Langsung ke konten utama

mélik



Berjalan disekitar malioboro, kita akan menemukan mal-mal, serta deretan etalase-etalase. Mungkin karena mall adalah sebuah repetisi: pengulangan. kita bisa berpindah dari yang satu ke yang lain dan mengalami hal yang sama. Toko-toko itu memajang merek yang sama pula dari satu bangunan ke bangunan lain. 

Repetisi tampaknya punya peran tersendiri di sini. Ia perpanjangan dari sifat fashion. Fashion, atau mode, tiap kali memang memperbarui diri, tetapi sebenarnya ia merupakan cerminan pengulangan. Ia hidup dengan membuat keinginan datang berulang kali untuk memperoleh merek favorit itu lagi, lagi, dan lagi. ia juga mengulang penanda yang memesona. memberi efek imajiner dalam diri kita, sebagai penanda kemolekan, ketampanan, kemutakhiran, yang makin memenuhi angan-angan kita.


Demikianlah di kaca-kaca yang tak kunjung habis itu mereka bersaing, tapi semua melihat ke arah kita, mengajak kita masuk ke dalam dunia di mana mereka jadi pusat. Kaca itu seakan-akan menyediakan diri sebagai cermin. Dan sebagaimana layaknya cermin, ia menyajikan ilusi tentang diri yang utuh. Ia juga mendorong kita untuk melihat diri sendiri silih berganti antara ”tampan” dan ”kurang tampan” atau "cantik dan "kurang cantik".

Dalam peralihan itu, lahirlah hasrat. mélik: ”hasrat atau keinginan untuk mengambil, memiliki”. Ada semacam efek magis yang diciptakan oleh komoditi, dan barang-barang itu. Tapi mall demi mall, etalase demi etalase, pada akhirnya adalah kuil-kuil di mana fetisisme komoditas (pemberhalaan benda-benda) jadi ritual, dan mélik jadi ketaatan. Tentu, tak semua menyebabkan lahirnya perilaku buruk. Kapitalisme, yang melembagakan hasrat dan iri hati, pada akhirnya menggerakkan dunia. Bahkan Marx sendiri mengatakan bahwa manusia, sebagai makhluk yang dibentuk dari tubuh yang melihat, menghidu, menyentuh, mencicip, dan mendengar, yang haus dan lapar, adalah makhluk yang menderita (leidendes Wesen) dan sebab itu, dengan gairah, dengan semangat, ia mendapatkan kekuatan menggapai obyeknya.

Hasrat dan convoitise pada akhirnya bukan saja melahirkan nafsu tubuh, tapi juga hilangnya batas pengertian milik. Milik yang selalu berarti privat, bergerak ke luar. Dari sinilah akumulasi terjadi: menghimpun modal jadi kekuasaan, menguasai puluhan rumah secara sah dan tak sah, menyimpan harta dari penyalahgunaan milik publik.

Tapi di mana akhirnya? Mall demi mall, etalase demi etalase, akan selalu mengulangi ritualnya. Manusia hanya bisa bebas jika ia melintasi obsesi ini: milikku, milikku, milikku.…

Komentar

Populer