aku merasa mengenalnya... semakin ku dekap semakin jauh justru tak ku kenali... seperti orang baru yang ku temui namun dengan memori lama... antara hari ini dan masa lalu yang pernah hadir... kehadiran yang tak pernah menemukan telos... tak bergeming, hilang dalam aksentuasi cahaya... seperti moralitas yang kehilangan maknanya oleh keserakahan... seperti cinta yang bersembunyi dalam sekam oleh bualan hasrat... sebuah kehilangan yang tak termediasi bahasa... apakah ini adalah momen akhir? mungkin ketiadaan adalah awalan, untuk kerinduan yang terlalu lama... sehingga momen akhir akan tertunda jejak wajahnya... kecantikan logosentris yang menyisa diruang bebas kuasa...
***
Pagi yang berwajah murung... sang mentari mendekap sepi disumbui awan mendung... Tak merisau tinggalkan kota beranjak jemput cakrawala... Meski mendendam gelisah, oleh terkaman pertanyaan yang tak terjawab... Cahaya mentari kian tak ku jamah... Sebuah titik pusat yang mengeram tanpa tersingkap... Seharusnya hangat cintanya menyentuh bumi ku... Bukan disana, entah sampai kapan aku menunggunya... Aku masih terus saja berdiskusi dengan sepi... Siapa aku sebenarnya? Kenapa aku terjebak bersama jeratan hampa? Mungkin hanya exergue tanpa pernah terisi makna... Bukan cinta, bukan budaya, bukan pula retorika politik... Sebuah kehidupan yang riuh oleh topeng citra... Tanpa cermin untuk berkaca tentang siapa sebenarnya kita... Kebenaran pun selalu dipermainkan dengan balutan nama Tuhan... Tanpa pernah berkata tentang luputnya pemaknaan... Semua dimutlakkan diruang imanensi... Aku semakin tak paham, ku cari-cari ihwal kebenaran, hanya keterasingan dan kebingungan ku dapati... Apakah kita masih saja bangga dengan darah yang tercecer? Untuk pembenaran keyakinan kita sendiri? Mungkin kebodohan kita ini adalah kita adanya, manusia... Dan mereka akan bersama kita, saat tatanan kosmik terpeleset keluar sumbunya...
***
Semakin tak bisa ku kenali... Jauh bahkan sebuah petanda itu semakin kabur... Tak ada jalan untuk mendekonstruksi gerak mediasinya... Kode dan signifikasi pun lamat menghablur, tanpa sandaran... Entahlah apakah mungkin dia hanya sekadar bayang imajiner... Sebuah makna pun menjejal tanpa pernah tersingkap... Ketika senja menjamah, tubuh sepi ku terasa absurb tanpa terasuk jejaknya... Hilang... Lepas... Adieu... Hanya gram-gram kecil menyisa kata, untuknya, anything goes! Tanpa keteduhan itu, tanpa kemurungan itu, tanpa luka itu.. Untuk apa aku harus melata?
mode berfikir yang kacau... saat lelah, tanpa kehadiran memori adaan... semuanya runtuh, hanya menuai doktrin kedangkalan... sebuah momen solilokui, tanpa gerak, terdiam dalam jeratan utopi... ingin ku hapus sisa jejak-jejaknya, tapi tak bisa... semakin terhapus semakin menghujam alur imaji... bersandar otoimunitas diri, mendelegitimasi cintanya, menunda maksudnya... biarlah sepi menjamah, biarlah kebingungan menerka... pada momen itu, sebuah perjumpaan abadi akan terlupa... karena ambiguitas pemaknaan akan membawa kita diujung senjakala... pada ketiadaan ini semua akan berdusta, menaja hampa dalam puasa... dan tunggulah aku, maka ku temui dirimu dalam permainan multiplisitas...
***
dalam kebingungan mengurai gelap... hanya merajut kebohongan dengan tarikan eklektik... aku memang gila, sejauh itu akan terlupa... aku memang tolol, tak sempurna seperti kalian... aku memang pecundang, bukan penakluk seperti mereka... mungkin pula aku salah menafsirkan... atas lapisan fenomena dan raut wajahnya yang menolak ku dengan nada satir... mungkin benar kata mereka, aku hanya onggokan sampah... selalu dipinggirkan dalam genealogi sejarah...
***
Ketidakpercayaan yang terlalu pagi... Sekilas hanya kerlingan jejak penanda lamat menghilang... Menangisi akhir pekan... Lelah cepat dan mungkin akan bertambah lama... Kian dekat dan mungkin akan bertambah jauh... Semua tersiakan oleh pejal waktu, oleh ketakutan... Warnanya pun lusuh memudar hampa... Tak bisa ku jamah, tak bisa ku terka... Mungkin kita akan jumpa kembali, ketika senja menyingkapkan makna eksistensialnya...
***
Sandaran sepi memenggal sejarah anonim... Untuk perjalanan arus kehidupan... Menunggu lama... Untuk penahanan... Puasa atas absurditas imanensi... Untuknya yang diseberang sana... Cerminan atas misteri transendensi... Aku tahu untuk tak mengetahui... Keadaan dalam ketiadaan... Kegalauan dalam kebahagiaan... Lukisan malam nan eksotis serasa terbaring bersama simfoni wajahnya... Kerlip bintang menyuluh dentuman nalar... Kian lama, kian jauh, Mungkin ia telah terpikat narasi lain... Hanya menunggu, entah bagaimana aku merasa yakin... Walau beku, walau tertutup awan gelap... Saat sendiri adalah jalan keteduhan... Saat sepi menyingkap jejak auranya... Jauh aku rasakan, saat sang waktu tunjukkan jalan, aku akan sampaikan pesan...
***
tanpa terasa jauh ku kayuh pedal...
didepan sana, ribuan tanya telah menunggu...
dalam hening, berdiskusi dengan buku-buku...
sebuah dunia imajinal terbayang di seberang horizon makna...
aku tak tahu, hujaman pertanyaan itu sungguh menusuk ku...
bahkan langit yang muram tak berikan tanda intensinya...
aku bertanya dalam kelam, untuk sebuah rahasia kosmik...
untuk jejak logos yang tak pernah ku tahu.
kegelisahan menyublim dalam gelapnya aksenstuasi cahaya...
bersama rona sepi wajahnya, menyuluh tanpa penanda dan semantik metafora...
aku orang kalah dan pecundang! bersembunyi dalam barisan kata-kata...
dimana jawaban itu? hakikat? arkhe? noumena?
semua tak terjamah oleh persepsi, oleh keberbatasan...
tak ada apapun "diluar" sana, hanya kekosongan dan keterasingan...
indah sepinya waktu dan aporia sang ada, biarkan cinta menelungkup rahasianya...
***
Sebuah sampar menyerang tanpa kendali...
menjamah alam pikiran, menelusup ruang imaji...
Lamat kian berakumulasi dalam ketiadaan...
Tak terdefinisi, hanya bongkahan absurditas jejak kehidupan...
Dalam gemercing sepi, tubuh terbaring kaku hilang energi...
Tentang lekat aura wajahnya redakan ironi kepalsuan...
menyelimuti hamparan gram tersembunyi...
Seperti mawar putih yang tersiram hujan asam...
Menahan rasa sakit untuk pasangan mata yang singgah...
Itukah bentuk azali keberadaan dunia?
Mungkin setelahnya akan melekat cinta untuknya...
Dari sebuah kedalaman... Dari negativitas tanpa kefanaan... Sehingga gelap adalah mediasi menuju halaman depan sang pesakitan...
***
Sebuah akhiran tanpa awalan...
Retorika yang membuncah dalam keterasingan...
Hanya pekik doxa mereduksi realitas...
Semakin tinggi, radiasi panas berkulminasi...
Semburat cahaya tipisnya menelusup pori-pori...
Semua tak peduli... Aku adalah aku... Kalian adalah kalian... Mengarah pada sebuah tujuan materi...
Yang lapar biarlah terkapar! Yang berlumur kapital biarlah menghampar!
Saat keringat adalah mode produksi...
Penghisapan kian mem[benda]kan manusia...
Habitus di[re]produksi banalitas pemodal...
Hasrat dipelintir dalam bangkai kuasa...
Komoditi jadi rebutan dengan efek magis...
Belanja terus sampai tetes darah terakhir!
Apakah ini? sebuah parodi? Atau sekedar fiksi?
Seketika, cinta adalah permainan komersial...
Sebuah proyek moral terinterupsi oleh kematiannya sendiri...
***
Ada sebuah maksud, tapi akan ku sembunyikan dalam rimba [ecriture] disebelah sudut sepi yang menyuguhi kedalaman... Dibawah rindang semesta tanpa pendulum waktu, kemarin, sekarang, esok... Tak berbatas, sekat tipis dalam neraca episteme serta batas memori terjauh... Hanya dipinggiran tak terjamah, seorang wanita, masih jadi rahasia... Realitas pra-reflektif yang tak mampu dibicarakan... Mediasi yang kalut dengan lantunan bahasa... Sebuah maksud yang tak ku pahami, namun itulah emanasi kesejatian perasaan... Keterasingan semakin menjamah, begitu lama, tanpa eksistensi keberadaannya... Absensi tanpa presensi, transendensi tanpa imanensi, hanya sebuah jejak yang terhapus oleh teks... Narasi yang menolak untuk menerima, dibawah luapan anasir mimpi dan horizon auranya... Ia tiba di maksim teoritik tanpa terefleksi dalam alam nyata... Apakah kau mengerti ke-aku-an ku tanpa pernah berbicara? Hanya batas imajinasi yang seakan meyatukan oposisi pasangan itu... Seperti kutub yang berjauhan, saat bertemu kemungkinan semua kan terlupa.... Selamat jalan kecantikan logosentris! Aku tak akan mengejar hasrat dan ilusi ku! Aku kan biarkan kau temukan orbit mu sendiri...
***
Menulis yg tak mungkin dan ketidakmungkinan menulis...Selepas senja langkahkan kakinya di horizon barat... Siapa mencinta, siapa menipu? Hanya berkas citra menopengi wajah tanpa rupa... Ketika pertanyaan adalah jawaban... Posisi absolut adalah gerak mediasi... Di luar sana, ketiadaan dan batas memori dua pikiran... Dua yang satu, saat menjauh, mungkin terasa hampa... Wajahnya mentransendensi entitas imanensi... Kesatuan yang utopis, sepi yang sinis, dan cahaya bulan yang puitis... Suara yg mengetahui diri sendiri, ketika ia terdengar tak seperti suara apa pun... Tanpa sebuah kehadirannya, jejak-jejak senyumnya, dan imajinasi tentangnya.... Sebuah titik balik adalah momen pemaknaan, dan malam kan membawa pesan tentang ketak[hadir]an [...]
***
sebuah dunia yang tak [pernah] ku mengerti...
dimanakah makna kebenaran abadi?
dibalik kuasa simbol dan tuhan-tuhan digital...
atau cinta para pembual kebebasan dan despotisme pariwara?
pembodohan kian merajai dunia-hidup...
transendensi telah mati dibalik absolutisme imanensi...
pagan adalah jalan akhir...
tanpa sandaran logos, yang tersisa hanya kekosongan...
maka hidup adalah onggokan nafas tanpa negativitas...
kematian adalah hidup itu sendiri, tak ada sesuatu apapun diluar 'kematian'!!!
Adieu...
***
Pagi yang berwajah murung... sang mentari mendekap sepi disumbui awan mendung... Tak merisau tinggalkan kota beranjak jemput cakrawala... Meski mendendam gelisah, oleh terkaman pertanyaan yang tak terjawab... Cahaya mentari kian tak ku jamah... Sebuah titik pusat yang mengeram tanpa tersingkap... Seharusnya hangat cintanya menyentuh bumi ku... Bukan disana, entah sampai kapan aku menunggunya... Aku masih terus saja berdiskusi dengan sepi... Siapa aku sebenarnya? Kenapa aku terjebak bersama jeratan hampa? Mungkin hanya exergue tanpa pernah terisi makna... Bukan cinta, bukan budaya, bukan pula retorika politik... Sebuah kehidupan yang riuh oleh topeng citra... Tanpa cermin untuk berkaca tentang siapa sebenarnya kita... Kebenaran pun selalu dipermainkan dengan balutan nama Tuhan... Tanpa pernah berkata tentang luputnya pemaknaan... Semua dimutlakkan diruang imanensi... Aku semakin tak paham, ku cari-cari ihwal kebenaran, hanya keterasingan dan kebingungan ku dapati... Apakah kita masih saja bangga dengan darah yang tercecer? Untuk pembenaran keyakinan kita sendiri? Mungkin kebodohan kita ini adalah kita adanya, manusia... Dan mereka akan bersama kita, saat tatanan kosmik terpeleset keluar sumbunya...
***
Semakin tak bisa ku kenali... Jauh bahkan sebuah petanda itu semakin kabur... Tak ada jalan untuk mendekonstruksi gerak mediasinya... Kode dan signifikasi pun lamat menghablur, tanpa sandaran... Entahlah apakah mungkin dia hanya sekadar bayang imajiner... Sebuah makna pun menjejal tanpa pernah tersingkap... Ketika senja menjamah, tubuh sepi ku terasa absurb tanpa terasuk jejaknya... Hilang... Lepas... Adieu... Hanya gram-gram kecil menyisa kata, untuknya, anything goes! Tanpa keteduhan itu, tanpa kemurungan itu, tanpa luka itu.. Untuk apa aku harus melata?
mode berfikir yang kacau... saat lelah, tanpa kehadiran memori adaan... semuanya runtuh, hanya menuai doktrin kedangkalan... sebuah momen solilokui, tanpa gerak, terdiam dalam jeratan utopi... ingin ku hapus sisa jejak-jejaknya, tapi tak bisa... semakin terhapus semakin menghujam alur imaji... bersandar otoimunitas diri, mendelegitimasi cintanya, menunda maksudnya... biarlah sepi menjamah, biarlah kebingungan menerka... pada momen itu, sebuah perjumpaan abadi akan terlupa... karena ambiguitas pemaknaan akan membawa kita diujung senjakala... pada ketiadaan ini semua akan berdusta, menaja hampa dalam puasa... dan tunggulah aku, maka ku temui dirimu dalam permainan multiplisitas...
***
dalam kebingungan mengurai gelap... hanya merajut kebohongan dengan tarikan eklektik... aku memang gila, sejauh itu akan terlupa... aku memang tolol, tak sempurna seperti kalian... aku memang pecundang, bukan penakluk seperti mereka... mungkin pula aku salah menafsirkan... atas lapisan fenomena dan raut wajahnya yang menolak ku dengan nada satir... mungkin benar kata mereka, aku hanya onggokan sampah... selalu dipinggirkan dalam genealogi sejarah...
***
Ketidakpercayaan yang terlalu pagi... Sekilas hanya kerlingan jejak penanda lamat menghilang... Menangisi akhir pekan... Lelah cepat dan mungkin akan bertambah lama... Kian dekat dan mungkin akan bertambah jauh... Semua tersiakan oleh pejal waktu, oleh ketakutan... Warnanya pun lusuh memudar hampa... Tak bisa ku jamah, tak bisa ku terka... Mungkin kita akan jumpa kembali, ketika senja menyingkapkan makna eksistensialnya...
***
Sandaran sepi memenggal sejarah anonim... Untuk perjalanan arus kehidupan... Menunggu lama... Untuk penahanan... Puasa atas absurditas imanensi... Untuknya yang diseberang sana... Cerminan atas misteri transendensi... Aku tahu untuk tak mengetahui... Keadaan dalam ketiadaan... Kegalauan dalam kebahagiaan... Lukisan malam nan eksotis serasa terbaring bersama simfoni wajahnya... Kerlip bintang menyuluh dentuman nalar... Kian lama, kian jauh, Mungkin ia telah terpikat narasi lain... Hanya menunggu, entah bagaimana aku merasa yakin... Walau beku, walau tertutup awan gelap... Saat sendiri adalah jalan keteduhan... Saat sepi menyingkap jejak auranya... Jauh aku rasakan, saat sang waktu tunjukkan jalan, aku akan sampaikan pesan...
***
tanpa terasa jauh ku kayuh pedal...
didepan sana, ribuan tanya telah menunggu...
dalam hening, berdiskusi dengan buku-buku...
sebuah dunia imajinal terbayang di seberang horizon makna...
aku tak tahu, hujaman pertanyaan itu sungguh menusuk ku...
bahkan langit yang muram tak berikan tanda intensinya...
aku bertanya dalam kelam, untuk sebuah rahasia kosmik...
untuk jejak logos yang tak pernah ku tahu.
kegelisahan menyublim dalam gelapnya aksenstuasi cahaya...
bersama rona sepi wajahnya, menyuluh tanpa penanda dan semantik metafora...
aku orang kalah dan pecundang! bersembunyi dalam barisan kata-kata...
dimana jawaban itu? hakikat? arkhe? noumena?
semua tak terjamah oleh persepsi, oleh keberbatasan...
tak ada apapun "diluar" sana, hanya kekosongan dan keterasingan...
indah sepinya waktu dan aporia sang ada, biarkan cinta menelungkup rahasianya...
***
Sebuah sampar menyerang tanpa kendali...
menjamah alam pikiran, menelusup ruang imaji...
Lamat kian berakumulasi dalam ketiadaan...
Tak terdefinisi, hanya bongkahan absurditas jejak kehidupan...
Dalam gemercing sepi, tubuh terbaring kaku hilang energi...
Tentang lekat aura wajahnya redakan ironi kepalsuan...
menyelimuti hamparan gram tersembunyi...
Seperti mawar putih yang tersiram hujan asam...
Menahan rasa sakit untuk pasangan mata yang singgah...
Itukah bentuk azali keberadaan dunia?
Mungkin setelahnya akan melekat cinta untuknya...
Dari sebuah kedalaman... Dari negativitas tanpa kefanaan... Sehingga gelap adalah mediasi menuju halaman depan sang pesakitan...
***
Sebuah akhiran tanpa awalan...
Retorika yang membuncah dalam keterasingan...
Hanya pekik doxa mereduksi realitas...
Semakin tinggi, radiasi panas berkulminasi...
Semburat cahaya tipisnya menelusup pori-pori...
Semua tak peduli... Aku adalah aku... Kalian adalah kalian... Mengarah pada sebuah tujuan materi...
Yang lapar biarlah terkapar! Yang berlumur kapital biarlah menghampar!
Saat keringat adalah mode produksi...
Penghisapan kian mem[benda]kan manusia...
Habitus di[re]produksi banalitas pemodal...
Hasrat dipelintir dalam bangkai kuasa...
Komoditi jadi rebutan dengan efek magis...
Belanja terus sampai tetes darah terakhir!
Apakah ini? sebuah parodi? Atau sekedar fiksi?
Seketika, cinta adalah permainan komersial...
Sebuah proyek moral terinterupsi oleh kematiannya sendiri...
***
Ada sebuah maksud, tapi akan ku sembunyikan dalam rimba [ecriture] disebelah sudut sepi yang menyuguhi kedalaman... Dibawah rindang semesta tanpa pendulum waktu, kemarin, sekarang, esok... Tak berbatas, sekat tipis dalam neraca episteme serta batas memori terjauh... Hanya dipinggiran tak terjamah, seorang wanita, masih jadi rahasia... Realitas pra-reflektif yang tak mampu dibicarakan... Mediasi yang kalut dengan lantunan bahasa... Sebuah maksud yang tak ku pahami, namun itulah emanasi kesejatian perasaan... Keterasingan semakin menjamah, begitu lama, tanpa eksistensi keberadaannya... Absensi tanpa presensi, transendensi tanpa imanensi, hanya sebuah jejak yang terhapus oleh teks... Narasi yang menolak untuk menerima, dibawah luapan anasir mimpi dan horizon auranya... Ia tiba di maksim teoritik tanpa terefleksi dalam alam nyata... Apakah kau mengerti ke-aku-an ku tanpa pernah berbicara? Hanya batas imajinasi yang seakan meyatukan oposisi pasangan itu... Seperti kutub yang berjauhan, saat bertemu kemungkinan semua kan terlupa.... Selamat jalan kecantikan logosentris! Aku tak akan mengejar hasrat dan ilusi ku! Aku kan biarkan kau temukan orbit mu sendiri...
***
Menulis yg tak mungkin dan ketidakmungkinan menulis...Selepas senja langkahkan kakinya di horizon barat... Siapa mencinta, siapa menipu? Hanya berkas citra menopengi wajah tanpa rupa... Ketika pertanyaan adalah jawaban... Posisi absolut adalah gerak mediasi... Di luar sana, ketiadaan dan batas memori dua pikiran... Dua yang satu, saat menjauh, mungkin terasa hampa... Wajahnya mentransendensi entitas imanensi... Kesatuan yang utopis, sepi yang sinis, dan cahaya bulan yang puitis... Suara yg mengetahui diri sendiri, ketika ia terdengar tak seperti suara apa pun... Tanpa sebuah kehadirannya, jejak-jejak senyumnya, dan imajinasi tentangnya.... Sebuah titik balik adalah momen pemaknaan, dan malam kan membawa pesan tentang ketak[hadir]an [...]
***
sebuah dunia yang tak [pernah] ku mengerti...
dimanakah makna kebenaran abadi?
dibalik kuasa simbol dan tuhan-tuhan digital...
atau cinta para pembual kebebasan dan despotisme pariwara?
pembodohan kian merajai dunia-hidup...
transendensi telah mati dibalik absolutisme imanensi...
pagan adalah jalan akhir...
tanpa sandaran logos, yang tersisa hanya kekosongan...
maka hidup adalah onggokan nafas tanpa negativitas...
kematian adalah hidup itu sendiri, tak ada sesuatu apapun diluar 'kematian'!!!
Adieu...
Komentar
Posting Komentar