Sudah menjadi kebiasaan umum dimana dalam setiap pergantian tahun terjadi semacam euphoria yang menghingar-bingar. Tahun baru memang telah menjadi ajang yang membahana dengan gemerlap pesta. Sebuah ritual tahunan dengan pola seremonial yang membius semua manusia untuk menunjukkan suka cita terhadap dunia yang semakin menua. Ledakan petasan, kembang api warna-warni, serta tiupan terompet telah menjadi penanda akan hadirnya kebaruan waktu, yang menjadi semacam ketidakkhusyukan apabila semua itu ditinggalkan. Dan semua orang pun dengan antusiasmenya membanjiri tiap sudut kota. Seoalah tak melibatkan diri didalamnya sudah menjadi seseorang yang kuper, kuno, alay dan semacamnya.
Dengan semangat yang berapi-api untuk memeriahkan tahun baru, banyak orang yang rela menghabiskan uangnya untuk sekedar melampiaskan hasratnya. Bahkan semua itu menyimbolkan suatu prestise tersendiri terkait dengan identitas social. Dimana simbolitas tersebut mencitrakan semangat muda, gaya, dan berkelas. Namun, secara kualitatif hal tersebut cenderung kosong akan makna, semua itu hanya sekedar sikap reaktif atas kedikdayaan hasrat yang dipacu dengan semangat model konsumsi schizophrenia.[1]
Lalu bagaimana dengan tahun baru Islam? Apakah kita sebagai muslim yang dalam surat Ali imran 110 dideskripsikan sebagai umat terbaik (khoiro ummah) yang mempunyai misi menegakkan kebajikan (ammar ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar), serta beriman kepada Allah SWT (tu’minabillah) juga akan mengikuti pola tradisi tahun baru ‘sekuler’ tersebut?
Sudah barang tentu, kita sebagai umat islam tidak hanya mengikuti kecenderungan umum yang sangat tidak substansial tersebut. Karena pada esensinya merayakan tahun baru tidak harus dengan hingar-bingar kembang api yang menghabiskan banyak uang. Dan mungkin akan lebih baik apabila uang tersebut kita gunakan untuk hal yang lebih maslahat. Karena bisa kita lihat sendiri, fenomena social yang terjadi dinegara kita ini yang cenderung masih terjadi ketimpangan yang serius terutama secara ekonomis.
Perayaan tahun baru Islam seyogyanya diisi dengan hal yang bermanfaat, terutama untuk membangkitkan semangat spiritualitas atau semangat transendensi. Dimana mendekatkan diri kepada Allah SWT merupakan hal yang urgen terutama jika kita sadar dan galau akan kebisingan globalisasi serta banalitas kehidupan yang telah diambil alih oleh kedangkalan simbol. Dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT tentunya kita akan memperoleh makna kehidupan yang lebih tinggi. Selain itu, ketika realitas objektif mengalami kemunduran terutama secara moral kita sudah siap dengan bentengan iman kita untuk melawan imoralitas yang ada. Karena sudah menjadi tugas kekhalifahan kita sebagai manusia untuk membasmi segala kemungkaran dan menegakkan kebajikan.
Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai mahasiswa? Mengingat kita memiliki keberuntungan tersendiri dibanding banyak teman sebaya kita yang tidak mampu mengenyam pendidikan tertinggi yang semakin mahal. Bahkan mahasiswa ini juga dijuluki sebagai agent of change. Tentunya tugas mahasiswa sebagai seorang intelektual harus mengoptimalkan kemampuan epistemiknya untuk melawan segala macam ketidakadilan yang terjadi. Karena secara cultural seorang intelektual mempunyai tanggung jawab moral terutama dengan kondisi social yang ada. Mahasiswa jelas selain harus mampu secara akademis, juga harus melakukan transformasi social dalam rangka merubah tatanan dunia yang lebih adil. Selain itu kita sebagai mahasiswa muslim yang notabene mempunyai kewajiban untuk menegakkan kebajikan juga harus ikut pro-aktif dalam membasmi kemungkaran. Karena tidak dapat dipungkiri, pada masyarakat islam seorang intelektual bukan saja seorang yang dapat melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang cemerlang, namun lebih dari itu menurut Ali Syari’ati ia juga harus menguasai ajaran islam atau islamologis, dalam ini Al-Quran mempunyai istilah khusus yaitu Ulil Albab atau orang yang benar-benar berakal.
Ali Syari’ati menyebut seorang intelektual itu sendiri sebagai Rausyan fikr. Rausyan fikr adalah kata dari persia yang artinya ’pemikir yang tercerahkan’, dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intellectual atau free thinkers. Rausyan Fikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, seorang rausyan fikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya, rausyan fikr memberikan penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, rausyan fikr berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam pekerjaannya, rausyan fikr harus melibatkan diri pada ideologi. Sejarah kata Syari’ati hanya dibentuk oleh kaum rausyan fikr (Ali Syariati, 16:1984). Jadi seorang intelektual bukanlah seorang yang bebas nilai, namun ia harus bepihak dan tentu berpihak kepada kaum tertindas.
Maka dari itu berfikir merupakan suatu hal yang niscaya. Sebagaimana dikatakan Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif “Kemajuan berfikir akan diraih jika kemerdekaan berfikir itu digalakkan dan dilindungi. Sebaliknya, kehinaan dan keterbelakangan umat adalah akibat dari pemasungan terhadap kemerdekaan berfikir, baik itu oleh penguasa maupun ‘ulama’ yang reaktif di mana pemikirannya telah lama menjadi fosil”. Karena kita dapat berkaca dalam sejarah, dimana ketika terjadi kejumudan berfikir dalam Islam justru menghasilkan peradaban yang dekaden. Sehingga, Faktor agama mutlaq diperlukan dalam rangka pemantapan intelektual serta peningkatan harga diri untuk tujuan yang mulia. Serta tidak menafikkan akan peran manusia itu sendiri dalam ber-kesadaran.
Berkesadaran merupakan langkah awal kita sebagai mahasiswa muslim untuk memposisikan diri dalam realitas sosial. Kyai Ahmad Dahlan pun pada waktu mendirikan Muhammadiyah sadar akan kondisi sosial yang tidak sesuai dengan gambaran ideal. Dimana terjadi kemerosotan berfikir, kebodohan, berbagai macam bid’ah, serta banyak ajaran agama yang salah dipahami. Tentu hal tersebut menjadi suatu kegalauan sendiri bagi manusia yang berkesadaran. Dalam konteks zaman kontemporer ini permasalahan sosial pun semakin kompleks bahkan ‘agama’ sekarang dikomoditaskan oleh orang-orang tertentu. Sehingga tanggung jawab moral maupun politis kita sebagai mahasiswa tentu sangat berat, salah-salah kita bisa terjerumus dalam lingkaran system yang sudah terasionalisasi secara formal tersebut.
Permasalahan yang ada saat ini mahasiswa sebagai kaum yang tercerahkan atau yang seharusnya sebagai kaum intelektual justru terjebak dengan beberapa masalah internal maupun eksternal, sehingga proses mengentaskan umat dengan keilmuannya atau nalar ilmiahnya tidak berperan secara maksimal (integrasi antara teori dan praksis), adapun permasalahan yang menghambat mahasiswa untuk dapat menjadi seorang intelektual lebih cenderung disebabkan oleh orientasi menuntut ilmu yang salah serta terjebaknya mahasiswa dalam dinamika hukum industrialisasi atau masyarakat modern.[2]
Akhirnya, tahun baru islam tentu bukanlah sebuah ajang untuk sekedar bersenang-senang dan melampiaskan hasrat kita. namun lebih dari itu, merupakan ajang untuk memperbaiki diri serta melakukan refleksi terhadap apa yang kita perbuat sebelumnya. Terutama kita sebagai mahasiswa harus berkesadaran dalam menyikapi setiap fenomena sosial yang ada. Sehingga kita dapat mewujudkan cita-cita islam dalam rangka membangun peradaban yang bermoral dan berkeadilan.
[1] Yasraf Amir Piliang Dalam bukunya dunia yang dilipat, model konsumsi schizophrenia adalah objek sebagai rangkaian tanda-tanda yang antara satu tanda dan tanda lainnya tidak terdapat konsistensi makna, nilai atau ideology dibaliknya.
[2] Dalam bukunya yasraf amir piliang yang berjudul hypersemiotika tafsir cultural studies atas matinya makna, masyarakat modern adalah masyarakat yang sudah tidak mempertanyakan makna dalam menjalani prosesi kehidupan serta lebih terjebak pada dunia imagology (dunia semu akibat terdistorsi kedangkalan simbol).
Komentar
Posting Komentar