Oleh: Hendra Setiawan[1]
PENDAHULUAN
Zaman terus bergulir menyelubung ruang dan waktu tanpa bisa kita hentikan sedetik pun. Sementara itu dinamika kehidupan pun terus mengalami berbagai macam problema yang membutuhkan ‘ijtihad’ pemikiran dalam rangka pemecahannya. Di zaman serba cepat ini manusia semakin dihadapkan dengan segudang polemik untuk menciptakan sebuah dunia kehidupan (lebenswelt) yang humanis dan berkeadilan. Hal ini jelas menjadi suatu tanggung jawab bersama setiap penghuni kosmos ini.
Adalah globalisasi, sebuah mekanisme kehidupan yang berwatak maju dan modern sebagai mesin penggerak peradaban hari ini. Dimana terjadi lompatan sejarah yang begitu pesat, yang membawa manusia pada kontradiksi kehidupan. Arus globalisasi yang begitu deras semakin membawa dampak yang cukup signifikan dalam setiap lokus kehidupan dunia. Globalisasi yang berawal dari cita-cita barat akan liberalismenya merupakan sebuah tantangan kehidupan kontemporer.yang dampaknya jelas begitu terasa dalam sekat-sekat kehidupan. Pasca runtuhnya rezim Bolshevik Soviet dan berakhirnya perang dingin maka terjadilah suatu trajektori sejarah yang mengarah pada sebuah sintesis. Sejarah telah berakhir (the end of history) demikian klaim Francis Fukuyama dimana modernitas, meminjam bahasa Giddens, yang terus ‘berlari tunggang-langgang’ telah memenangkan system kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai jalan akhir peradaban.
Sebagaimana kita ketahui bersama, hari ini sungguh terjadi berbagai ketidakadilan dan dehumanisasi yang mengorbankan berjuta-juta manusia. System social yang ada telah membawa kepada suatu jurang ketimpangan yang begitu tragis. Secara sistematis dan terorganisir system tersebut telah mendegradasi hakikat kemanusiaan kita. betapa kita lihat fenomena nyata dinegara kita ini, di setiap sudut kota terdapat ribuan pengemis yang jumlahnya bertambah tiap harinya, anak jalanan merajalela yang mana mereka seharusnya menjadi tanggung jawab Negara justru selalu dikejar-kejar dan ditangkapi layaknya kriminal, kaum miskin justru selalu menjadi korban kekerasan Negara dan dirampas tanah dan haknya, petani-petani terpinggirkan dan dicekik perlahan-lahan dengan berbagai macam kebijakan yang jusrtru membela kaum modal dan ideology pasar bebas yang dibawa globalisasi neoliberalisme.
Semua itu jelas berbanding terbalik dengan tujuan poltik Negara sebagaimana secara normative tertuang dalam Pancasila terutama sila ke lima yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sebagaimana dikatakan Buya Syafii Maarif bahwa pasal lima tersebut telah lama menjadi ‘anak yatim’, yang oleh para pemimpin bangsa ini selalu tak pernah digubris sama sekali. Para penyelenggara Negara ini justru mengabaikan hak-hak fundamental warga negaranya untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera dan mendapatkan keadilan ditanahnya sendiri. Belum lagi, setelah pemiskinan massif oleh system social yang tidak memihak rakyat, para elit politik dan pejabat Negara justru tenggelam dalam hingar-bingar oligarki politik yang menjauh dari kepentingan rakyat. Ditambah dengan perilaku para elit yang gemar berfoya-foya dengan kehidupan glamour yang ujung pangkalnya merampas bahkan merampok uang Negara secara sistematis. Demokrasi yang sealalu kita agung-agungkan sebagai wahana emansipasi dan partisipasi atas kesamaan hak warga Negara hanya diperalat oleh para elit untuk melegitimasi sikap rakusnya.
Persoalan lain yang dihadapi seiring pekatnya arus globalisasi tak hanya menginvasi tataran kesejahteraan yang berpangkal dari system ekonomi dan politik, namun kebudayaan dan nilai spritualitas keagamaan juga ikut menjadi bulan-bulanan sang monster globalisasi tersebut. Implikasinya begitu nyata, kebudayaan local dan nilai-nilai religiusitas ‘terpaksa’ melarikan dirinya. Tak pelak infiltrasi budaya yang dibawanya seperti hedonisme, pragmatisme, konsumerisme, dsb. Telah menjadi momok yang sangat menakutkan dimana struktur kebudayaan local yang mempunyai nilai moralnya sendiri terpaksa harus meleburkan diri pada budaya global yang penuh ambivalensi dan scizoprenia.[2]
Kondisi, meminjam bahasa Lyotard, delegitimasi tersebut telah melahirkan homogenisasi kelayakan yang dangkal. Manusia dipaksa untuk menyeragamkan seleranya demi kepentingan sang produser dibalik liang korporasi multinasional. Budaya pop dan konsumerisme merajalela maka tumpullah kreatifitas cipta, karsa, maupun karya yang termanifestasi dalam budaya. Budaya yang cenderung bermain dalam permukaan dan tak menyentuh kedalaman makna dunia tersebut telah membawa manusia pada ketaksadaran secara ideologis. Dan bisa dikatakan kritik Karl Marx tentang religion is opium sekarang beralih ke pop culture is opium. Seiring ketidakwarasan global itu, oknum-oknum pembela surga akhirnya menampakkan dirinya menjadi dewa penolong. Namun naasnya, bukan justru solusi kritis dan konstruktif namun secara reaktif absolutisasi atas ajaran Tuhan melahirkan paham fundamentalisme yang menghalalkan kekerasan demi tercapainya tujuan. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep Rahmatan lil-alamin yang berusaha mencerahkan peradaban dengan cinta kasih dan kedamaian.
Sementara itu, golongan terpelajar yang digadang-gadang dapat memperbaiki nasib bangsa dan peradaban dunia juga mengalami disorientasi dalam langkah geraknya. Mahasiswa yang dalam rentang sejarah kebangsaan konon menjadi lokomotif perubahan juga ikut terjebak dalam nikmatnya arus modernisasi dengan kemajuan teknologi dan banalitas patafisikanya. Mahasiswa yang memang masih memiliki potensi untuk melakukan transformasi malah teralienasi oleh segala imajinasi tentang fethisisme dunia yang profan. Hal ini tentu sangat menyesakkan bagi sebagian orang yang sadar akan kondisi objektif bangsa maupun peradaban.
Sebagaimana masalah yang tersebut diatas, tulisan ini berusaha mewacanakan problem kontemporer terutama terkait globalisasi dan peran mahasiswa Muhammadiyah dalam rangka membendung arus destruktifnya serta menyaring sisi positifnya. Dalam hal ini diskusi akan dititik beratkan pada globalisasi sebagai akar persoalan dan mencoba membedah mekanisme interalnya dalam konteks global maupun nasional. Kemudian akan mencoba menjawab patologi modernitas dan globalisasi sebagai tantangan epistemologis maupun aksiologis bagi kaum intelektual profetik. serta bagaimana peran dan strategi dalam mengkonter balik hegemoninya yang dapat dilakukan oleh mahasiswa Muhammadiyah sebagai penerus cita-cita Baldatun Toyyibatun Warrabun Ghafur dengan berfikir jernih tanpa melakukan tindakan koersif dan sikap reaktif dalam mendefinisikan diri dalam lokus peradaban.
GLOBALISASI SEBAGAI ALAT IMPERIALISME BARU
Globalisasi sering kita maknai sebagai suatu hilangnya batas-batas terrestrial yaitu hilangnya dikotomi barat dan timur ataupun utara dan selatan. Menurut Anthony Giddens (2010:84) globalisasi merupakan intensifikasi relasi social sedunia yang menghubungkan lokalitas yang saling berjauhan sedemikian rupa sehingga sejumlah peristiwa social dibentuk oleh peristiwa yang terjadi pada jarak bermil-mil dan begitu pula sebaliknya. Definisi tersebut secara implicit membenarkan terjadinya sebuah relasi dialektis antara lokalitas dan globalitas yang melebur dalam ruang yang ‘terlipat’. Seolah semuanya menyatu kedalam sebuah lanskap yang tak mengenal batas. Waktu telah memampatkan ruang, yang terjadi adalah suatu mekanisme percepatan dan kecepatan yang dalam istilah Paul Virilio disebutnya sebagai dromokrasi.[3]
Sementara itu, menurut Yasraf Amir Piliang (2011:4) globalisasi merupakan sebuah kesatuan dalam paradox (a unity of the paradox) yang memiliki tiga wajah sekaligus. Sebagaimana ketiga wajah tersebut saling tumpang-tindih dalam ketidak jelasan. Tiga wajah itu adalah homogenisasi, pluralitas, serta wacana pertukaran. Homogenisasi dicirikan oleh mekanisme ideologis dari globalisasi itu sendiri yang dikendalikan oleh sekelompok manusia tertentu yang memiliki legitimasi baik secara politis maupun secara ekonomis. Yang menurut Yasraf terjadi semacam proses kesalingtergantungan, unifikasi, standardisasi, generalisasi cultural, dan kehidupan social. Disisi sebaliknya, globalisasi justru menjadi sebuah ruang multiplisitas, pluralitas, dan kompleksitas. Sehingga dengan segala kompleksitas budaya dunia yang berbaur dalam ruang global terjadi suatu tarik ulur dan saling memerebutkan dominasi budayanya masing-masing. Namun lagi-lagi dengan segala multiplisitas budaya yang ada didalamnya, hanya kebudayaan yang memiliki kekuatan legimitimitas politik dan ekonomi, pun secara represif melalui apparatus militer tentu akan memegang kendali mekanisme global tersebut. Memang jika ditinjau secara positif melalui sudut pandang relasi diskursif non politis terjadi wacana pertukaran budaya. Sehingga menghasilkan transmutasi kebudayaan dari pertemuan antar budaya tersebut.
Globalisasi memang sebuah mekanisme kompleks yang menciptakan sebuah ruang multiplisitas yang kompleks pula. Memang secara structural globalisasi merasuk dalam semua lini struktur social. Mulai ekonomi, yang dalam pandangan Marx menempati basis superstruktur, dan turunannya berupa superstruktur budaya, agama, politik, dsb. Bagi para penganjurnya seperti yang terbaca dalam pemikiran Karl Popper yang mengandaikan suatu masyarakat terbuka yang berdimensi global. Masyarakat terbuka (open society) itu sendiri dalam merupakan suatu masyarakat global yang dilandasi prinsip individualism, liberalism, dan inklusifitas (Yasraf, 2010:50). Hal inilah yang kemudian dilanjutkan penerusnya macam George Soros. Para pendukung globalisasi dengan paham globalismenya macam Soros dengan penuh optimisme menganggap dengan adanya globalisasi akan terjadi pemerataan kesejahteraan baik secara ekonomi maupun pemerataan teknologi dapat terdistribusi secara merata. Dimana kesenjangan ekonomi antara bumi belahan utara dan selatan tidak akan tejadi lagi. Namun itu semua hanyalah mitos. Globalisasi justru menjadi alat imperialisme baru bagi Negara utara yang telah mapan secara ekonomi untuk menindas Negara selatan yang masih menyandang nama ‘negara dunia ketiga’.
Hal ini dikarenakan globalisasi sebagai ruang bebas politis justru dijadikan ‘kuda tunggangan’ kaum pemodal kapitalis-kapitalis yang berideologi neoliberalisme untuk semakin memperluas ranah ekspansinya. Sehingga kejayaan korporatokrasi pun tak dapat dibendung seiring kuatnya kekuatan kaum kapitalis untuk mencengkeram otoritas politik maupun ekonomi dunia. Penjajahan pun semakin tak terlihat secara kasat mata namun ia menjelma menjadi monster baru yang bernama globalisasi. Selain menjajah secara ekonomi dengan tiga institusinya yaitu IMF, WTO, dan World Bank. Barat secara sistematis terus menerus memaksakan agar semua Negara didunia memakai system demokrasi dalam meaknisme politik kenegaraannya. Demokrasi yang selalu digaungkan oleh barat yang digawangi Amerika Serikat justru mencederai wajah demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang seharusnya menjadi wahana emansipasi dan partisapasi tersebut justru tak lebih digunakan sebagai alat untuk melegitimasi sikap tamak sang imperium- Amerika. Memang secara politik demokrasi telah diterapkan diberbagai Negara namun dalam tataran ekonomi justru tidak terjadi demokratisasi. Yang terjadi adalah pemaksaan structural yang hanya menguntungkan kaum modal. Hal ini merupakan, sebagaimana Habermas (dalam Hardiman, 2009:214), dampak dari dominasi kapitalisme yang memerosotkan demokrasi menjadi sekedar “hubungan-hubungan strategis yang mengikuti birokrasi dan pasar”.[4]
Dalam konteks Indonesia sendiri juga sudah terjebak oleh janji manis kapitalisme-neoliberalisme tersebut dengan yang termanifestasi dalam konsensus Washington yang pernah disepakati ketika terjadi krisis ekonomi akhir 1997. Yang dengannya terdapat berbagai macam kesepakatan LoI (Letter of Intent) yang mekanismenya mengikuti apa yang disebut SAP (standard adjustment program) yang secara kontinyu harus ditaati oleh pemerintah Indonesia yang didalamnya terdapat 50 point yang disodorkan oleh IMF. Bersamanya mekanisme deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi merupakan agenda yang disuntikkan kedalam GBHN kita sehingga kedaulatan politik negara dilucuti habis-habisan dengannya (Rafik, 2008:160).
Kaum imperialis-kapitalistik tesebut juga menjajah secara ideologis melalui beragam media yang secara cultural melakukan hegemoni dan penindasan. Institusinya beragam yaitu melalui music (MTV), fashion, gaya hidup, makanan (McD), dan sebagainya. Penjajahan kebudayaan tersebut jelas lebih berbahaya, meminjam bahasa Herbert Marcuse yaitu menciptakan masyarakat satu dimensi (one dimensionl man) yang sirkulasi ujung-ujungnya menciptakan konsumerisme. Hal inilah yang dimaksud Yasraf sebagai homogenisasi, dimana budaya ciptaan industri-industri kapitalis sengaja disuntikkan kedalam relung bawah sadar masyarakat untuk menjadi konsumer sejati. Hal ini mendapat justifikasi lebih lanjut dari Theodor Adorno dimana menurutnya budaya yang diciptakan kapitalisme tersebut merupakan budaya rendah yang disebutnya sebagai kebudayaan massa. Sebagaimana uraiannya (dalam Yasraf,2003:89):
“setiap orang harus bertingkah laku...sesuai dengan kondisi sebelumnya yang telah direncanakandan ditentukan baginya,dan memilih kategori produk massayang dibuat khusus sesuai dengan tipologi mereka. Para konsumer muncul sebagai statistik pada tabel-tabel organisasi riset, dan mereka dikelompokkan berdasarkan pendapatan kedalam daerah merah, hijau dan biru”[5]
Fenomena budaya populer tersebut menjadi penting karena secara tidak langsung, meminjam bahasa Louis Althusser, ia menginterpelasi kesadaran manusia. Ia menjadi semacam ideologi baru bagi masyarakat industri. Industrialisasi dan modernisme yang mengarah pada konsumerisme tersebut cenderung menciptakan semacam hegemoni kebudayaan. Terutama hegemoni budaya barat-kapitalis yang didalamnya mencoba menginjeksikan mekanisme ideologinya yang orientasi dan tujuan akhirnya adalah pelipatan nilai-lebih kapital. Karl Marx pun sebenarnya telah mewanti-wanti akan bahaya alienasi system kapitalisme tersebut, dimana system kapitalisme selain menciptakan kesenjangan ekonomis juga menciptakan dehumanisasi. Dehumanisasi ini terjadi oleh proses mobilisasi manusia yang secara tidak sadar mensejajarkan dirinya benda-benda. Atau dalam bahasa Marx Kesadaran manusia di era industri inilah yang kemudian menurut Georg Lukacs (2011:158) melahirkan reifikasi atau relasi manusia dalam proses produksi memperoleh “objektivikasi khayali” yang mereduksinya menjadi hubungan kebendaan dan soalah berjalan secara alamiah. Inilah keterasingan masyarakat karena direduksi oleh hukum ekonomi industry. Kondisi keterasingan diperkuat lagi dengan budaya media massa yang sebagai acuan kesadaran, yang sirkulasinya ujung-ujungnya adalah konsumsi. Dan budaya konsumtif juga melahirkan fethisisme komoditi[6] yaitu pemberhalaan akan benda-benda. Hal-hal tersebut gejalanya bisa kita rasakan sendiri dalam masyarakat Indonesia yang semakin konsumtif dan mereduksi nilai benda hanya pada citra penandaannya sebagai identitas social. Konsekuensi logisnya budaya populer yang dibawa modernisasi yang cenderung berseberangan dengan budaya local tersebut telah mengobrak-abrik tatanan kebudayaan lokal.
Hal ini pun sangat terasa dalam kehidupan kampus dimana kampus telah menjadi medan perayaan symbol dan gaya hidup semata. Banalitas budaya kampus telah menciptakan lingkungan kampus, yang di dalamnya ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti ‘shop display’, yang di dalamnya mahasiswa lebih senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas, ketimbang mengejar pengetahuan; di pihak lain, tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual), apalagi menciptakan perubahan sosial (social transformation).
Belum lagi modernisasi dan sekularisasi semua lini yang diciptakan oleh mekanisme global tersebut juga menghasilkan problem antagonisme peradaban yang oleh Huntington disebut benturan antar peradaban (the clash of civilization). Yang dengannya memicu gerakan fundamentalime yang mengatasnamakan Tuhan dan menghasilkan terorisme. Sebagaimana Habermas, dia cenderung memandang fundamentalisme agama dan terorisme itu sendiri sebagai bagian dari globalisasi. Globalisasi, demikian Habermas, merupakan keniscayaan sejarah, tetapi juga telah menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering melahirkan distorsi komunikasi. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi dalam tindakan teror yang berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok: pemenang dan pecundang. Analisis Habermas ini melanjutkan proyek Sekolah Frankfurt dalam mendiagnosis patologi yang diidap masyarakat modern. Patologi itu berupa distorsi komunikasi dalam masyarakat global. Diagnosis terhadap patologi modernitas ini penting diajukan bukan untuk mengafirmasi globalisasi, tetapi mengidentifikasi aspek-aspek yang berbahaya yang dikandungnya, salah satunya adalah terorisme.
KAUM MUDA SEBAGAI INTELEKTUAL
Kaum muda memang selalu menjadi gerakan alternative ketika sebuah bangsa mengalami berbagai macam krisis (krisis multidimensi). Namun sebagaimana telah dikemukakan diatas problem kehidupan hari ini semakin kompleks. Terutama terkait modernisasi yang berkiblatkan pada barat sebagai superior peradaban. Hal ini jelas menjadi tantangan tersendiri kepada kaum muda yang memiliki kesadaran kritis untuk menciptakan sebuah dunia yang berkeadilan baik secara ekonomis maupun social-politis. Memang ketika berbicara transformasi social tentulah memerlukan pemikiran secara konseptual dan strategi taktis secara praksis. Tentu pergumulan ideologis harus selalu diperjuangkan sebagai dasar untuk menciptakan gerakan yang sistematis.
Dalam hal ini sebagaimana persoalan modernitas yang bermutasi dengan kapitalisme-neoliberal yang menciptakan imperium modal memang secara sporadis telah menciptakan formasi social yang sangat kompleks. Apalagi, ditambah perubahan yang begitu cepat dalam hal melimpah ruahnya informasi yang dalam bahasa Lyotard disebutnya sebagai masyrakat terkomputerisasi. Sehingga problem humanitas semakin menuju kerumitan konseptual. Dalam persoalan ini kaum muda, terutama kaum muda Muhammadiyah, haruslah memeras pikirannya terutama dalam rangka memecahkan problem peradaban dengan landasan ontologis tauhid. Terkait ini tentulah kita juga bicara tentang posisi kaum muda sebagai kaum intelektual sebagai agen yang berkesadaran kritis.
Hal inilah yang mendasari untuk meredifinisikan ulang konsep tentang kaum intelektual terutama kaum intelektual muda Muhammadiyah yang dalam kepemimpinan nasional kurang bertaji. Memang berbicara tentang kepemimpinan nasional tak dapat dilepaskan dari ruang kontestasi politik yang tujuannya jelas kekuasaan an-sich. Tak pelak berbicara kekuasaan tentu berbicara politik paktis yang terkadang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Implikasinya jelas begitu nyata, sebagaimana sering kita saksikan dinegeri ini bahwa para elit politik yang katanya berjuang atas nama rakyat justru hidup dalam pusaran hitam oligarkis. Lalu bagaimana kaum muda Muhammadiyah seharusnya bersikap? Apakah kaum muda (mahasiswa) sekedar menjadi gerakan moral (moral force) dalam menghadapi kekuasaan? Atau mungkin masuk dalam ruang kontestasi politik yang semakin oligarkis tersebut?
Sebagaimana Bourdieu dan Foucault misalnya, mereka cenderung mengambil sikap dengan kekuasaan, bahkan terkadang membongkar struktur opresif yang cenderung melegitimasi status quo. Mereka yang notabene sebagai ilmuwan social tidak terus mengikuti doktrin positivisme yang mengambil jarak dan bebas-nilai, namun mereka ikut bertanggung jawab dalam perjuangan politik dalam rangka mencapai keadilan demi kemanusiaan. Dalam hal ini memang perjuangan mereka cenderung cultural dan tidak secara pragmatis masuk dalam struktur kekuasaan. Lain halnya dengan Gramsci misalnya, Perjuangannya cenderung bersifat structural melalui jalan politik praktis. Dia cenderung menggunakan konsep hegemony dalam menghadapi struktur kekuasaan. Implikasi logisnya ada semacam skema oposisi biner yang saling antagonis, namun tidak dengan jalan revolusi represif dengan penghancuran melalui perebutan secara paksa. Ia juga menempatkan kaum intelektual sebagai agen yang bersama kaumnya untuk merebut cita-cita normatifnya yang disebutnya sebagai intelektual organik. Lebih dari itu, hegemony filosofis menyatukan teori dan praktik, menjadi kritis, perjuangannya mula-mula pada level etika, menjadi potilis sehingga perebutan kekuasaan itu melalui counter-hegemoni untuk membangun masyarakat sosialis.[7]
Kaum intelektual dalam hal penempatan dirinya dalam ruang politik memang agak problematis. Karena seiring masuknya kaum intelektual dalam pusaran politik kekuasaan yang memang menjanjikan kemewahan dan kemapanan, sehingga kaum intelekual harus memiliki karakter idealis. Agaknya saya sepakat dengan Sudjatmoko dimana idealisme harus disertai pragmatism dalam bertindak. Namun pragmatism politik disini bukan dalam arti hanya melanggengkan status quo semata yang hanya sibuk memoles citra namun lupa bahwa rakyat masih “kelaparan”. Oleh karena itu, visi politik harusnya menjadi landasan ideologis untuk mencapai tujuan normative politik sebagai tata kelola kehidupan bersama. Tak dapat dipungkiri tugas suci seorang intelektual sebagai kaum yang tercerahkan adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama, bukan mengikuti hawa nafsu pribadi untuk kepentigannya sendiri. Sebagaimana dikatakan Ali Syariati (1984:14-15) yang disebutnya sebagai Rausyan Fikr. Konsep intelektual dalam pandangan Syariati berbeda dengan seorang ilmuwan. Ilmuwan bersikap netral dan hanya menemukan kenyataan, sekedar mendeskripsikannya, dan menampilkan fakta sebagaimana adanya. Seorang intelektual menemukan kebenaran, melakukan keberpihakan terutama kepada kaum tertindas, kaum mustadaffin, serta melakukan perubahan terhadap system social yang tidak adil.[8]
Hal inilah yang perlu disadari oleh kader muda Muhammadiyah sebagai salah satu pilar kebangsaan. Karena tak dapat dipungkiri kaum muda progresif merupakan tonggak awal dalam rangka mencapai suatu perubahan revolusioner. Sebagaimana para Nabi yang diutus oleh Tuhan sebagai agen yang akan mendekonstruksi system social yang timpang dan penuh dengan ketidakadilan. Seorang intelektual adalah penerus tradisi para nabi yang membela golongan lemah dan terpinggirkan. Seorang intelektual adalah seorang yang melampaui kapasitas definitive dirinya sendiri dalam memosisikan dirinya dalam dunia kehidupan.
Dalam hal strategi perubahan social setidaknya penulis sepakat dengan gagasan Kuntowijoyo. Kuntowijoyo dalam bukunya muslim tanpa masjid (2001:112) setidaknya memformulasikan gagasan tentang tiga strategi transformasi social; (1) strategi structural (2) strategi cultural (3) strategi mobilitas social. Yang pertama strategi structural merupakan mobilisasi kolektivitas dengan tujuan jangka pendek, strategi ini sering disebut juga strategi politik dimana metodologinya melalui jalan birokrasi kekuasaan. Yang kedua strategi cultural lebih menitik beratkan pada penyadaran intersubyektif melalui berbagai media dan dialog yang dilakukan terus menerus (continue). Yang ketiga srategi mobilitas social adalah mendialektikakan kedua strategi tersebut diawal, strategi ini memang bersifat jangka panjang bukan dengan cara instan dimana metodenya adalah melalui pendidikan dan peningkatan kualitas SDM.
Kaitannya dengan strategi diatas penulis mencoba mensintesiskan dengan gagasan Habermas tentang masyrakat komunikatif, dengan asumsi bahwa system politik Negara kita adalah menerapkan system demokrasi. Oleh karena itu, dari ketiga strategi Kunto diatas terutama strategi cultural setidaknya terus diusahakan dan disertai dengan penciptaan ruang public sebagai tempat jejaring aspirasi rakyat. Ruang publik sendiri menurut Habermas merupakan:
“kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain, yakni uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi Negara), agar tercapai suatu keseimbangan”(Hardiman dkk, 2011:18)
Jadi disini kaum muda Muhammadiyah haruslah menjadi motor penggerak komunikatif dalam ruang public. Terutama bagaimana perjuangan komunikatif dengan rakyat adalah untuk memengaruhi kebijakan politik pemerintah agar kebijakannya menguntungkan rakyat bukan sebaliknya membela kaum modal raksasa. Jadi demokratisasi ekonomi sebagai manifestasi dari sila ke lima pancasila harus diperjuangkan terus-menerus melalui mobilisasi social dengan pendidikan politik rakyat. Dan secara structural kaum muda Muhammadiyah harus menyiapkan dirinya untuk menjadi pemimpin politik, karena melihat kondisi pemimpin bangsa hari ini yang semakin mudah diintervensi kaum modal maupun kekuasaan asing. Implikasinya karakter idealisme nasional dan karakter kebangsaan yang anti-imperialis seperti Tan Malaka, Syahrir, Soekarno, maupun Hatta menjadi penting untuk dihidupkan kembali spiritnya dalam jiwa kaum muda.
PENUTUP
Sedemikian peliknya, problem kontemporer dengan modernitas dan kapitalisme yang menelorkan neo-liberalisme telah membawa kehidupan pada dehumanisasi. Memang secara material terjadi kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat, namun dibalik kemegahan modernitas tersebut justru menyimpan stratifikasi social dan dekadensi spiritual yang tak terperi. Kaum muda Muhammadiyah yang nyatanya berjuang dalam jalan Amar ma’ruf nahi munkar didalam abad kedua ini tentu harus menguras pikiran dan energinya untuk memecahkan problem kemanusiaan tersebut. Sebagai penutup saya akan mengutip surat Ar-raad (13:11) “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Perubahan tentu tidak akan datang dengan sendirinya, dan tentu ikhtiar dimulai dari diri sendiri, kemudian lingkungan sekitar, menyebar kedalam lingkup yang lebih luas lagi. Optimisme adalah sebuah niscaya walau utopia, karena kemajuan dan perubahan tak lain adalah realisasi dari utopia.
Bibliography
Amir Piliang, Yasraf, 2003. Hipersemiotika: tafsir cultural studies atas matinya makna. Yogyakarta: Jalasutra.
_________________. 2010, Posrealitas: realitas kebudayaan dalam era postmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra.
_________________. 2011, Dunia yang dilipat: Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan, Bandung: Pustaka Matahari.
_________________. 2011, Bayang-Bayang Tuhan, Agama, dan Imajinasi, Bandung: Mizan Publika.
Edkins, Jenny and Nick Vaughan Williams (Ed.), 2010. Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Yogyakarta: Baca.
Giddens, Anthony. 2009. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Hardiman, F.Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisius.
Hardiman, F. Budi, dkk. 2011. Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Komunitas Salihara
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan
Lukacs, Georg. 2009. Dialektika Marxis: Sejarah dan Kesadaran Kelas, Yogyakarta: Ar-ruzz Media
Marx, Karl. 2004, Kapital Volume 1(terj). Hasta mitra:
Rafik, Ishak.2008. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, Jakarta: Ufuk Publishing House
Syariati, Ali.1984. Ideologi kaum intelektual. Bandung: Mizan.
[1] Sekretaris bidang keilmuan cabang IMM Djasman Alkindi kota Yogyakarta.
[2] Scizoprenia didefinisikan sebagai kekacauan struktur bahasa (dan psikis), yakni putusnya rantai pertandaan (makna) dimana penanda (signifier) tidak dikaitkn dengan petanda (signified) dengan cara yang pasti, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran makna. Begitu pula dengan masyarakat global yang dikendalikan secara ideologis oleh para produser dan pemodal. Lih. dalam Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika tafsir cultural studies atas matinya makna.
[3] Dromokrasi merupakan system pemerintahan oleh kecepatan, dalam pengertian bahwa setiap institusi seperti perang, politik, atau ekonomi, mengandalkan kecepatan sebagai kekuatan utamanya yang juga menjadi kekuatan utama kapitalisme global. Lihat Yasraf Amir Piliang, Dunia yang dilipat: Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan, hal 21.
[4] Dalam hal ini Habermas secara kritis mengajukan diagnosis seperti yang dilakukan Marx, yakni analisis atas alienasi, patologi modernitas, kolonisasi atas lebeneswelt, yang disebutnya sebagai krisis legitimasi, lih. F.Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, hal 214.
[5] Bagi Adorno kebudayaan massa (industry) merupakan suatu bentuk dehumanisasi lewat kebudayaan. Rasionalisasi dan komodifikasi kebudayaan sebagai suatu manifestasi dari pencerahan palsu tidak saja menghambat aspirasi dan kreativitas individu, akan tetapi lebih buruk lagi menghapus mimpi manusia akan kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.
[6] Lih. Karl Marx, Kapital, hal. 14 tentang fethisisme komoditi.
[7] Lih. Haryatmoko, Dari Pewaris Filsafat Kecurigaan ke Soedjatmoko, dalam Majalah Basis no. 07-08, Tahun ke-59, 2010.
[8] Lih. Ali Syariati, Ideologi kaum intelektual: dalam pengantar oleh Jalaludin Rahmat, Mizan,1984., hal 14-15. Selain itu seorang intelektual yang dalam bahasa Ali Syariati, Rausyan Fikr, disebutnya sebagai seorang yang memahami bangsanya dan sanggup melahirkan gagasan analitis dan normative yang cemerlang. Ia juga harus menuasai ajaran Islam, seorang Islamologis yang dalam bahasa Al-Quran disebut ulil albab.
Komentar
Posting Komentar