PENDAHULUAN
Islam
merupakan sebuah agama yang mengajarkan kedamaian. Sebagaimana diketahui dan
sering kita dengar bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil-alamin, yaitu
sebuah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Namun, ironisnya dalam
beberapa dekade terakhir ini islam selalu saja menjadi ‘kambing hitam’ atas
beberapa aksi kekerasan dan terorisme. Kekerasan dan berbagai konflik sosial
yang terjadi selalu saja mendiskreditkan islam dalam stereotip ‘radikalisme’
ataupun dalam sebutan barat ‘fundamentalisme’. Berbagai macam media pun selalu
mewartakan Islam sebagai agama yang berwajah bengis, suka melakukan tindak
kekerasan dan peperangan. Tentunya stereotip atau label sebagai agama teroris
tersebut tak lepas dari pandangan miring barat terutama Amerika serikat sebagai
pemegang hegemoni dunia yang dalam hal ini mempunyai kepentingan politis
tertentu yang sengaja ingin menghancurkan Islam.
Hal
tersebut tentu membuat semacam penggiringan opini global sesuai keinginan
pemegang ototritas kekuasaan. Yang mana dalam dimensi global jutaan manusia
telah menyaksikan berbagai aksi terror (global spectacle) tersebut secara
sporadis melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik. Implikasinya
terbentuklah wacana, pikiran, persepsi, serta kesadaran global yang digiring
kearah homogenisasi wacana. Dalam hal ini sering terjadi pemaknaan tunggal atas
konsep terorisme itu sendiri. Sebut saja terorisme global tersebut identik
dengan terorisme atas nama agama dalam hal ini adalah Islam, yang kini menjadi
sasaran atas jargon ‘perang melawan terorisme’. Yang dalam pandangan Tariq Ali
secara tegas menyatakan bahwa fundamentalisme yang paling berbahaya saat ini,
yang menjadi semua induk fundamentalisme adalah imperialisme Amerika itu
sendiri.
Pandangan
bias tersebut tentu menciptakan ironi yang tak berkesudahan. Amerika yang
selalu gencar menggulirkan isu anti-terorisme justru memeperlihatkan wajah
ambivalensinya. Amerika justru menjilat ludahnya sendiri dengan memperlihatkan
terornya yang begitu nyata dengan invasi militernya ke berbagai Negara
Timur-Tengah dengan berbagai macam dalih. Terorisme yang sebenarnya sebuah
konsep yang ambigu seolah menjadi sebuah konsep yang jelas duduk
permasalahannya. Sebagaimana dikatakan Kant bahwa dunia atau kosmos ini
merupakan “kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip
imperatif universal”. Hal ini yang menjadi concern filsuf kontemporer seperti
Habermas dan Derrida. Derrida dan Habermas berikhtiar memperlihatkan bahwa
terorisme merupakan konsep yang sulit ditangkap dan dipahami karena sifatnya
yang sangat kompleks. Terorisme ditandai dengan kekaburan konseptual dan tanpa
referensi. Media Barat secara serampangan menggunakan terminologi terorisme
seakan-akan sudah jelas dengan sendirinya. Melalui media-media global, Amerika
Serikat dan sekutunya memaklumatkan perang melawan terorisme, sebuah maklumat
yang ditolak oleh Habermas dan Derrida. Habermas menganggap perang melawan
terorisme merupakan kekeliruan besar, baik secara normatif maupun pragmatis.
Secara normatif, maklumat itu menaikkan penjahat ke status musuh dalam perang,
padahal musuh tersebut belum teridentifikasi. Secara pragmatis, perang tidak
dapat dilancarkan terhadap jaringan yang tidak sepenuhnya memiliki identitas
gamblang.
Habermas
sendiri cenderung memandang terorisme itu sendiri sebagai bagian dari
globalisasi. Globalisasi, demikian Habermas, merupakan keniscayaan sejarah,
tetapi juga telah menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga
dalam praktiknya sering melahirkan distorsi komunikasi. Resistensi dari
sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi dalam tindakan teror yang
berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam telah membagi dunia
ke dalam kelompok: pemenang dan pecundang. Analisis Habermas ini melanjutkan
proyek Sekolah Frankfurt dalam mendiagnosis patologi yang diidap masyarakat
modern. Patologi itu berupa distorsi komunikasi dalam masyarakat global.
Diagnosis terhadap patologi modernitas ini penting diajukan bukan untuk
mengafirmasi globalisasi, tetapi mengidentifikasi aspek-aspek yang berbahaya
yang dikandungnya, salah satunya adalah terorisme.
Terorisme
berjalin-kelindan dengan pemahaman fundamentalisme dalam menafsirkan
doktrin-doktrin agama ketika merespons modernitas. Fundamentalisme adalah
reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas
instrumental atas dunia kehidupan (Lebenswelt), sekularisasi telah mencerabut
bentuk-bentuk kehidupan tradisional mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh
homogenisasi budaya, juga identitas, membuat para individu di dalam masyarakat
terasing dari komunitasnya.
Fundamentalisme
menemukan bentuknya yang paling ekstrem dalam terorisme. Terorisme secara
eksklusif bersifat modern. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang
sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami agama, tetapi lebih
sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi.
Kepanikan ini ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip-prinsip
kehidupan global. Resistensi diri ini termanifestasi dalam sikap religius yang
berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar. Keterputusan
komunikasi ini melahirkan kekerasan dalam wujud tindakan teror. Dalam konteks
demokrasi global, terorisme memiliki dimensi politik yang berbeda dengan tindak
kekerasan biasa karena sifatnya yang mampu mendelegitimasi pemerintahan
demokratis.
Dalam
konteks keindonesiaan, terorisme juga menjadi momok yang sangat mengganggu dan
menakutkan. Karena tak jarang generalisasi terhadap si pelaku terorisme
tersebut selalu dialamatkan kepada Islam. Hal ini tak lepas dari berbagai macam
aksi terror dan banyaknya peledakan bom yang secara eksplisit mengakui dirinya
sebagai entitas umat Islam. Yang mana beberapa golongan islam tersebut
mengklaim dirinya sebagai ‘ahli surga’ yang rela melakukan bunuh diri untuk
membasmi segala kemungkaran dalam pikiran sempitnya. Mereka selalu saja
menyerukan jihad dan membawa dalil Al-Quran untuk melegitimasi aksi brutalnya.
Sedemikian
massifnya gerakan islam garis keras yang reaktif dalam mendefinisikan dirinya
dalam lokus peradaban telah membawa stigma negative terhadap islam. Bahkan
dengan pemberitaan media yang cenderung sepihak dan gegabah. Masyarakat global,
terutama masyarakat barat, sering memandang islam sebelah mata yang juga
menghasilkan islamophobia.
Bahkan
dalam beberapa bulan terakhir ini juga sering terjadi konflik atas nama
keagamaan yang tidak mengedepankan sikap dewasanya. Dan ironisnya konflik
tersebut justru datang dari dalam umat islam itu sendiri yang secara akidah
sama. Atau mungkinkah kekerasan memang menjadi sebuah jalan keluar untuk
memecahkan masalah? Aneh memang, islam yang lahir dari rahim kedamaian yang
selalu dicontohkan Rasulullah justru harus menjadi agama kekerasan yang mulai
menghantui bumi pertiwi. Mulai Ahmadiyah hingga Konflik di sampang misalnya,
yang meluluhlantakkan tempat ibadah kaum Syiah yang dianggap sesat oleh
segerombolan orang yang mengaku sebagai representasi kaum Suni. Hal ini tentu
mencederai wajah Islam nusantara yang mendefinisikan dirinya sebagai islam
moderat, yang salah satunya organisasi terbesar direpublik ini yaitu NU.
Sebagaimana diketahui NU selalu saja mengkampanyekan multikulturalisme dan
toleransi antar umat beragama. Bahkan dalam beberapa kesempatan KH Said Agil
Siradj selalu menghimbau kepada umat islam nusantara untuk mewaspadai gerakan
wahabi yang dianggap sebagai akar konflik dan terror ‘berdarah-darah-nya’.
Namun ironisnya justru kekerasan tersebut terjadi dibasis masa mereka sendiri.
ISLAM
PENGATUR KEHIDUPAN MANUSIA
Sebagai
sebuah agama yang secara konseptual memiliki doktrin normative yang berdasarkan
nilai-nilai transcendental, islam tentu memliki seperangkat aturannya sendiri
yang rigid dan ketat. Yang mana seperangkat aturan tersebut terkodifikasi dalam
Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai aksioma dasar untuk menjalankan sendi-sendi
kehidupan. Dalam hal ini menghasilkan suatu konstruksi teologi tertentu yang
telah ditafsirkan oleh beberapa ulama.
Islam
memang mengatur kehaidupan manusia yang bisa dikataan cukup rigid dan
mendetail. Hukum itu sendiri dikonstruksi dalam yurisprudensi berupa syariah.
Namun, hukum islam itu sendiri bukanlah untuk mengebiri kebebasan manusia,
justru dengan adanya hukum tersebut adalah untuk membuat kehidupan manusia
menjadi teratur dan membebaskan manusia itu sendiri dari jeratan nafsu dan
kemungkaran. Memang dalam hukum islam itu sendiri tidaklah satu perspektif
sesama umat islam. Karena interpretasi terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasul itu
sendiri relative. Seperti diketahui metodologi yang dikenal umat Islam sekarang
ini untuk menafsirkan ayat-ayat Tuhan terbagi dalam Burhani, Bayani, dan
Irfani. Yang mana ketiganya mempunyai karakteristik tersendiri.
Sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Jatsiyah 45:18 “Kemudian Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat
itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
Demikianlah Allah memberikan sebuah landasan hukum yang nyata dimana agar
manusia tidak terjebak pada interpelasi hawa nafsu kepentingan pribadinya
sehingga menanggalkan dimensi wahyu.
KEHIDUPAN
MANUSIA DAN ALAM SEBAGAI SATU BAGIAN YANG TAK TERPISAH.
Dalam
kehidupannya, manusia sebagai khalifah fil-ardhi dimuka bumi ini tentu tak
dapat lepas dari alam semesta sebagai ruang yang dipijaknya serta lahan untuk
menciptakan dunia kehidupan (Lebenswelt). Manusia sebagai makhluk yang
diberikan oleh otoritas oleh Tuhan untuk mengelola alam ini dengan segala
kelebihannya melalui rasio, hasrat, serta nuraninya adalah untuk bersinergi
dengan alam dan menciptakan hubungan dialektis yang saling melengkapi bukan
mengeksploitasi habis-habisan.
Sebagaimana
dalam pandangan manusia barat yang selalu saja dengan kemampuan rasionya justru
untuk mengeksploitasi alam tanpa kendali. Hal ini tentu, tak lepas dari tradisi
pencerahan atau Renaissance-nya yang mengawali sekularisasi terhadap otoritas
gereja yang dianggap mengekang kemajuan manusia. Adalah adagium Cartesian
‘cogito Ergo Sum’ yang membawa manusia sebagai subyek yang memiliki otoritas
untuk menguasai objeknya berupa alam, manusia lain, ataupun binatang.
Sebagaimana menurut istilah Max Weber yaitu rasionalitas teknis yaitu kekuatan
rasio untuk ‘menguasai’. Theodor Adorno seorang teoritisi Frankfurt school
(Edkins dan Williams, 2010:9) bahkan secara sinis menganggap pencerahan adalah
totalitarian dimana “hidup telah menjadi ideology bagi ketidakhadirannya
sendiri”.
Memang
tidak dapat dipungkiri pencerahan telah membuat berbagai kemajuan yang tak
terfikirkan oleh manusia sebelumnya. Dimana terjadi lompatan sejarah yang
sangat massif terutama modernisasi yang diawali dengan revolusi industry di
Inggris dan revolusi politik di Perancis. Namun peradaban barat yang maju
tersebut ternyata menyisakan suatu kontradiksi laten yang siap menghancurkan
dunia kehidupan sebagai tempat berpijaknya seluruh manusia. Krisis ekologi,
penipisan lapisan ozon, efek rumah kaca, pemanasan global, dan berbagai bencana
alam pun tak dapat dihindari seiring rasio instrumental ala barat yang
mengeksploitasi alam habis-habisan.
Hal
ini jelas sangat kontradiktif dengan ajaran Islam yang mengajarkan kesempurnaan
serta sebagai rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah SAW diutus Allah SWT kedunia
tak lain dan tak bukan adalah untuk membebaskan seluruh alam dari cengkeraman
kezaliman dan kerusakan. Islam merupakan agama yang tidak hanya membebaskan
manusia semata namun lebih dari itu ajaran Islam secara holistik mengajarkan
umatnya untuk mengharmonisasikan diri dengan alam semesta yang juga ciptaan
Allah. Sehingga manusia sebagai ‘pengganti’ Allah dimuka bumi ini tidaklah
semata mengeksploitasi alam dan seisinya demi kepuasan nafsunya namun menjaga
keutuhannya agar kehidupan manusia itu sendiri senantiasa penuh dengan
kedamaian dan memancarkan cahaya kesejukan sebagaimana ajaran Islam itu
sendiri.
CARA
ISLAM DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA
Kekerasan
memang telah menjadi semacam momok dalam setiap kehidupan manusia. Agama yang
secara prinsipnya selalu mengajarkan kedamaian justru terkadang menjadi sebuah
kekuatan menakutkan yang menghasilkan terror dan kekerasan. Memang dalam
membedah akar konflik dan kekerasan terkadang begitu kompleks dan tak jarang
agama hanya dipakai sebagai kedok untuk menutupi kepentingan politik, ekonomi,
dsb. Sehingga akar permasalahannya begitu kompleks dan tumpang-tindih seiring
konstruksi kepentingan antar stakeholder yang ‘bermain’ dibelakangnya.
Dalam
diskursus kontemporer terutama terkait kekerasan atas nama agama tak akan bisa
dilepaskan dari ruang publik sebagai ruang kontestasi politik demokrasi yang
melibatkan rezim penguasa dan masyarakat sipil (civil society). Sebagaimana
dikatakan Habermas bahwa ruang publik merupakan medan yang paling sering
diperebutkan secara politis oleh kekuasaan, sebab ruang publik merupakan medan
yang tak bisa lepas dari kepentingan politik rezim dengan masyarakat sipil.
Habermas sendiri mendefinisikan ruang public sebagai “ruang public politis
tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah
formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah public yang terdiri dari para
warganegara dapat berlangsung”(Hardiman, F. Budi. 134: 2009).
Dalam
ruang publik itu sendiri terdapat suatu relasi kompleks antar stakeholder untuk
memerebutkan kepentingannya masing-masing. Dalam hal ini memang tak jarang
pihak yang secara kuantitas minim kekuatan legitimasi akan mengalami
pemarjinalan. Maka tak jarang aspirasi kelompok yang tidak terakomodasi
didalamnya menjadi pemantik untuk melakukan kekerasan dan perbuatan destruktif.
Rezim kekuasaan pun terkadang terlampau melibatkan dirinya sehingga
tumpang-tindih antar kepentingan terkadang sulit teridentifikasi akarnya entah
itu kepentingan politis, ekonomis, maupun agama. Karena tak dapat dipungkiri
Negara sebagai apparatus panoptik terkadang mempunyai kepentingan tertentu
untuk menggiring opini publik sebagai pengalihan isu dan mungkin kepentingan
lain yang lebih besar. Maka tak jarang rezim kekuasaan terkadang juga
‘memelihara’ konflik dan kekerasan untuk kepentingannya sendiri.
Secara
normative, dalam rangka pemecahan konflik atas nama agama adalah dengan
mendudukkan agama Islam itu sediri sebagai agama yang inklusif, toleran, dan
moderat (ummatan wassathon). Wajah agama islam yang reaktif dalam
mendefinisikan diri dalam dimensi global perlu direkonstruksi atau secara
radikal didekonstruksi menuju suatu pemahaman holistik terhadap Al-Quran.
Adalah lebih mendahulukan musyawarah serta mufakat serta dialog menuju suatu
konsensus rasional atas kepentingan bersama. Mengedepankan otak bukan otot,
serta bekerja dengan persuasi bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ruang
publik. Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas,
dan rasional.
Sebagaimana
yang sering didengungkan filsuf macam Derrida dan Habermas yang bergerak dalam
lintasan wacana Pencerahan tentang toleransi, keadilan, dan tanggung jawab,
lalu mencoba menempatkan kembali wacana ini dalam konteks demokrasi radikal,
yaitu suatu politik universal melampaui kosmopolitanisme sebagaimana yang
pernah ditegaskan oleh Kant. Derrida dan Habermas sepakat bahwa toleransi
memiliki asal-usul keagamaan yang kemudian diapresiasi oleh politik sekuler
sehingga tak heran bila toleransi sering dipraktikkan dalam semangat
paternalistik, bahkan berat sebelah. Toleransi diandaikan berlangsung dalam
payung otoritas politik yang dominan atas yang lain, minoritas.
Dalam
pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika
toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris
sebagaimana disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap
warga negara terhadap yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama
sehingga tidak ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara
sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi dan apa yang tidak.
Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan dalam
konteks yang sama.
Habermas
menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat
demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis
maupun politis. Ia dipandang secara etis karena mengandaikan kebenaran dari
yang lain. Ia dipandang secara politis karena mampu membentuk konsensus
rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan Habermas mengenai demokrasi
konstitusional sebagai satu-satunya sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi
bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional.
Argumentasi
ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-bangsa
pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas
suatu bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di
mana kesetiaan pada konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga
negara berdasarkan konsensus. Kesetiaan pada konstitusi ini mengungkapkan pula
loyalitas kepada hak- hak keadilan dan tanggung jawab universal, terutama dalam
masyarakat yang kompleks dan multicultural sebagaimana Indonesia.
Sementara
itu dalam dimensi kemanusiaan yang lebih luas, terutama terutama terkait isu
pluralisme sebagaimana sering digulirkan JIL sebagai pengakuan liyan atau
golongan minoritas keagaaman untuk menciptakan kebebasan individu dalam ruang
publik. Perlu direkonstrusi ulang sebagai pengakuan liyan terhadap kaum
termarjinalkan yang hak kesejahteraannya sebagai entitas bangsa terlucuti oleh
system kapitalisme-neoliberal yang membawa pada jurang pemiskinan massif.
Sehingga pluralisme tak hanya membawa pada pengakuan atas kebebasan individu
dalam konteks keberagamaan namun juga menciptakan pengakuan atas liyan dalam
dimensi politik maupun ekonomi. Hal ini dirasa begitu penting, karena akar dari
konflik dan terorisme itu sendiri terkadang tercipta dari kekecewaan atas
kondisi ketimpangan sosio-ekonomi yang begitu tajam. Motif ekonomi terkadang
menjadi alasan utama mengapa orang menjadi nekat untuk melalukan tindakan
terror maupun kekerasan yang dibingkai dengan baju agama.
PENUTUP
Demikian,
Islam merupakan sebuah agama yang berdimensi kemanusiaan yang sangat holistic.
Sebgaimana ajarannya yang selalu saja memilih jalan kedamaian untuk memecahkan
setiap problem peradaban. Rasulullah sebagai suri tauladan sejati pun tak
pernah mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan demi terciptanya dunia
yang ideal baldatun toyyibatun warabbun ghafur. Bahkan dengan manusia lain yang
berbeda keyakinan pun tak di benarkan untuk diperangi dan dibunuh. Tanggung
jawab untuk menciptakan peradaban yang damai merupakan suatu keharusan sejarah.
Dimana umat islam haruslah berfikir jernih dalam rangka menghadapi setiap
persoalan yang ada. Karena tak dapat dipungkiri sikap eksklusif serta
mutlak-mutlakan hanya akan menghasilkan pikiran sempit yang justru menciptakan
totalitarian yang hanya merasa benar sendiri.
Komentar
Posting Komentar