A. LATAR BELAKANG
“Pendidikan telah mati” sebuah pernyataan retoris yang keluar dari
pemikiran posmodernisme yang terkadang hanya dianggap sebagai sejenis
intellectual gimmick. Namun, apakah pernyataan “pendidikan telah mati” itu
sendiri benar dan sesuai dengan realitas objektif yang ada? Dan penyataan
tersebut bukanlah bahasa metafora yang hanya sekedar menjadi bahasa puisi dan
sastra. Memang dilihat secara kasat mata ataupun tanpa menilik substansi dari
sebuah pendidikan untuk memanusiakan manusia pendidikan utamanya pendidikan
formal akan terasa biasa-biasa saja dan tanpa masalah yang membelitnya. Tetapi
jika kita benar-benar bisa melihat secara tajam realitas yang ada sekarang ini
mungkin adagium “pendidikan telah mati” merupakan sesuatu yang benar adanya.
Hal ini tentunya tak akan lepas dari kondisi moralitas bangsa kita
yang semakin jauh dari nilai-nilai transenden. Dimana dekadensi moral yang
sangat luar biasa telah menghantui struktur masyaakat kita. dimulai dari
kenakalan remaja yang semakin tejebak dalam pergaulan bebas, free sex, korupsi
oleh pejabat Negara, pertikaian antar etnis yang masih saja mengedepankan sikap
primordialnya, dan lain sebagainya. Tentunya, semua dekadensi moral tersebut
tak akan lepas dari peranan pendidikan sebagai pilar untuk menciptakan sebuah
peradaban. Belum lagi terkooptasinya pendidikan dengan system ekonomi kapitalisme yang
mau tidak mau pendidikan justru menghamba dengan pasar. Sebagaimana dikatan
Prof. Bambang Sugiharto "institusi pendidikan hari ini berkecenderungan
kuat sekedar menjadi lembaga ekonomi yang menjual pengetahuan sebagai
komoditas, atau mereduksi diri menjadi semacam balai latihan 'pertukangan'
belaka,yang memang melahirkan tukang yang ahli namun tanpa visi, terampil namun
tanpa ruh dan isi..."[1]
Pendidikan merupakan sebuah aspek fundamental
dalam membangun sebuah peradaban. Tanpa adanya determinasi pendidikan dalam
ranah superstruktur tentunya yang terjadi hanyalah dehumanisasi. Manusia tidak
menjadi bermoral namun justru dengan rasio yang dimilikinya hanya untuk
mengebiri hak-hak orang lain. Secara umum memang pendidikan merupakan sebuah
proses untuk ‘memanusiakan’ manusia. Tentunya bukan hanya menjadikan manusia
pintar semata namun juga memanusiakan dalam artian membuat manusia memiliki
integritas sehingga tercipta suatu sinergi kebijaksanaan. Adalah sebuah percuma
ketika pendidikan hanya menghasilkan sumber daya manusia yang dengan kepintaran
rasionya justru mengeksploitasi manusia lain.
Pendidikan merupakan proses tanpa akhir yang
diupayakan oleh siapapun, terutama (sebagai tanggung jawab) Negara. Sebagai
sebuah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan ilmu pengetahuan, pendidikan
telah ada seiring dengan adanya manusia. Dalam hal inilah, letak pendidikan
dalam masyarakat sebenarnya mengikuti perkembangan sejarah manusia. Tak
mengherankan jika R.S. Peters dalam bukunya The Philosophy of Education
manandaskan bahwa pada hakikatnya pendidikan tidak mengenal proses akhir karena
kualitas kehidupan manusia terus meningkat.[2]
Namun
apakah pendidikan itu bebas nilai? Tentu tidak, karena memang pendidikan juga
merupakan sebuah ajang perebutan kekuasaan. Ideologi-ideologi sealalu ‘bermain’
dibawah permukaan untuk saling menancapkan hegemoninya. Yang pasti,
ideologi-ideologi tersebut merupakan representasi dari kepentingan rezim
penguasa. Pendidikan yang selalu dibawah
bayang-bayang ideology penguasa kemudian menjelma menjadi jalur paling efektif
untuk melanggengkan status quo. Hal ini memang bersifat laten karena secara
tidak sadar sebenarnya pendidikan yang seolah-olah netral ternyata didalamnya
terdapat suatu pergumulan ideology dan politik. Ivan illich dan Paulo freire
merupakan tokoh yang menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini
hampir dianggap sakral, penuh kebajikan tersebut ternyata mengandung
penindasan.[3]
Dalam kehidupan sosio-kultur maupun
sosio-politik di Indonesia juga tak dapat lepas dari cengkeraman ideologi
penguasa. Terutama dalam ranah pendidikan, pendidikan nasional sudah menjadi
semacam komoditas politik dari kepentingan tertentu. Bukan mustahil ketika
tujuan pendidikan mengambang dan tak jelas juntrungnya. Bahkan tujuan
pendidikan akan semakin kabur ketika intervensi penguasa kelewat dominan. Pendidikan
pun akhirnya tidak sesuai dengan koridornya yang mulia untuk membangun
mentalitas maupun karakter bangsa. Pendidikan justru muncul sebagai agen
kepentingan politik semata.
Dalam hal ini pendidikan memang sarat akan
muatan ideologis dan politis, terutama berbicara tentang ideology tak akan pula
lepas dari keterkaitan dengan superstruktur lain seperti ekonomi. Tentunya,
ketika membicarakan pendidikan secara makro tak akan lepas dari dimensi
superstruktur lain seperti ekonomi –yang menempati basis supersruktur¬,
politik, budaya, ideology, agama, dan sebagainya. Berkembang atau tidaknya
sebuah pendidikan tentunya tak dapat dilepaskan dari determinasi dimensi
superstruktur lain. Menurut Karl Marx, kehidupan sosial memang terbangaun oleh
determinasi supertsruktur dan ekonomi menempati basisnya.[4] Jadi Marx dan
filsafat materialisme-dialektikanya menyatakan bahwa sepanjang sejarah manusia
hidup dibawah material yang nyata dalam rangka melakukan aktualisasi kebutuhan
ekonomi.
Maka dari itu tulisan ini mencoba menelusuri
jaringan ideology yang sudah mengakar dalam system pendidikan kita. Makalah ini
membatasi uraiannya hanya pada pelbagai paradigma atau ideologi pendidikan dan
bagaimana pengaruhnya pada perkembangan kurikulum yang digagasnya. Itupun
terfokus hanya pada sistem pemikiran yang berkembang di Barat serta dengan
paradigm alternative yaitu Islam sebagai sebuah system yang holistik. Di sini
penulis membagi pembahasan pada dua konteks pemetaan pemikiran yang menurut
hemat penulis, baik langsung maupun tidak, terjadi “saling sapa” antara satu
dengan lainnya dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran yang pernah ada.
Pemetaan dalam konteks studi mengadapsi paradigmanya Henry Giroux &
Aronowitz yang secara lebih sederhana mengkatagorikan dalam: konservatif,
liberal dan kritis.[5] Namun dalam konteks diskusi tulisan ini hanya akan
dibahas terkait dengan paradigma liberal, konservatif serta paradigma Islam
sebagai solusi. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan pelbagai sistem
pemikiran pendidikan yang melatarbelakangi lahir dan berkembangnya keanekaan
kurikulum. Asumsinya, tiada sesuatu yang hadir dari ruang hampa. Demikian juga
gagasan dan desain kurikulum. Tiada yang berkembang kecuali ada sistem
pemikiran yang melahirkannya. Sistem pemikiran ini, biasanya, disebut dengan
paradigma dan bahkan ideologi, yang pada mulanya berakar dari refleksi
filosofis khususnya tentang hakikat manusia (sebagai individu maupun kelompok),
dan kemudian mewujud dalam konsepsi tentang manusia dari pelbagai perspektifnya.[6]
B.
PEMBAHASAN
Selama ini mungkin sering terjadi kekaburan
makna antara kata yang secara substansial hampir sama. Seperti “ideologi
pendidikan” dengan “filosofi pendidikan”, menurut William O’neil, ada semacam
kedekatan arti atau bisa dibilang kesamaan pengertian antara keduanya. Kedua
istilah tersebut merujuk pada suatu aspek pembahasan, yaitu mengkaji pendidikan
secara fundamental melalui tingkatan abstraksi yang jauh lebih tinggi. Oleh
karena itu, tingkatan tersebut kemudian lebih berdekatan dengan pengertian
filsafat pendidikan.[7]
Dalam konteks pembahasan ini akan penulis bagi
sesuai dengan perspektif Henry Giroux dimana menurutnya terdapat tiga paradigm
utama dalam pendidikan yaitu konservatif, liberal dan kritis. Namun dengan
alasan tertentu, yang akan menjadi pokok pembahasan hanya paradigma liberal
serta kritis dan ditambah paradigma Islam sebagai alternative solusinya.
1.
Paradigma Liberal
Berangkat dari keyakinan bahwa memang ada
masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan
persoalan politik-ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas
pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik-ekonomi.
Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan
dengan keadaan ekonomi-politik di masyarakat dengan jalan memecahkan berbagai
permasalahan pendidikan melalui usaha reformasi yang bersifat “facial” atau
“kosmetik”.
Umumnya yang dilakukan adalah seperti perlunya
membangun kelas dan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah dengan
pengadaan komputer, multimedia, dan laboratorium yang lebih canggih, serta
berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu, juga berbagai
investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran/pelatihan yang lebih efisien
dan partisipatif, seperti kelompok dinamik ‘learning by doing”, experimental
learning, active learning, dan sebagainya. Namun usaha peningkatan tersebut
tetap terisolasi dalam sistem dan struktur ketidakadilan kelas maupun gender, dominasi
budaya dan represi politik yang ada di dalam masyarakat.
Pendekatan liberal inilah yang mendominasi
segenap pemikiran tentang pendidikan baik formal maupun non-formal. Akar dari
sistem pemikiran ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan
pengembangan kemampuan, melindungi hak dan kebebasan (freedoms), serta
mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi
menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal ini
berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme, di mana ide politik
liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang
diuntungkan oleh kapitalisme.
Jejak Liberalisme dalam pendidikan dapat
dianalisa dengan melihat pengaruh filsafat Barat tentang model manusia
universal yakni model manusia Amerika dan Eropa. Model ideal mereka adalah
manusia ‘rasionalis liberal’, seperti: pertama, bahwa semua manusia memiliki
potensi sama dalam intelektual; kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial
dapat ditangkap oleh akal; dan ketiga adalah “individualis” yakni adanya anggapan
bahwa manusia adalah atomistic dan otonom. Menempatkan individu secara
atomistic membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan dan
masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberalisme ini tampak dalam
pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui persaingan antar murid. Juga pada
pendekatan “andragogy” seperti dalam training managemen dan kewirausahaan.
Achievement Motivation Training (AMT) yang diciptakan David McClelland adalah
contoh terbaik pendekatan ini. McClelland berpendapat bahwa akar masalah
keterbelakangan dunia ketiga adalah karena mereka tidak memiliki apa yang
dinamakannya N Ach. Oleh karena itu, syarat pembangunan bagi rakyat dunia
ketiga adalah perlunya terjangkiti virus “N Ach” yang mebuat individu agresif
dan rasional.[8]
Lain dari itu, paradigma pendidikan liberal juga dipengaruhi oleh
positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang memahami
realitas dengan meminjam pandangan, metode dan teknik ilmu alam dalam memahami
benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi melalui
metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori. Positivisme berasumsi
bahwa penjelasan tunggal dianggap ‘appropriate untuk semua fenomena. Oleh
karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan harus didekati
dengan metode ilmiah yakni obyektif dan bebas nilai. Dengan kata lain,
positivisme mensyaratkan adanya pemisahan antara fakta dan values dalam rangka
menuju pada pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.[9]
2.
Paradigma Kritis
Pendidikan bagi mereka merupakan arena
perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif, pendidikan bertujuan untuk
menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka
paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam
politik-ekonomi masyarakat di mana pendidikan itu berlangsung. Bagi mereka
ketidakadilan dan diskriminasi sosial dalam masyarakat tercermin pula dalam
dunia pendidikan.
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan
adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah
transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap
kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial dapat tumbuh
berkembang dan mampu melakukan dekonstruksi serta advokasi menuju sistem sosial
yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin bersikap netral, obyektif maupun
berjarak dengan masyarakat seperti anjuran positivisme. Dengan kata lain, tugas
utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami
dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.[10]
Tentunya paradigm pendidikan kritis tidak akan
lepas dari tokohnya, Paulo Freire. Filsafat Freire bertolak dari kenyataan
bahwa di dunia ini ada sebagian manusia yang menderita sedemikian rupa
sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain, justru dengan
cara-cara yang tidak adil. Dalam
kenyataannya, kelompok manusia yang pertama adalah bagian mayoritas umat
manusia, sementara kelompok yang kedua adalah bagian minoritas umat
manusia. Dari segi jumlah ini saja
keadaan tersebut sudah memperlihatkan adanya kondisi yang tidak berimbang, yang
tidak adil. Inilah yang disebut oleh
Freire sebagai ”situasi penindasan”.
Bagi Freire, penindasan, apapun namanya dan
apapun alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat
kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi
ini bersifat mendua, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum
tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia
sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi
tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat
tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in The Culture
of Silence).[11] Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena
telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan
penindasan bagi manusia sesamanya.
Karena itu tidak ada pilihan lain, ikhtiar
memanusiakan kembali manusia (humanisasi) adalah pilihan mutlak. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan bagi
kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi
sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan
ontologis di masa mendatang, namun ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidaklah
mesti menjadi suatu keharusan. Jika
kenyataan menjadi suatu keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk mengubahnya
agar sesuai dengan apa yang seharusnya.
Inilah fitrah manusia sejati (the man’s ontological vocation).
Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah
menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi
pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas
atau yang mungkin menindasnya. Dunia dan
realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”,
dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau
semacam nasib yang tak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas
dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta, dan hal itu berarti atau mengandaikan
perlunya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran (thought
of language), yakni bahwa pada hakekatnya manusia mampu memahami keberadaan
dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan
“praxis”-nya ia merubah dunia dan realitas.
Karena itulah manusia berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh
naluri. Manusia juga memiliki naluri,
tapi juga memiliki kesadaran (consciousness).
Manusia memiliki kepribadian, eksistensi. Ini tidak berarti manusia tidak memiliki
keterbatasan, tetapi dengan fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu
mengatasi situasi-situasi batas (limit-situations) yang mengekangnya. Jika seseorang yang menyerah pasrah pada
situasi batas itu, apalagi tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali, maka
sesungguhnya ia tidak manusiawi lagi.
Seseorang yang manusiawi harus menjadi pencipta (the creator) sejarahnya
sendiri. Dan, karena seseorang hidup di
dunia dengan orang-orang lain sebagai umat manusia, maka kenyataan “ada
bersama” (being together) itu harus dijalani dalam proses “menjadi” (becoming)
yang tak pernah selesai. Ini bukan
sekedar adaptasi, tapi integrasi untuk menjadi manusia seutuhnya.
Manusia adalah penguasa atas dirinya, menjadi
bebas. Ini adalah tujuan akhir dari
upaya humanisasinya Freire. Humanisasi,
karenanya adalah juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari
situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan
membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusiawi sekaligus
membebaskan kaum penindas mereka dari penjara hati nurani yang tidak jujur
melakukan penindasan. Jika masih ada perkecualian,
maka kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai secara penuh
dan bermakna.
Memang tujuan pendidikan kritis adalah
membebaskan manusia dari segala penindasan dan dehumanisasi. Namun secara
kualitatif paradigm ini masih berorientasi pada kemampuan rasio dan nilai-nilai
“dari luar” belum terkonsepsi secara integral dalam paradigm ini. Sehingga
bukan mustahil walaupun secara material manusia telah bebas dari berbagai
eksploitasi namun sebenarnya paradigm ini juga masih kemacetan dalam hal nilai
terutama berkaitan dengan etika.
3.
Paradigma Islam
Secara konseptual pendidikan Islam sebenarnya
sudah cukup kaya dan sempurna sebab ingin membentuk pribadi muslim sempurna dan
mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung
normatif.[12] Sebab, dalam realitasnya, praktik pendidikan Islam cenderung
‘idealis’ dan kurang bersentuhan dengan problem realitas-empirik. Hal ini
antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat
Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan
dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang
empirik.
Karena itu, wajar jika formulasi tentang
konsep pendidikan Islam relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang
bersentuhan dengan problem realitas. Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan
sebagai model bagi pendidikan Islam jelas-jelas terlibat langsung dalam
penyelesaian problem di masyarakat. Selain itu, pendidikan dalam islam adalah
non-dikotomis atau tidak memisahkan antara yang duniawi dan ukhrawi atau
sekulerisme.
Dalam hal orientasi, pendidikan Islam
seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan individual semata, atau kesadaran
mistik dalam perspektif Iqbal, namun harus membentuk kesalehan sosial juga.
Sebagaimana disinyalir Iqbal pada awal abad ke-20 dan hingga sekarang masih
terasa, umat Islam di dunia Timur cenderung mengedepankan kesadaran mistik dan
kesalehan individual yang diibaratkan dengan larut dengan tasbih, yang penting
selamat di akhirat, sementara problem sekitar tidak begitu dipikirkan. Untuk
itu, orientasi pendidikan harus diarahkan untuk membentuk individu muslim yang
mempunyai kesadaran kenabian dengan karakter emansipatif, liberatif dan
transendental yang mampu membaca problem empirik di sekitarnya sehingga ia
mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di sisi lain, dia juga mampu
menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.
Perubahan orientasi perlu segera diimbangi
dengan perubahan kurikulum yang akan dibekalkan kepada setiap peserta didik.
Sebagaimana dirumuskan oleh al-Attas, bahwa kurikulum pendidikan Islam
dikonstruk berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, namun harus didialogkan
dengan problem realitas sehingga muatannya dinamis sesuai dengan konteks waktu
dan tempat.[13] Dalam pengertian ini, sebenarnya perubahan kurikulum dapat
dilakukan kapan saja, tanpa menunggu jangka waktu tertentu. Sebab, ketika
problem dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat berbeda dan berubah, maka
harus diikuti oleh perubahan kurikulum jika tidak ingin tertinggal dengan perubahan.
Kurikulum dalam perspektif pendidikan kritis harus selalu mendialogkan teks dan
konteks, antara normatif dan historis. Karena itu, akan selalu ada upaya
kontekstualisasi teks sehingga mampu menjawab problem bumi. Dalam pandangan
Freire, akan selalu ada proses kodifikasi konteks dan dekodifikasi. Kodifikasi
konteks berarti mendialogkan, mendiskusikan dan mencari alternatif pemecahan
terhadap problem yang berkembang di masyarakat ke dalam ruang ruang kelas.
Hasil rumusan alternatif ini kemudian dibawa ke masyarakat sebagai sebuah
tawaran pemecahan. Dengan demikian, ada proses refleksi di ruang kelas dan
proses aksi di luar kelas secara terus-menerus. Ketika problem yang ada di
masyarakat berkembang, maka perlu ada kodifikasi kembali dan begitu seterusnya.
Hanya saja, sebagaimana disinyalir oleh
Rahman, umat Islam harus melihat kandungan teks al-Qur’an dan al-Sunnah secara
hermeneutis, dalam arti bahwa perlu ada upaya pencarian tentang ide moral yang
terkandung dalam teks al-Qur’an. Ini hanya dapat dilakukan jika umat Islam
melakukan kritik sejarah terhadap diturunkannya kitab tersebut. Untuk itu,
Rahman menawarkan double movement methodology untuk dapat menangkap ide moral
al-Qur’an.[14] Dalam pandangannya, sejak dulu sampai akhir zaman, teks
al-Qur’an tetap, namun formulasi untuk pembumiannya dinamis tergantung problem
yang berkembang di masyarakat.
Konsepsi tersebut juga harus diimbangi dan
dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang mampu mengimplementasikan
orientasi dan kurikulum itu dalam konteks praxis. Dalam sebuah adagium Arab
dikenal al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-tariqah. Selain itu kemampuan
kognisi haruslah ditunjang dengan dengan sikap (moralitas). Karena tidak dapat
dipungkiri seorang yang pintar tapi tak bermoral tentunya tak akan beda dengan
orang-orang liberal yang ujung-ujungnya juga akan menghasilkan penindasan.
C.
PENUTUP
Pendidikan sebagai salah satu pilar kehidupan
dan hal yang sangat signifikan dalam ranah superstruktur social merupakan aspek
fundamental untuk membangun peradaban. Namun, pendidikan sendiri bukanlah
entitas yang bebas nilai terhadap ideology dan kepentingan. Terutama jika
pendidikan diletakkan dalam ranah makro, tentu pendidikan tak akan lepas dari
konstruksi sosio-politik,maupun sosio-budaya. Sehingga tak jarang dalam
implementasinya terutama pendidikan formal akan terlihat bias kepentingan para
pemegang kebijakannya yaitu pemerintah sebagai apparatus ideology Negara.
Menurut Andre Chrucky pendidikan adalah
“mencetak manusia yang memiliki kemampuan dan kemauan unuk mencoba meraih
persetujuan dengan hal-hal yang berkaitan dengan fakta, teori, dan tindakan
melalui diskusi rasional”.[15] Jadi pendidikan disini hanya sebatas
meningkatkan fungsi rasio semata, dan tidak menempa suatu karakter dan sikap yang
sejatinya tidak bisa dilepaskan dengan proses pendidikan. Kenyataan objektif
bangsa kita sekarang ini memang cenderung mengadopsi paradigma pendidikan
liberal yang lebih berorientasi pada kemampuan afektif semata. Tak pelak gejala
pragmatis dan saling jatuh-menjatuhkan sesama menjadi kaidah yang dianut.
Banyaknya dekadensi terutama moral mengindikasikan bahwa pendidikan kita masih
belum sesuai dengan tujuannya. Dalam konteks ini paradigma Islam merupakan
sebuah tawaran alternative, terutama berdasarkan nilai-nilai transcendental
yang terintegrasi dengan sains modern. Jadi, meminjam bahasa kuntowijoyo
paradigm islam haruslah melakukan objektifikasi terhadap kenyataan empiris yang
ada sehingga muatan nilainya dapat diterima secara universal.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Azra , Azyumardi, 1999. Pendidikan Islam
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos. Jakarta.
Fakih, Mansur dkk. 2001. Pendidikan Populer:
Membagun Kesadaran Kritis. Insist. Yogyakarta.
Kuntowijoyo. 1994. Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi. (Cetakan ke VI). Mizan. Bandung.
Maliki, Zainuddin. 2003. Narasi Agung: Tiga
Teori Sosial Hegemonik. Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM).
Surabaya.
Mas’ud, Abdurrahman dkk. 2001. Paradigma
Pendidikan Islam (ed. Ismail SM dkk.). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Murtiningsih, Siti, 2004, pendidikan alat
perlawanan: teori pendidikan radikal Paulo freire, RESIST Book. Yogyakarta
Nurani soyomukti,2008, teori-teori pendidikan,
Ar-ruzz media: Yogyakarta.
O’Neil, William F. 2001. Ideologi-ideologi
Pendidikan (terj. Omi Intan Naomi). Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi
Komunikasi (Cetakan ke-17). PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Wan daud, Wan Mohd Nor, 2003. Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas, MIZAN. Bandung.
Weber, Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme (terj. Yusup Priyasudiarja). Pustaka Promethea. Surabaya.
.
E. LAMPIRAN
no
|
aspek
|
liberal
|
kritis
|
islam
|
1
|
Tokoh
|
John Dewey, David Hume, John Locke
|
Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm
|
Rasulullah Muhammad SAW.
|
2
|
karakteristik
|
Bebas-nilai, Mengambil jarak dengan realitas objektif
|
Pendidikan dan realitas superstruktural berkaitan.
|
Non-dikotomis
|
3
|
Objek pendidikan
|
Peserta didik
|
Ilmu pengetahuan
|
Ilmu pengetahuan
|
4
|
Tujuan
|
Kebebasan individu, masyarakat terbuka (open society)
|
Membebaskan
manusia dari kungkungan dehumanisasi ideology liberalism (masyarakat
sosialis)
|
Rahmatan lil alamin (dialektika akhlak dan kecerdasan rasio)
|
5
|
Muatan nilai
|
Individualism
|
Kolektivisme
|
Dialektika individualism-kolektivisme
|
6
|
ontologi
|
antroposentris
|
antroposentris
|
Teo-antroposentris
|
7
|
epistemologi
|
materi
|
materi
|
Wahyu
|
________________________________________
[1] Lih. Alfatri Adlin dalam pengantar buku
Dunia yang dilipat: tamasya melampaui batas-batas kebudayaan.
[2] Siti murtiningsih, pendidikan alat
perlawanan: teori pendidikan radikal Paulo freire, (Yogyakarta , RESIST Book,
2004), hal. 3.
[3] Mansour fakih, ideology dalam pendidikan,
sebuah pengantar buku ideologi-ideologi pendidikan.
[4] Nurani soyomukti, teori-teori
pendidikan,(Yogyakarta, Ar-ruzz media),hal. 341.
[5] Aronowitz, S & Giroux, H.A., 1985,
Education under Siege, Bergin & Garvey Publisher, Inc., Massachusetts,
seperti yang diulas oleh Mansur Fakih dkk. dalam Pendidikan Populer: Membagun
Kesadaran Kritis, 2001, Insist, Yogyakarta. Sebenarnya ada pemetaan lain,
seperti William F. O’Neil dalam bukunya Eductional Ideologies: Contemporary
Expressions of Educational Philosophies, 1981, Goodyear Publishing Company,
Santa Monica-California, di Indonesia diterjemahkan dalam judul:
Ideologi-ideologi Pendidikan oleh Omi Intan Naomi dan diterbitkan oleh Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, tahun 2008. Di sini O’neil mengkatagorikan ideologi
pendidikan ke dalam dua katagori besar: Konservatif dan Liberal. Ideologi
pendidikan konservatif mencakup Fundamentalisme, Intelektualisme,
Konservatisme; sedangkan ideologi pendidikan liberal mencakup Liberalisme,
Liberasionisme, dan Anarkisme. Di dalam makalah ini, penulis memilih pemetaan
Giroux & Aronowitz karena lebih sederhana dan terasa pembedaan
paradigmatisnya.
[6] Paradigma dari bahasa Inggris paradigm berarti
type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model, pola) [Hornby,
1989:895]. Sedangkan secara terminologis berarti a total view of a problem, a
total outlook, not just a problem in isolation [Hills, 1982] lihat: Abdurrahman
Mas’ud dkk, 2001, Paradigma Pendidikan Islam, ed. Ismail SM dkk., Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, halaman viii; Secara sederhana Ahmad Tafsir mengartikan
paradigma sebagai cara pandang atau cara berpikir, Lihat: Ahmad Tafsir, 2001,
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, halaman 6;
Kuntowijoyo dengan meminjam “pembacaan” paradigma dari Thomas S. Kuhn dalam bukunya, The
Structure of Scientific Revolutions (oleh penerbit Rosdakarya, Bandung
diterjemakan dengan judul Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, 1989) juga berpandangan sama, ia menjelaskan
bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau
mode of inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing
(cara mengetahui) tertentu pula. Imanuel Kant menganggap “cara mengetahui” ini
sebagai apa yang disebutnya skema konseptual. Marx menamakannya sebagai
ideologi. Dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa, tilik: Kuntowijoyo,
1994, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Cetakan ke VI, Mizan, Bandung,
halaman 327.
[7] William F O’neil, ideologi-ideologi
pendidikan (terj), Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2008, hal.xxxi-xxxii.
[8] Asumsi ini dipengaruhi oleh bukunya Max
Weber, 1930, The Protestant Ethic and
Spirit of Capitalism, New York (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
Yusup Priyasudiarja dan diterbitkan dengan judul Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, oleh Pustaka Promethea tahun 2000). McClelland berpendapat bahwa
jika protestant ethic mendorong pertumbuhan ekonomi Barat, analog terhadap
gejala yang sama harus dicari di lain tempat dalam rangka mencapai pertumbuhan
ekonomi. Menurutnya, di balik rahasia etika protestan adalah suatu mentalitas
yang disebutnya dengan the need for achievement (N Ach).
[9] Jurgen Habermas, seorang penganut teori
kritis melakukan kritik terhadap positivisme dengan menjelaskan berbagai
katagori pengetahuan sebagai berikut: 1. Instrumental knowledge atau
positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi,
memanipulasi dan eksploitasi terhadap obyeknya; 2. Hermeneutic knowledge atau
interpretative knowledge, di mana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami;
dan 3. Critical knowledge atau emancipatory knowledge, yakni suatu pendekatan
yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan potensi
manusia. Dan paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistik.
Lihat: F.Budi Hardiman, Kritik Ideologi,(kanisius, Yogyakarta), hal. 5-6.
[10] Mansur Fakih dkk. Pendidikan Populer, halaman 22.
[11] Kebudayaan bisu, menurut Freire, adalah
“kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah
ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan
sendiri”, sehingga “diam” nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan
dan harus ditaati.
[12] Baca kajian Azyumardi Azra tentang
literature pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).
[13] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk.
(Bandung: Mizan, 2003), 266
[14]Fazlur Rahman, Islam dan modernitas, 15
[15] Nurani soyomukti, teori-teori
pendidikan,(Yogyakarta, Ar-ruzz media),hal. 192.
Komentar
Posting Komentar