Langsung ke konten utama

RINGKASAN SEJARAH DAN TIPOLOGI IMM (IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH)

Oleh : Hendra Setiawan[1]


Keberadaan IMM sebagai salah satu entitas otonom yang bernaung di bawah Muhammadiyah merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Hal ini menjadi sebuah penanda akan suatu kesadaran kritis kaum muda Muhammadiyah dalam rangka menyikapi problematika kehidupan kebangsaan. Dinamika kehidupan berbangsa, terutama dalam hal politik, pasca proklamasi kemerdekaan yang sedang dalam masa pencarian jati diri akan sebuah kaidah system yang akan dianut telah menjadi perdebatan sengit tentang arah ideology bangsa yang paling ideal. Hal ini menjadi ajang kontestasi politis yang begitu pelik antar komponen bangsa Indonesia yang merasa berjuang dengan tumpah-darahnya dalam merebut kemerdekaan.

Kelahiran IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) pun tak lepas dari dinamika pergolakan politik nasional yang disertai dengan pertarungan ideologis. IMM dalam masa awal kelahirannya sendiri merupakan buah alur sejarah yang berkesadaran untuk mempertahankan Islam dari cengkeraman ideology komunis. Menurut Noor Chozin Agam kelahiran IMM didasari oleh dua factor determinan yaitu internal dan eksternal. Secara Internal menurutnya yaitu faktor yang terdapat didalam diri Muhammadiyah itu sendiri, sedangkan fakor eksternal adalah faktor yang berawal dari luar Muhammadiyah, khususnya dalam konteks Indonesia dan pada umumnya adalah seluruh dunia.[2]

Dari sisi internal, Muhammadiyah yang mendefinisikan dirinya sebagai gerakan Islam yang berbasiskan Al-Quran dan Sunnah mencita-citakan terciptanya masyarakat ideal Baldatun Toyibatun warabbun Ghafur. Dimana idealisme gerakan Amar makruf nahi munkar yang menjadi landasan epistemologisnya secara normative maupun instrumental terus diperjuangkan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah. Dengan semangat pembebasan terhadap realitas kemiskinan dan menjunjung tinggi nilai keadilan sosial yang dicontohkan pendirinya, KH Ahmad Dahlan, menjadi sebuah arah perjuangan untuk terus melaju dalam gerak lintasan zaman. Tak pelak dengan perkembangan zaman yang penuh problema menuntut ‘ijtihad’ pemikiran untuk pemecahannya. Sehingga Muhammadiyah menyadari betapa ilmu pengetahuan dan pendidikan sebagai basisnya merupakan lokus yang harus digeluti.

Hal inilah salah satu cikal-bakal berdirinya IMM yang berada ditataran perguruan tinggi. Seperti diketahui, Muhammadiyah sebagai gerakan social keagamaan yang juga concern dalam masalah pendidikan lambat laun membutuhkan tempat sebagai wadah bagi para kadernya untuk mengaktualisasikan diri. Sejarah mencatat, dengan kesadaran Muhammadiyah akan kebutuhan untuk menempa kaum muda menjadi kader yang berkepribadian profetik, dibentuklah IPM pada tanggal 18 Juli 1962. Memang hal ini sudah direncanakan Pemuda Muhammadiyah (PM) sejak Muktamar Pemuda Muhammadiyah pertama di Palembang tahun 1956. Yang bersamanya inisiasi untuk membentuk ranah kemahasiswaan juga menyeruak, namun hal tersebut terbentur dengan belum terbentuknya lembaga perguruan tinggi Muhamadiyah. Hal tersebut baru terrealisasi pada tahun 1964 tepatnya tanggal 14 Maret, seiring berkembang pesatnya pendidikan tinggi Muhammadiyah. Para pencetus awalnya antara lain Drs. Moh. Djasman Alkindi, Ir. Soemargono, Drs. Rosyad Soleh, serta Dr. Sudibjo Markoes. Maka ‘si merah’ yang memakai jargon “Fastabiqul Khairaat” ini resmi didirikan dengan restu ketua PP Muhammadiyah pada waktu itu yaitu KH A. Badawi.

Secara eksternal, kelahiran IMM ditandai dengan pergolakan politik nasional yang juga melibatkan gerakan mahasiswa. Pangkal persoalannya memang tak dapat dilepaskan dari perseteruan politis antara islam dan komunis. Mahasiswa islam, terutama kader Muhammadiyah, pada waktu itu memang banyak yang masuk dalam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Bahkan Muhammadiyah secara cultural memiliki keterkaitan khusus dengan kalangan internal HMI. HMI yang pada waktu itu menjadi representasi mahasiswa muslim memang mengalami banyak tekanan dari kekuatan kaum kiri. Desakan untuk membubarkan HMI menggema  dengan begitu kerasnya terutama oleh kalangan kiri. Hal ini terjadi karena seluruh pergerakan mahasiswa yang dulunya befusi kedalam PPMI (Persyarikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) mengalami kebuntuan akan kesamaan frame berfikir didalamnya.  Pemicu keretakan dalam tarik ulur kepentingan ideologis maupun politis tersebut diawali dengan bergabungnya CGMI pada 1958 yang menjadi anak kandung komunis. Akhirnya pada Oktober 1965 PPMI resmi dibubarkan.[3]

HMI yang notabene menjadi wakil Islam dikalangan mahasiswa karena saking kerasnya mempertahankan idealisme harus berani menaggung akibatnya. Karena CGMI sendiri memiliki hubungan yang cukup mesra dengan kekuasaan. Karena secara politis mereka, kaum komunis, memiliki legitimasi yang kuat, HMI pun akhirnya terpojok. Hampir saja HMI dibubarkan secara paksa, namun seiring itu kaum muda Muhammadiyah akhirnya menggalang kekuatan baru yang lebih segar. IMM pun lahir dari rahim sejarah yang akhirnya bersama-sama dengan HMI mempertahankan diri dari gempuran kaum kiri.

Sejarah pun terus berjalan dan mencatatkan tinta emasnya dalam dinamika peradaban manusia. Seiring itu pula IMM sebagai penerus cita-cita muhammadiyah juga memainkan peran penting dalam dinamika kebangsaan. Secara ideologis untuk menjaga khittah yang diidealkan Muhammadiyah IMM pun melakukan penguatan internal dengan berbagai macam deklarasi. Pada awal berdirinya yang dalam muktamar pertamanya di Solo 1-5 Mei 1965 menghasilkan deklarasi yang poin-poinnya tertera seperti dibawah ini:

1.      IMM adalah Gerakan mahasiswa Islam.
2.      Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM.
3.      Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (sebagai stabilisator dan dinamisator).
4.      Ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah.
5.      IMM adalah organisasi yang syah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah Negara yang berlaku.[4]

Kelima hasil konsensus dalam muktamar tersebut menjadi penanda akan identitas IMM dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, maupun berjuang dalam agama. Hal lain yang menjadi penguat ideologis yang menjadi dasar pergerakan secara resmi diakui oleh PP Muhammadiyah dengan enam penegasan yang dideklarasikan secara langsung oleh ketuanya pada waktu itu KH Ahmad Badawi. Enam penegasan tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Menegaskan IMM adalah gerakan mahasiswa Islam.
2.      Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah lanasan perjuangan IMM.
3.      Menegaskan bahwa IMM adalah eksponen Mahasiswa dalam Muhammadiyah.
4.      Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi Mahasiswa yang mengindahkan segala hukum, undang-undang, serta dasar dan falsafah Negara.
5.      Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah.
6.      Menegaskan bahwa amal IMM adalah lillahita’ala dan senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat.[5]

Dengan penegasan yang secara resmi mendapat legitimasi dari PP Muhammadiyah, IMM pun secara resiprokal memberikan sumbangan yang sangat berarti seiring berkembangnya Muhammadiyah itu sendiri. Semangat kaum muda yang berfikiran progresif dengan jalan profetis akhirnya menapakkan dirinya dalam gerak zaman. Adalah sebuah keniscayaan sejarah bahwa kaum intelektual muda akan selalu menciptakan perubahan kearah cita-cita yang diidealkan. Bahkan tak jarang perjuangan pun harus menggunakan ‘kepalan tangan’ seiring struktur kekuasaan yang terlampau despotik dan menjauh dari kepentingan rakyatnya. Sejarah pun membuktikan, gerakan Mahasiswa terutama dalam level kebangsaan selalu menjadi pionir dalam rangka meruntuhkan rezim kekuasaan yang korup baik secara politis maupun ekonomis. Mulai runtuhnya sang bapak revolusi, Soekarno, dengan demokrasi terpimpinnya. Hingga orde baru dibawah kekuasaan Soeharto sang bapak pembangunanisme yang dilucuti kekuasaanya oleh rakyat dan mahasiswa yang melahirkan orde reformasi. IMM pun sebagai salah satu entitas gerakan mahasiswa Indonesia tak luput dari peranan dan perjuangan dalam merubahnya.

Seiring dinamika zaman yang terus bergerak dan mengalami perubahan struktur dan formasi social secara sporadis. Permasalahan kemanusiaan yang semakin kompleks dan kemajuan serta modernitas yang terus berevolusi. Mau tak mau pemikiran harus selalu diperas dan digumuli untuk mencari pemecahan problem dan solusi kemanusiaan dan peradaban. IMM pun dalam lanskap dunia kehidupan (lebenswelt) semakin mengokohkan dan mendefinisikan dirinya sebagai gerakan Ilmu. Karena tak dapat dipungkiri untuk menciptakan perubahan, manusia harus mendedah kemampuan epistemiknya untuk merekayasa dunia kehidupan menjadi sebuah dunia yang damai dan berkeadilan social. Sebagaimana dikatakan Ali Syariati bahwa sistematika konstruksi kemanusiaan adalah secara berturut-turut dari pengetahuan, kesadaran, serta cinta.[6]

Seiring itu pula dalam rangka membentuk sosok kader yang berkepribadian profetis. IMM setidaknya secara ideologis memperkaya khazanahnya dengan trilogy pergerakan. Hal ini menjadi aspek fundamental dalam rangka membentuk kader Muhammadiyah yang dinamis dan pure layaknya Muhammadiyah itu sendiri. Trilogi yang tediri dari religiusitas (spiritual keagamaan), intelektualitas (kemahasiswaan dan keilmuan), dan humanitas (kemanusiaan, kerakyatan) merupakan dasar kokoh dan holistik dalam rangka menempa dan menempatkan diri gerakan IMM dalam dinamika kebangsaan maupun peradaban dunia.

Tentu ketiga landasan ideologis tersebut tak hanya menjadi hal yang figurative semata, namun secara perlahan menopang asas dan idealisme kaum intelektual yang sejati. Secara epistemologis hal ini dapat kita lacak dari Al-Quran surat Ali Imran ayat 110 yang didalamnya terdapat prinsip universal kemanusiaan secara utuh. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo poin penting dari ayat tersebut ada empat yaitu: (1) konsep tentang umat terbaik (2) aktivisme sejarah, (3) pentinganya kesadaran, dan (4) etika profetik.[7] Dalam koridor ini kader IMM memiliki ciri normatif dan identitas yang berbeda dari gerakan lain. Manusia IMM adalah manusia profetik yang meneruskan tradisi para nabi. Ia adalah manusia sejarah yang sadar akan ruang dan waktu yang menyelubung tirai kehidupan. Ia selalu aktif dan kreatif dalam memosisikan dirinya dalam dinamika dunia kehidupan yang terus berubah. Manusia terbaik (Khoiro Ummah) yang menjadi gambaran Al-Quran yang berjalan dengan landasan ontologis Tauhid dan Jihad. Fastabiqul khiraat, yang selalu menggemakan kebajikan dan menjadi yang terbaik dengan dimensi ilmu, dan amal. Ammarmakruf Nahi-munkar, berjalan dalam tirai kebenaran dan berjuang membasmi kezaliman, kemungkaran, kebodohan serta selalu, Tu’minubillah, mengabdi pada prinsip transcendental berupa kepatuhan kepada Sang pencipta, Sang causa prima yang agung Allah SWT.

Maka dari itu perjuangan kaum intelektual adalah perjuangan yang setia pada jalan kebenaran. Jalan yang diwariskan para nabi untuk meciptakan system social yang berkeadilan sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist). Manusia profetik yang dicita-citakan IMM adalah manusia yang peka terhadap kondisi dunia yang penuh dengan kemerosotan dan dekadensi. Seorang agen revolusioner yang berfikiran terbuka dan bijak dalam menafsirkan realitas kehidupan. Seorang yang kritis dan konstruktif dalam menjawab tantangan kehidupan. Seorang yang melampaui kapasitas definitif dirinya sendiri untuk mengabdi pada kepentingan bersama demi cerahnya cahaya Islam yang penuh cinta kasih, kemanusiaan, dan keadilan universal.

Kader IMM bukanlah manusia bebas-nilai seperti ilmuwan, namun lebih dari itu ia adalah seorang intelektual yang selalu berpihak kepada kaum tertindas, kaum mustadaffin. Hal inilah yang sangat mendesak untuk kita perjuangkan bersama, sebagaimana kaum muda merupakan penopang kehidupan bangsa, umat, maupun peradaban dunia. Sehingga kader IMM tak hanya menjadi manusia egois yang sekedar mengurus kepentingan pribadi semata namun lebih dari itu, kader IMM yang notabene kader Persyarikatan Muhammadiyah, Bangsa Indonesia, Ummat Islam, dan peradaban dunia haruslah menjadi agen sejarah yang dapat mengukirnya dengan tinta emas dalam rangka mencapai kehidupan manusia yang Baldatun Toyyibatun Warrabun Ghafur.




[1] Sekretaris bidang keilmuan PC IMM Djazman Alkindi kota Yogyakarta.
[2] Lih. Noor Chozin Agham, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dalam lintasan sejarah dalam Trikompetensi Dasar: peneguhan jatidiri kader Iktan Mahasiswa Muhammadiyah, hlm 2.
[3] Ibid, hlm 8.
[4] Ibid, hlm 6-7.
[5] Lih. Denny Al-Asyaari, membuka tabir sejarah: memperluas identitas gerakan dalam Trikompetensi Dasar: peneguhan jatidiri kader Iktan Mahasiswa Muhammadiyah, hlm 32..
[6] Dalam hal ini Syariati menjustifikasi pengalamannya dalam melakukan ibadah haji yang mana manusia ideal atau insan kamil adalah manusia dengan watak haji yang dalam hirarkinya dari pengetahuan (arafah), kesadaran (mahsyar), dan cinta (mina). Lih. Ali Syariati, menjadi manusia haji, hlm 106.
[7] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, hlm 357.

Komentar

Populer