Langsung ke konten utama

KONSEP AKAL DALAM EPISTEMOLOGI IBN THUFAIL

"sesungguhnya, dalam (proses) penciptaan langit dan bumi dan (proses) pergantian siang dan malam, adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi ulil albab (orang-orang yang berfikir)”
(QS 3:190)

"Alam yang tidak bertubuh diketahuilah sudah, dan mata pikiran
memandanglah kedalamnya.”
(Sokrates)

A.    Pendahuluan
Berfikir, yang adalah suatu proses olah nalar, yang secara essensi adalah agamawi, merupakan suatu proses sunnatullah, yang sudah ada benihnya sejak awal, ketika manusia dihadirkan di bumi. Akal yang merupakan anugerah termahal yang diberikan  khusus oleh Allah kepada manusia yang tidak diberiakan pada makhluk lainnya, adalah agar manusia mampu membaca dan memikirkan segala kejadian dan tanda-tanda kekuasaan Allah.
Islam sendiri memberikan kedudukan tinggi kepada akal, karena akal hanya dimiliki oleh manusia, dan manusia adalah ciptaan terbaik Allah. Allah memerintahkan manusia untuk selalu menggunakan akalnya untuk menyikapi dan membaca tanda-tanda kekuasaan-Nya.
    Dan banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an  yang memberikan sugesti dan peringatan kearah pemaksimalan penggunaan akal untuk kemudian sebagi alat handal yang mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Permasalahan ini sudah banyak tanggapan dari para filosof Yunani tentang hakekat dan kegunaan akal itu sendiri serta bagaimana seharusnya manusia menyikapi akal agar mendapatkan Ilmu pengetahuan yang orisinal dan ilmiah dan tidak ketinggalan pula di dunia Timur, masalah ini juga menjadi perdebatan sengit di kalangan filosof muslim. Dimana diantaranya adalah filosof Andalusia yaitu Ibn Thufail, yang telah menjelaskan – secara implisit – dalam karyanya yang terkenal yaitu hay ibn Yaqdzan, yang kemudian akan dibahas secara rinci dan mendetel konsep dan pikirannya tentang akal sebagai sebuah refleksi ontologis tanpa mengurangi keobjektipan dan oresinalitas pemikirannya, dan dalam makalah ini penulis juga akan memformulasikan pemikiran Ibn Thufail dengan pemikiran tokoh sebelumnya dan tokoh yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Sehingga akan dapat mengambil sebuah kesimpulan yang tepat dan ilmiah. Karena penulis yakin bahwa bagaimanapun juga pemikiran seseorang tentang suatu konsep mesti ada pengaruh dari pemikiran tokoh sebelumnya, maka dari itu sudah menjadi keharusan untuk menyisipi pemikiran tokoh yang representative dan mendukung terhadap penulisan konsep dan pemikiran Ibn Thufail tentang akal.

B.    Biografi Singkat Ibn Thufail
Nama lengkap Ibn thufail adalah Abu Bakr Muhammad ibn 'Abdul Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail al-Andalusi al-Qoisi.  Ia lahir pada tahun 506 H/1110 M.    di wadi Asy.  Yaitu sebuah kota kecil di Andalusia. Pada masa mudanya beliau tidak terlalu nampak dan terpopuler seperti tokoh lainnya karena ia otodidak yang berbakat. Pada awalnya beliau menekuni ilmu kedokteran dan memiliki banyak tulisan dibidang ini, namun juga banyak yang hilang.  Selain sebagai seorang dokter ia juga sebagai seorang filosof, ahli matematika dan ahli penyair yang terkenal dari Muwahid Sapyol. Untuk mengembangkan karirnya di bidang kedokteran Ibn Thufail menjalin hubungan baik dengan kholifah  kerajaan Muwahhidin, dan diangkat menjadi dokter probadinya sejak tahun 588-580 H. dan khalifah Ya'kub berhubungan erat dengan para filosof – dan meminta ibn Thufail untuk menguraikan buku-buku Aristoteles. Untuk memenuhi tugas tersebut ia merekomondasikan ibn Rusyd  untuk pekerjaan ini – dan ia diterima dengan baik. Ketiaka Ibn Thufail meninggalkan jabatannya sebagai dokter pribadi Khalifah, maka jabatan itu digantikan oleh ibn Rusyd.  Banyak sekali karya-karya ibn Thufail tentang bidang keilmuan yang digelutinya, namun yang tertinggal dan sampai pada tangan kita saat ini hanya karya roman fiktif yang berjudul hayy ibn Yaqdzan. Di sinilah inb Thufail mencurahkan pikirannya tentang akal dengan mengampil tokoh; hayy ibn Yaqdzan.  Yang kemudian nanti penulis bahas pikiran-pikirannya dalam karyanya  ini.
Setelah khalihaf Ya'kub meninggal dan di gantikan oleh putranya, yaitu Abu Yusuf, namun  hubungan kekeluargaan antara mereka tetap terjaga, hal itu terbukti ketika abu Yusus menghadiri pemakaman Ibn Thufail di Maroko.

C.    Konsep "Akal" menurut Ibn Thufail dalam karya " hayy ibn Yaqdzan"
Ada  keunikan tersendiri dalam diri ibn Thufail dan meng-konsepsikan akal yaitu mengekplorasikan secara simbolik dalam roman filosofis fiktif hayy ibn Yaqdzan dengan dibentuk sebuah cerita yang mengandung pesan dan kisah tengatang  hayy ibn Yaqdzan sebagai seorang tokoh yang dilambangkan sebagai akal pikiran sedangkan teman-temannya sebagai selera syahwat, perasaan marah dan tabiat-tabiat lainnya yang lazim ada pada manusia.
Dalam bukunya itu ibn Thufail memposisikan Hayy ibn Yaqdzan  sebagai akal faal atau jiwa suci yang berfikir dan akal yang tetap hidup, dan tidak pernah cacat. Walaupun ibn Thufail tidak menkonsepsikan secara gamlang  tentang akal, namun bisa dilihat dari kecenderungannya dalam mengagumi tokoh seperti ibn Bajjah, aristoteles, dan lainnya hingga dapat ditarik kesimoulan bahwa yang dimaksud akal menurut ibn Thufail adalah al-quwwat an-nathiqoh,  yaitu daya jiwa yang berfikir, bersifat dinamis, mengandung unsure ketuhanan dan kekal, walaupun jasad hancur. Jadi akal yang dimaksud ibn Thufail adalah gerak jiwa yang dinamis, bukan statis, yang dapat dikomunikasikan dengan dunia materi. 
Dari synopsis karya ibn Thufail itu dapat ditarik kesimpulan bahwa akal menepati peranan penting dalam kehidupan kita dan menempati diposisi paling tinggi.  Hal itu tercermin dari seorang sosok hayy ibn Yaqdzan yang dengan keterasingannya dari masyarakat dan tanpa sentuhan pengalama-pengalaman akademis dan ajaran-ajaran dari luar, ia mampu memahami kebenaran, dan mampu memahami kematian rusa yang tanpa sebab serta mampu mengetahui Realitas Yang Maha Tertinggi. Dengan demikian akal merupakan sumber dari ilmu – ilmu  pengetahuan  yang  merupakan produk dari kegiatan berfikir dan obor yang menerangi kehidupannya.
Bagi ibn Thufail ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dengan indera, karena pengetahuan bukan hanya proses pemahaman saja.   Dan pada sisi lain di sebutkan bahwa hayy ibn Yaqdzan  akhirnya mencapai pada pengetahuan tentang wujud Mutlak yang sepenuhnya bersifat immaterial. Dengan kejernihan, keluhuran dan ketidak fanaan jiwanya yang juga terkandung di dalamnya essensi dirinya.  Yang kemudian ditemukan tiga akibat dari tiga karakter manusia. Pertama: akibat karakter impulsive dan kebinatangannya, kedua: akibat dengan spritualnya, mampu berhubungan dengan yang di langi, dan ketiga: akibat kekudusan jiwanya, manusia berhubungan dengan Wujud Mutlak. 
Dalam gerak yang lebih dalam lagi akal sanggup untuk mencapai sesuatu yang tak berawal dan tak berakhir yang meliputi segalanya, yang dalam gerak hendak memperlihatkan dirinya itu berbagai pengertian tentang kesudahan adalah momen saja. Oleh karena itu watak daras akal itu tidak satatis, tetapi dinamis, beragerak dan menampakkan inti tak berawal dan tak berakhirnya itu pada waktunya.

D.    Konsep Keharmonisan Akal dan Wahyu
Masalah akal sudah banyak mengundang perdebatan antar filosof muslim, dimana hal itu juga banyak mengundang perbedaan pendapat. Begitu pula dengan konsep wahyu, namun para filosof berkeyakinan bahwa antara akal-dan wahyu ada keserasian dan keharmonisan. Begitu juga menurut ibn Thufail, adalah penulis roman hayy ibn Yaqdzan yang terkandung di dalamnya tentang keharmonisan antara akal dan wahyu.
Sebagaiman yang telah di jelaskan di atas bahwa akal menurut ibn Thufail adalah daya berfikir (al-Quwwah an-natiqah), yang dengan sendirinya mampu memahami kebenaran, yang mana tokohnya adalah hayy ibn Yaqdzan sedangkan wahyu adalah pengetahuan Tuhan yang di sampaikan kepada para nabi, kemudian diteruskan kepada manusia sebagai pegangan hidup, dan tokohnya adalah Absal.
Permasalahan pokok yang berkembang pada pembahasan ini yaitudaya jangkau akal dan fungsi wahyu terhadap permasalahan pokok agama yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.  Dan dari dua masalah pokok ini menjadi empat inti pokok yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui-Nya, serta mengetahu perbuatan baik dan jahat serta kewajiban mengetahuinya. Permasalahan ini banyak mengundang pertentangan antara aliran teologi Islam.  Namun sikap ibn Thufail dalam menanggapi masalah di atas sangat bijaksana, walaupun ia menempatkan akal pada posisi paling atas namun ia juga hidup di budaya wahyu,  yang nantinya akan ditemukan keharmonisan antara keduanya dalam karyanya, yang melambangkan akal dengan hayy ibn Yaqdzan dan wahyu dengan Absal, yang kedua bertemu di titik yang sama yaitu kebenaran.
Jadi antara akal dan wahyu terdapat hubungan yang erat. Kehadiran wahyu merupakan suatu pelengkap dan petunjuk bagi akal.  Adapun pengetahuan yang diperoleh akal dengan pengetahuan yang diperoleh wahyu, menurutnya pengetahuan yang diperoleh akal di bawah pengetahuan yang  diperoleh wahyu, karena pada dasarnya wahyu diturunkan sebagai petunjuk, dan kebenaran akal bersifat relative sedangkan kebenaran wahyu bersifat mutlak.

E.    Kesimpulan
Dari  pemaparan konsep akal dan relevansinya akal dengan wahyu yang digambarkan oleh ibn Thufail dan karya Roman fiktifnya " hayy ibn Yaqdzan" dapat ditarik kesimpulan sebagai beriku:
1.    Menurut ibn Thufail akal adalah al-quwwah an-natiqoh, jiwa yang berfikir atau daya insani yang brsifat dinamis dan selalu berfikir dan berdzikir untuk memahami realitas alam dan dirinya sehingga mencapai pada tingkat yang lebih tinggi yaitu mengetahui Yang Mutlak.
2.    ibn thufail berpendapat bahwa Ada keharmonisan dan hubungan erta yang tidak dapat dipisahkan antara akal dan wahyu, dimana antara satu dan lainnya saling memenuhi, seperti kerelatifan akal dalam memperoleh pengetahuan membutuhkan bimbingan wahyu untuk mengecek pada dataran kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA
C. A van Peurson, 1988.  Orintasi di AAlam Filsafat, Dick Handoko, pen, Jakarta: PT. Gramedia.
Madjid Fakhry, 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta kronologis, Bandung: Mizan.
 Harun Nasution, 1986 Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press.
Ahmad Fuad al-Ahwani, 1995 Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Bakhtiar Husain Siddiqy, 1985.  "Ibn Thufail" dalam M. M Syarif, ed., Para Filosof Muslim, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan.
A M   Syaifuddin, 1998. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan.

Komentar

Populer