permasalah struktural yang memang letak kesalahannya ada pada sistem. Jadi pemerintah sebagai aparatur ideologis tentunya punya tanggung jawab besar teradap krisis kebangsaan ini. Pemerintah pun sebenarnya juga perlu berkaca apakah pemerintah sendiri sudah menanamkan nilai-nilai pancasila dalam setiap kebijakannya. Karena apabila pemerintahnya saja tak mampu memberikan teladan yang baik niscaya rakyatnya juga tak akan jauh berbeda.
Inilah yang menjadi permasalahan internal, banyak dari para oknum pemerintahan yang dalam bahasa Anthony D Smith disebut sebagai internal colonialism. Pemerintah yang mengemban tugas suci rakyat justru banyak menghianatinya dengan ‘menjual’ Negara ini ketangan korporasi kapitalis asing dengan membuat undang-undang yang tentunya sangat bertentangan dengan nilai kerakyatan yang tertuang dalam UUD 1945 maupun pancasila. Tindakan koruptif tersebut diperparah dengan kelakuan para pejabat Negara yang amoral seperti kasus asusila, perselingkuhan hingga nonton film porno ketika sidang. Tak ayal, rakyat pun semakin muak dan hanya bisa geleng-geleng kepala.
Memang sebenarnya spirit menggelorakan pancasila kembali dalam ranah pendidikan perlu diapresiasi. Ia memang masih sangat relevan sebagai basis kebangsaan, hanya saja metode pengajajaranya harus dengan formulasi yang tepat. Jangan sampai pancasila hanya dijadikan alat politik ala orde baru. Pada masa orde baru pancasila memang sangat disakralkan bahkan digunakan sebagai tameng untuk melindungi status quo. Pancasila hanya menjadi jargon kosong yang dibajak untuk kepentingan politik praktis semata. Nilai-nilai luhur pancasila diselewengkan dengan pelanggaran HAM, hegemoni, korupsi dan manipulasi. Pasca reformasi dengan pembaruan demokrasi yang lebih bebas dan terbebaskan. Para pemimpin negeri ini seolah ogah-ogahan untuk menerapkan pancasila sebagai landasan ontologis bangsa terutama dalam hal pendidikan. Kalau toh di ajarkan di dalam dunia pendidikan, pancasila masih sebatas formalitas dan cenderung dogmatis. Tak mengherankan jika para generasi muda tak pernah memahami esensi dari pancasila itu sendiri.
Hari pancasila satu juni lalu seyogyanya tidak dipahami secara simbolik dengan sakralitas semata. Namun esensi dari nilai pancasila itu perlu direaktualisasikan dalam wujud konkrit oleh seluruh komponen bangsa. Kita semua sepakat untuk membangun tatanan bangsa ini menjadi lebih baik lagi, entah itu yang bersangkutan dengan infrastruktur maupun superstuktur. Pemerintah SBY seharusnya lebih peduli terhadap segala permasalan bangsa yang lebih urgen, bukan mengurusi isu-isu yang tidak terlalu signifikan. Dan sudah saatnya politik pencitraan dirubah menjadi politik aktualisasi. Sebagai mahasiswa seharusnya kita juga harus lebih peka dengan permasalahan kebangsaan, terutama menggelorakan spirit kepancasilaan yang sudah mulai pudar. Bung Karno pernah berpesan untuk jangan pernah melupakan sejarah (jas merah) karena memang ketika sebuah bangsa melupakan sejarahnya tak pelak jati diri ataupun karakter bangsa tersebut akan terlucuti. Inilah yang perlu kita renungkan, kalau sejarah itu dibuat oleh manusia kenapa kita tak bisa mengukir sejarah?
Komentar
Posting Komentar