Langsung ke konten utama

Sebuah aforisme [post-lecture] untuk kelas ku…




Selamat malam [pagi]…. Ehhmmm…aku tak tahu akan mulai dari mana. Hanya sepenggal memori mungkin akan menyisa, menuju kesah dan tirai bahagia. Tiga tahun lalu aku tersesat, ku arungi sebuah kota yang berbudaya. Sebuah kota yang memiliki akar sejarah dengan artefak feodalisme, dengan berbagai macam kemegahan tradisi dan adat leluhur yang masih terjaga. Kota yang penuh dengan rona kebebasan untuk mengekspresikan diri mulai seni, pendidikan, intelektual, kebudayaan, hingga deretan kesenangan sesaat yang ditawarkan sepanjang jalan. Waktu itu, aku masih ragu tuk langkahkan kaki, namun dengan segala macam cita yang bersemayam dikepala aku pun memantapkan langkah menuju titik nol [0]. Disana kudengar suara-suara bergemuruh penuh dengan kekesalan namun bahasanya runtut, logis, dan akademis. Tak syak lagi! Para mahasiswa itu sedang turun ke jalan, aksi dengan denyut orasi yang menyatakan pembelaan atas nama keadilan. Diterik matahari yang begitu panas, dengan semburat kuning yang kian menyerbu pori-pori, keringat pun tak kuasa untuk segera menetes, membasahi baju yang sesak. Entah selepas itu aku benar-benar sesegera mungkin ingin menyandang nama MAHASISWA…
selepas itu, jiwaku tergoncang penuh dengan ketidakjelasan. Aku pun segera menuju sebuah kampus yang direkomendasikan bapak ku. kampus yang kulihat dibrosur cukup besar. Ada tiga gedung yang berderet dengan formasi yang sangat ideal. Ditengah gedung yang menyerupai masjid dan dikanan-kirinya dua gedung yang panjang dan agak mirip secara konstruksi arsitekturnya. Aku pun tiba, kucari-cari ketiga gedung tersebut namun tak kunjung terlihat. Hanya saja sebuah gedung panjang yang berada di brosur kulihat berdiri sendiri tanpa gedung lainnya. Dengan agak ragu aku masuk, dan ya! Nama pendiri organisasi islam pengikut nabi Muhammad itu sudah terpampang didepannya.
Walaupun agak kecewa namun cukup menyenangkan, karena aku diterima di jurusan pendidikan bahasa inggris. Sebuah pilihan yang mungkin mengandung resiko karena aku sadar kemampuan ku berbahasa inggris sangat kacau. Namun inilah hidup yang penuh dengan pilihan dan konsekuensi. aku pun segera peroleh almamater berwarna oren, warna yang mencolok dan banyak orang kata mirip tukang parkir dan tukang andong alias kusir. Kuanggap sekedar cibiran tak bermakna saja, dan mungkin kampus ini memang bervisi kerakyatan agar –mungkin- mahasiswanya merakyat alias nggak sok borjuis ataupun sok intelek, makanya semboyannya “moral and intellectual integrity” walaupun mbayarnya lumayan mahal untuk ukuran orang kere macam aku.
Akihirnya hari itu pertama masuk, action, begitu kampusku menamainya. Aku pun siapkan berbagai perlegkapan yang lumayan ribet dan menjengkelkan. Bulan puasa namun dengan segenap daya aku berusaha agar nggak nyerah ditengah jalan. Aku dapat kelas E….ya! sebuah kelas yang mengawali langkah ku tuk temukan kawan baru dan tentu banyak yang berbeda budaya secara diametral. Sebuah dunia baru multikultur mulai njowo, ngapak, sunda, melayu, dayak, batak dan macam-macam kecenderungan primordial berkumpul di sini. Kelas E, penuh dengan rautan wajah yang bersinar dengan pancaran semangat tuk raih cita masing-masing.
Riuh, berbagai karakter baru kutemui. Mulai yang gayanya macho, stylish, borjuis, dan yang sedang-sedang saja. Mulai tampang preman rajabasa hingga tampang intelektual bahkan tampang guru spiritual macam biksu ada disini. Dan bersama hari itu, hari pun terus berganti. Waktu terus bergulir tanpa bisa terhentikan, tiap detik yang berlalu, tiap jam yang menjauh, hingga tiap semester yang kian menua. Tanpa terasa, kelasku telah memberiku berjuta inspirasi hidup, cinta, tawa, dialektika, semuanya menyatu dalam bingkai ingatan. Absurd, mungkin itulah kata yang mungkin tepat tuk lukiskan dunia kehidupan yang telah –tanpa sengaja- kita rekayasa dalam fase simbolik imajiner. Diakhir strata ini, aku tak tahu akan berkata apa… mungkin tak lama lagi salah satu darinya kan sukses, menggapai mimpinya masing-masing, atau mungkin segera mengajar menjadi generasi penerus Oemar Bakri, atau apapun! Yang jelas semuanya [kecuali yang dijemput ajal] kan segera mencari dara dan pangerannya masing-masing tuk lalui bahtera hidup yang digariskan sang nabi… namun yang jelas! Jangan kalian jadi pengikutku, dan aku tak kan mengikuti kalian. Tak akan ada dogmatisme, paksaan untuk semua garis yang berlalu… semua yang berlalu dalam sepi…dalam pekatnya tawa… kita yang pernah bersama, kita belajar bersama, walau terkadang ego kita mengalahkan indahnya kebersamaan, keberterimaan… dan mungkin itulah takdir kita… jadilah temanku… sahabatku… jadilah pelitaku walau temaram… selamanya kalian kujaga dalam hangat memori terdalam….

Komentar

Populer