Langsung ke konten utama

OBITUARIUM NALAR






"..Kita sedang berada dalam keretakan realitas yang semakin menjauh dari suatu kesejatian. Banalitas dunia yang semakin diambil alih oleh kedangkalan symbol. Sebuah panggung artifisialitas yang kita anggap sebagai realitas sejati. Kita, manusia, adalah sesuatu entitas yang sadar akan berlumurannya waktu. Das sein, demikian kata Heidegger. Kita adalah manusia sejarah yang sadar akan ke’ada’an kita sebagai penghuni kosmos yang teratur. Namun hari ini kita, manusia, lebih suka hidup dalam kesadaran praktis. kesadaran bertindak dimana kita tidak harus berfikir keras untuknya. kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat. Semua tanda Tanya harus dipastikan. Satu saja lolos tertib kosmis akan mengalami gangguan. Alam yang bernalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja menurut satu gramatika. Itu hanya bisa disibak oleh nalar yang patuh. Nalar manusia terbatas, begitu cibir sang mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Ia tidak bekerja dengan kesejatian, melainkan keasingan. Naluri kerinduan pada yang asing membuatnya senantiasa lincah mencari gramatika-gramatika baru. Pencarian puitis guna menyeret yang asing ke dalam terang epistemic. Ini adalah sebuah upaya melompati yang benar dan yang salah menurut sejarah. Matinya realitas adalah hidupnya nalar puitis, nalar yang bekerja ditanah tak berjejak  antara yang relative dan yang mutlak. Sehingga cinta, hampa, hasrat, pelampiasan, dan penahanan; menyeruak dalam latai dasar kesadaran untuk mencari kesejatian makna…"

Komentar

Populer