Langsung ke konten utama

Post-kolonialisme: Sebuah afirmasi atas yang-Lain

Keterlemparan manusia dalam dunia eksistensial menyisakan beragam rentetan alur sejarah yang berliku. Tak pelak "keterlemparan" itu menjadikan manusia sadar akan kondisinya yang penuh dengan kekurangan (lack). Manusia hadir dimuka bumi ini secara esensial "berwajah" kosong, seperti kertas putih yang masih bersih, ia hanya mempunyai potensi untuk mengidentifikasi diri dan dunianya. Ia dibekali fikiran yang dengannya berguna untuk mencari aksioma dan premis-premis yang dikonstruksinya menjadi logika. Ia punya alat pengindraan untuk mengenali dan merasai dunia material sebagai wujud dari "realitas".

Dalam kehidupan yang penuh dengan ambiguitas dan absurditas ini, manusia dengan persepsinya mendefinisikan dirinya dan melekatkan tanda-tanda sebagai identitas. Tujuannya tidak lain adalah agar mudah dikenali, dimengerti, yaitu sebagai identifikasi keberadaanya (mode of being) dan cara berpengetahuan (mode of knowing).  Eksistensinya dalam dunia menjadikannya mengetahui entah itu antar sesamanya maupun dengan realitas. Manusia pun secara alamiah akan membentuk pranata-pranata, sistem, yang akhirnya mengatur kelangsungan hidupnya. Dari proses itulah terbentuk institusi ekonomi, politik, budaya, hukum, dsb. sebagai tata kelola kehidupan bersama.

Dalam perspektif Cartesian eksistensi manusia diukur sejauh mana ia berfikir. Adagiumnya yang termahsyur "Cogito Ergo Sum" telah membawa pandangan dunia (world view) yang lebih mutakhir dari masa sebelumnya. Karena dimasa sebelumnya para filsuf lebih sibuk memikirkan sesuatu yang bersifat teologis dan kosmologis. Bisa dikatakan Descartes-lah yang mengawali akar eksistensi kepada manusianya sendiri (antroposentris). Namun, kecenderungan subyek yang diotonomikan itu justru membawa pikiran manusia terdikotomis dan mengidentifikasi yang lain (the others) sebagai objek-objek yang harus dikendalikan secara mekanistik. Tak pelak pandangan dunia semacam ini membawa konsekuensi tentang ukuran kebenaran. Kebenaran menjadi sebuah kebenaran ketika ia sesuai dengan subyektivitas dan kehendaknya secara an sich. Tak mengherankan jika cita-cita emansipasi manusia barat justru terjebak dalam totalitarianisme dalam berfikir yang implikasi aksiologisnya menghasilkan dehumanisasi. Pola fikir imperialistik pun tak dapat dihindari secara diametral. Penghisapan manusia atas manusia lain, eksploitasi alam, dan berbagai tindak kekerasan epistemik adalah contoh nyata dari mode eksistensi macam itu.

Hubungan manusia sebagai diri (self) dengan yang lain (the other) memanglah problematis, selain menempatkan diri sebagai superioritas namun juga membawa hubungan yang antagonistik. Hubungan yang saling antagonistik ini mengandaikan adanya hirarki oposisi biner; penguasa/yang dikuasai, borjuis/proletar, barat/timur, diri/liyan, dsb. Dalam ranah ekonomi, oposisi biner itu di bentuk dalam sistem ekonomi kapitalisme yang mengandaikan adanya laissez-faire yang didalamnya mekanisme pasar adalah penentu segala aktivitas ekonomis, tak mengherankan jika kemudian hukum rimbalah yang menjadi norma. Siapa kuat dialah pemegang tahta, siapa memiliki modal dan alat produksi dialah penguasa, sementara yang lain (proletar) dilucuti otonominya secara material dan dimiskinkan secara struktural.

Relasi kuasa tak setara itu dipandang secara Nietzschean adalah hasil dari "kehendak untuk berkuasa." Hasratlah yang menjadi titik sentral pencipta tirani kekuasaan yang kemudian mengondisikan manusia lain untuk tunduk dalam aturan-aturan yang kemudian menjadi konvensi. Althusser mempertegas relasi kuasa yang tak setara itu dalam bayang-bayang dominasi ideologi. Ideologi yang dalam definisinya merupakan representasi hubungan imajiner dari individu-individu pada kondisi eksistensialnya yang nyata. Menurutnya, ideologi merupakan bentukan kekuasaan yang mengondisikan subyek untuk mengikuti irama dan ritme yang dikonstruksi melalui aparatus-aparatus kekuasaan.  Secara politis, hubungan yang saling antagonis ini terurai dalam relasi diskursif melalui bahasa. Sebagaimana Foucault, Bahasa sebagai sistem tanda bukanlah sesuatu yang bebas-nilai dan netral. Foucault melihat bahwa wacana mengenai pengetahuan (episteme) merupakan bentukan kekuasaan. Kekuasaan itu menetukan dan menstrukturkan kenyataan kemudian membentuk pandangan dunia yang baku melalui mekanisme aturan dalam rangka mengontrol pengetahuan dan entitas yang ada dalam kenyataan. Pengetahuan juga mempengaruhi bentuk-bentuk dalam pemakaian bahasa. Bahasa sebagai system tanda bukanlah medium yang transparan, bahasa adalah alat yang dipakai untuk mengatur dan menyusun kenyataan sesuai dengan otoritas kekuasaan yang ada. Lalu bagaimana jika praktik diskursif itu mengonstruksi sistem budaya? Dalam perspektif Marxis ortodox budaya memang dipandang sekedar bentukan historis dari determinasi ekonomi. Sehingga ekonomi menjadi penentu terbentuknya praktik dan formasi kebudayaan (superstruktur) pada umumnya. Namun, para penerus Marx macam Gramsci maupun Althusser merevisinya dengan otonomi relatif dari superstruktur yang disebut dengan over-determinasi. Sehingga aktivitas superstruktur pada momen tertentu justru menjadi penentu perubahan struktur.

Dalam dimensi kebudayaan inilah identitas sering "dipermainan" serta dikonstruksi dalam tatanan yang represif. Budaya memang bukan sesuatu yang terberi (given), namun hasil konstruksi historis masyarakat. Dalam praktiknya pun kebudayaan tak akan bisa lepas dari bahasa sebagai ruang mediasi yang terkadang keduanya tumpang tindih dalam menciptakan identitas masyarakat. Tampaknya kepentingan politis dan teologis agama pun tak bisa diabaikan begitu saja dalam praktik diskursif pembentukan wacana dan identitas, bahkan kebudayaan terkadang hanyalah bentukan kekuasaan yang tujuannya untuk menghegemoni rakyat biasa agar mematuhi hukum-hukum adat dan tafsiran sepihak kekuasaan tentang identitas budayanya. Belum lagi jika kebudayaan itu bergumul dengan kebudayaan lain, terkadang justru  menutup diri dengan berdalih menjaga orisinalitasnya. Inilah yang kemudian menjadi fundamentalisme budaya. Memang tidak dapat dipungkiri pula terkadang relasi antar budaya itu tercipta melalui hubungan yang tidak sengaja. Sehingga kebudayaan sebagai identitas partikular bukanlah esensi yang layak untuk dipertahankan. Namun budaya hanyalah, meminjam istilah Bhabha, 'ruang antara' yang menciptakan hibriditas budaya yang terus berproses menuju "idealitas" kebudayaan. Memang imperialisme dan kolonialisme yang melucuti otonomi struktur budaya tertentu menjadi diskursus lain yang harus dilucuti klaim universalitasnya.

Setidaknya dari sudut pandang "kecurigaan" tersebut sedikit memberikan jalan tentang bagaimana sebenarnya manusia mengidentifikasi diri-nya sendiri yang berhadapan dengan yang-Lain (liyan) dalam relasi kekuasaan. Kekuasaan memang cenderung melegitimasi dirinya sendiri dan meneguhkan kelangsungan kekuasaannya dalam relasi oposisi biner. Relasi ini tentunya bernada politis, dimana terjadi sebuah tafsir monolitik dan homogen untuk sebuah kepentingan kekuasaan. Sehingga, yang terjadi adalah fragmentasi dan marjinalisasi secara kultural maupun politis "objek" yang memang sengaja dikendalikan dari "atas".

Lantas bagaimana seharusnya mengafirmasi "diri" dan "liyan"? pertanyaan ini menjadi penting, karena dari hubungan yang dikotomis itu menyisakan hubungan kemanusiaan yang dehumanistik. Bahkan akar kolonialisme dan imperialisme merupakan hasil dari pandangan dunia dikotomis sebagaimana perspektif filsafat modern yang mentotalitaskan dan mengpropriasi subyek sebagai pusat segala sesuatu.  maka, penafsiran ulang tentang identitas adalah niscaya. Sebagaimana Ernesto Laclau dalam bukunya Hegemony and Socialist Strategy, menurutnya identitas tak pernah sepenuhnya fiks. Alasannya identitas selalu terbentuk oleh relasi hegemony dan relasi ini hanya mampu menegaskan identitas yang sementara. Dalam hal ini identitas sebagai diri (self) setidaknya menempatkan dirinya dalam ruang diskursif yang bebas dari pretensi kuasa, yaitu bagaimana mencari format ideal identitas sebagai proses dilektis dalam 'ruang antara'. Selain itu, yang perlu dipertegas adalah identitas bukanlah sesuatu esensi, identitas hanyalah representasi diri yang sebenarnya teridentifikasi dari sesuatu yang-lain.

Afirmasi terhadap identitas partikular lain sebagai penghuni kosmos adalah sebuah modus kehidupan bersama yang dijunjung tinggi sebagai legitimasi yang melindungi narasi-narasi kecil yang terpingirkan oleh arus deras wacana utama. Sehingga penyetaraan total terhadap oposisi biner yang sudah taken for granted itu menjadi diskursus perlawanan yang terus digulirkan. Inilah kemudian dekonstruksi sebagai modus pembongkaran sistem kekuasaan sehingga membuka ruang terhadap emansipasi nyata, dan tentunya tanpa terjebak pada nihilisme. Oleh karena itu, dekonstruksi perlu diimbangi dengan rekonstruksi. Pandangan dunia dikotomis-imperialistik yang masih terjebak pada subjek/objek, penjajah/terjajah, hitam/putih, dsb. perlu direkonstruksi dalam kesetaraan radikal sehingga diri (self) hanyalah, meminjam term Zizek, cogito kosong yang penuh dengan keretaan dan kekurangan (lack). Dalam kekurangan itulah sebenarnya kita, manusia yang hanya memiliki batasan-batasan dan kerelatifan. Inilah yang membedakan kita dari Tuhan, maka hubungan antar sesama kita, manusia, adalah hubungan saling melengkapi bukan menguasai. Sehingga diskursus post-kolonialisme yang membongkar tirani kuasa dan praktik-praktik represif lainnya adalah sebuah isu yang masih harus dinyalakan selama logika biner masih terpancang dalam relasi kuasa tak setara.

Komentar

Populer