Langsung ke konten utama

aku manusia modern

Peradaban dunia dewasa ini bisa dikatakan sedang mengalami ‘sekarat’, arah dan tujuan kehidupan manusia sedang dalam masa disorientasi. Ambivalensi dan ketidakjelasan hidup manusia semakin merunyam seiring modernitas yang terlampau membanggakan materi diatas segalanya. Bahkan secara sinis dan terkadang fatalis kaum posmodernis selalu menggelindingkan wacana akan matinya setiap  lini kehidupan manusia. Diawali dengan matinya Tuhan yang ‘dibunuh’ oleh sang ‘superman’ dari Prussia, Nietczhe. Hingga lahirnya postrukturalisme yang mengasumsikan matinya manusia sebagai subyek sejarah yang berfikir  dan gerakan posmodernisme yang menolak narasi besar.

Hal ini tentu tak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh peradaban barat. Namun segala kemajuan tersebut ternyata menyimpan suatu kontradiksi internal dan paradox didalamnya. Dimana memang disatu sisi perkembangan science dan ilmu pengetahuan yang berbanding lurus dengan kemajuan teknologi tersebut telah membawa kepada suatu kemajuan yang pada zaman dulu tak pernah terfikirkan oleh manusia. Disatu sisi kemajuan tersebut justru menghasilkan alienasi, dehumanisasi, dan ekstasi. Secara historis hal tersebut merupakan warisan ideology pencerahan dimana “cogito ergo sum” Cartesian telah menjadi adagium barat untuk menaklukkan alam atau dalam bahasa Max Weber yaitu rasionalitas teknis. Theodor Adorno seorang teoritisi Frankfurt school (Edkins dan Williams, 2010:9) bahkan secara sinis menganggap pencerahan adalah totalitarian dimana “hidup telah menjadi ideology bagi ketidakhadirannya sendiri”.

Renaissance yang berawal dari kejumudan berfikir oleh kungkungan dogma gereja akhirnya memberontak untuk keluar dari dogmatism yang dianggap mengekang kemajuan manusia melalui sains. Disusul dengan aufklarung di daratan Jerman yang semakin mengukuhkan subyektifitas manusia untuk menguasai dan mengeksploitasi alam. Filsafat yang dulunya hanya membahas persoalan metafisis yang spekulatif akhirnya mendedahkan dirinya pada ontology materi. Adalah Auguste Comte seorang yang membawa sains pada paham positivisme yang menolak sesuatu yang tak bisa di ferivikasi secara inderawi. Metafisika dan ontology-pun semakin mengalami titik nadirnya dalam diskursus filsafat barat.

Jelaslah akar masalah peradaban hari ini berakar dari suatu genealogi hasrat yang dalam bahasa Nietsche nalar tak lebih hanya sebagai manifestasi kehendak untuk berkuasa. Hal ini mendapatkan legitimasinya dimana kemajuan dalam hal teknologi yang diawali dengan revolusi industri justru menghasilkan suatu system eksploitatif. System ekonomi yang di percayai Marx sebagai dasar dari pembentukan superstruktur berupa budaya, politik, dan agama justru menciptakan rezim imperium modal yang menghasilkan antagonism kelas: borjuiasi-proletar, penindas-tertindas. Kemengan laissez-faire semakin mengalami titik kulminasinya seiring berkembangnya zaman.  Ideology liberalism pun bercokol pada posisi puncak peradaban seiring runtuhnya rezim komunis Bolshevik. Berakhirlah sejarah, demikian klaim Fukuyama dimana kapitalisme-neoliberalime sebagai system ekonomi dan demokrasi liberal sebagai system politik adalah jalan akhir peradaban.

Kontradiksi peradaban pun semakin memuncak seiring globalisasi-neoliberal yang digulirkan beberap  decade lalu oleh para neo-konservatif kanan baru seperti Margaret Thatcher   dan Ronald Reagan yang mengawali pasar bebas sebebas bebasnya. Pemiskinan missal pun tak dapat dihindari seiring akumulasi nilai lebih yang dikeruk oleh pemodal raksasa. Belum lagi hancurnya ekosistem oleh rasio-instrumental ala pencerahan barat yang mengeksploitasi alam secara habis-habisan. Ancaman pemanasan global, efek rumah kaca, dan bencana alam pun semakin tak dapat dibendung.

Belum lagi, persoalan modernitas yang bersenyawa dengan kapitalisme dimana menghasilkan budaya-budaya renda yang menggiring manusia pada alienasi. Nilai guna telah berubah menjadi nilai tanda. Polesan luaran, citra, symbol, telah menjadi berhala baru masyarakat modern. Hasrat manusia semakin diperalat untuk takluk pada dictum para produser mode untuk terus mengkonsumsi dengan demagog manipulasi media, dan anteknya berupa bintang-bintang selebritis hiburan. Hidup semakin kosong akan makna yang ada hanya artifisialitas dan mitos.

Manusia semakin terjebak dalam dimensi realitas yang semu. Dunia virtual cyberspace yang menyajikan suatu dunia tak terbatas, dunia yang terlipat, tidak meruang maupun mewaktu. Sebuah dunia- meminjam istilah Baudlillard- simulacrum. Sebuah dunia semu yang tidak mempunyai referensi tanda didalam realitas otentik. Sebuah duplikasi yang sempurna sehingga antara realitas sejati dan yang palsu tumpang-tindih tanpa kendali, tak jelas mana yang asli mana yang palsu. Dunia hiperrealitas yang ditawaran semakin melucuti kesadaran manusia untuk melalukan refleksi, kontemplasi. 

Peradaban pun pada lampu merah!!!

Komentar

Populer