Langsung ke konten utama

Katarsis, untuk sebuah kerinduan wajahnya...

Mencari sesuatu kehilangan dalam diri.
Resapi temaram lampu kota, sinis membising tawa.
Sebuah replika, terbelalak mata saat semua terlupa.
Kalian bukan objek ku!
Aku mencoba menepis curiga ku.
Meleburkan horizon asing itu, sebuah epoche atas epoche...
Bahkan senyumnya memudar bersama keributan ini...
 Siapa itu? Ia sekedar eksis dalam imaji ku...
Replika, seolah mereka membabtis kesepian ku...
Mengulangi lagi, menipu atas tusukan citranya...
Mode! Gaya! Apa? Bisakah kita buang konsep gila itu? Sadarkah! Atas permainan klise yang kian pengap ini... Mencinta bukan untuk cinta, hanya menopengi wajah lugu dengan polesan lispstiknya...
Replika! Aku adalah pendusta! Jangan pernah percaya!
***
Diarah angin aku mengkaji hening.
Dalam kantuk yang membawa keliaran pikiran.
Dalam peluh kepala pasca konfrontasi gagasan.
Lelah aku sandarkan tubuh ringkih.
Merindu pagi menyublim sepi hati.
Ingar-bingar hidup yang penuh elegi.
Entahlah, aku tak pernah tahu siapa cinta.
Ia meringkus hampa, menawarkan manis bujuk rayunya.
Kenapa semua pergi? Apakah mereka memilih yang-lain?
Mencinta tanpa memiliki, tanpa cerita, tanpa ruang rindunya.
Maka, ijinkan aku meluruh rasa bersama buku.
Nikmati keteduhan sunyi hangat ratapan menderu...
**
Waktu semakin bawa diri ku menepi.
Hidup dalam mimpi dan imajinasi.
Sebuah persepsi nan elok, terjerat oleh keliaran entropi.
Realitas terkadang berbicara lain, menjauh angan dan persepsi.
Ia pun terdiam, menyiratkan halus penolakan.
Tak perlu menyandar harap, karena harapan berlebih adalah luka.
Ingin aku menari, memekik atas luapan sepi...
Terus bermain dalam penundaan-pembedaan, menanti yang lain itu hadir.
Mengisi kekosongan hati, menepis sayu terpermanai...
Liris, aku terngiang sabda nabi... "Jangan kau memaki waktu, karena itu adalah Tuhan..."
hidup adalah misteri, terus mencari adalah janji...
Dalam kesunyian letak keluhuran hidup ini...
Aku masih menunggu, mensyukuri nikmat Ilahi...
**
Langit senja menelungkup warna cahaya.
Tempias disudut kaca, memantul pancaran emasnya.
Menyisa wajah-wajah esoteris yang terjumpa.
Menunggu malam, setelah tenggelam dalam kebisingan siang...
 Menyepi lagi, mencari lagi, memaknai lagi, menafsir lagi...
Saat maghrib berkumandang, tanda semantik karya agung-Nya pun menyilau keindahan.
 Aku kembali terpekur olehnya!
Dalam benak ku hujamkan kata: "0..Tuhan kami, tiada sia-sia Kau ciptakan ini semua...."
**
Dikala malam meringkus rasa resah.
Hari ini, kini dan disini, ku bertanya lagi.
Tentang bumi dan langit, tentang aku dan kau.
Dibawah rindang pepohonan nan soliter.
Berkabung lagi atas sebuah aporia.
tentang narasi yang terlupa, tak terjawab oleh fenomena.
Berdiskusi dengan buku, menjerat angan terhina.
Suara masygul itu menghampa tanpa makna.
Dimana sebuah cinta? Yang katanya mendamaikan semua, yang katanya menyuluh hati terluka... Kita memang beda, selalu berbeda...
Seperti barat dengan rasionya, seperti timur dengan spiritualitasnya...
 Mungkin selamanya kita akan menegasi, tapi dititik nadirnya kita bersintesa, temukan pembeda dalam ruang cinta-Nya...
**
Saat malam menceritakan hening...
Saat waktu memisahkan ruang...
Saat ketakmungkinan merindu kemungkinan...
Saat citra memanipulasi realita...
Saat tiada menjadi ada...
Mengetahui untuk tak mengetahui, semoga cinta tak berujung luka... Kembali kesana, menuju semesta kuasa-Nya....
**
Menepis liris suara-suara asing.
Diantara rintik gerimis, aku mendekap rasanya.
Sebuah momen intensional, mencerap fenomena.
Terasa yang lain itu merasup, tenggelam dalam solilokui.
Diantara kelimun manusia, riuh, aku tersipu dalam sepi.
Mengapa semua saling terlupa?
Semua berlomba jadi pengusa... Liar, membising hening jiwa, mereka memekik tertawa...
Kecantikan yang mereka banggakan, ketampanan yang mereka hasratkan.
Bersembunyi menopengi wajah terlelapkan...
Mencari realitas disesaki banalitas simulasi.
Walau hati berbisik perih, lekat senyumnya, tanpa wajah ku, memekatlah....
**
Terlelah bersama hamparan tulisan.
 Buku-buku temani sepi malam ini.
Terlintas jejak petanda rona itu.
Tepikan sejenak, dan kurasa ia menyelami malam ini bersama pujaannya.
Temaram pikiran pun mengimaji tiap makna patahan sejarah terlalu.
Dan radio yang memekik doxa atas kegalauan, atas jutaan lagu cinta yang membunuh daya.
Lagu yang bagi ku memuakkan, menghamba tirani pasar.
Nafas yang terhela, segera keluar mencari matra.
Terkadang kepasifan adalah jalan. Menunggu sesaat, beristirahat disela.
 Spasi, biar merindu langkah membijak. Karena aku fana, walau engkau menutup rasa.
Aku menunggunya, untuk sebuah persemaian eudaimonia. Menahan hasrat kuasa, untuk sebuah Arete...
**
sedjak kapan semua ini berawal? liris, ia mulai ragu... aku pun tak mengerti, kapan 'waktu' membawa ego ku luruh ke balairung itu... sebuah awal yang mungkin adalah akhir, sebuah akhir yang mungkin sekaligus awal, ya, sebuah aporia! ia selalu merepetisi maknanya saat sang pagi beri sejumput kedamaian, saat sang pagi mengawali senyum untuk men-jadi...
**
Terlelah bersama hening. Berkali-kali menyalak desiran air.
Ditengah kepenatan kepalaku, Ia selalu hadir.
Seperti siang tadi, Kini dan disini, pesan itu meretas risau..
Sebuah dialog aporetik, menyembul sepercik horizon mimpi. Mimpi yang mengalun dalam lelap tidurnya.
Jauh, aku mengerti. Ku susun kembali tegangan impuls dalam diri.
Aku, menunduk lepas dihadap Sang Causa Prima.
Menegur lirih resapan janji, bukan untuk sekedar miliki, lebih darinya ku dapati maknanya, ku dapati cintanya, ku dapati rindunya...
Dan malam pun akan menunjuk pagi kembali. Disaat itulah kita terjaga, merangakai cerita bersama partitur nada, sebuah nada yang membawa kita ke titian indahnya senyum tepermanai.....
**
Ketika malam yang lalu menghubris kidung kehampaan.
Seketika pesan singkat itu menghujam.
 Untuk yg ke "tiga"! Aksentuasi itu menyeruak ke alam bawah sadar.
Bagai sebilah belati kalam profan.
Terpekur aku oleh tajamnya penanda arbitrernya.
Engkau yang mulai membuka diri.
Tepikan tiap letupan amarah, leburkan keheningan cintanya.
Sekali lagi aku sesali, tapi inilah hikmah, inilah jalan lain menuju ke balairung kosongnya.
Mungkin sekedar intuisi ku saja, mungkin didalamnya telah terpatri pujaannya.
Biarlah itu jadi rahasia kosmis, aku sekedar menunggu tersingkapnya.
 Di titik ini, aku berjalan lagi.
Menepi lagi, Ku bangun kembali aksioma ihwal pendasaran diri.
Mungkin ini sudah menjadi horizon eksistensi kita.
Walau terlalu lama, aku akan tegak menunggunya.
Akan ku hadapi tegangan internal diri ku, akan ku hadapi jejak petanda rona mu.
Semoga kita bersua, saat kita terlupa, saat amarah menyublim terganti kata.
Sebuah kata, sebuah teks, sebuah pesan ketakhadiran cintanya.....
**
Malam semakin menghitam.
Temaram cahaya bulan menemukan eksegesis.
Resapi titik nadir penyesalan.
Terus aku bergeming, membunuh pintalan teks.
Salah apa orang mencinta?
Hanya karena disudutkan rasa hampa.
Aku bukanlah diri ku, tanpa kehadiran wajah mu.
Setiap matra penghasut angan terhinakan.
Semilir angin menerpa dahan kekeringan.
Seperti kerapuhan sepi tubuh lusuh ini.
Biarkan ia membatu, tepikan warna ku.
Ribuan slogan dan satu puisi, bawa imaji ku menuju singgasana itu.
Biarlah memekat, biarlah ia berlalu.
Pastikan ia tersenyum, bersama wajah yang-lain.....
**
setiap kali aku berlari pergi. entah mengapa, petanda itu selalu mengejarku.
menerobos ruang sunyi hati ku. ingin aku keluar, membebaskan diri darinya.
tapi, tiap kali aku melarikan diri, bayang itu semakin mendekat.
Ahh!!! semua ini mungkin percuma... hanya ilusi saja...
kembali aku mengasingkan diri. diantara pembedaan-penundaan, bersama matra kesuciannya.
residu atas emosi yang menjulur dijendela hatinya.
lupakan... lupakan saja... aku hanya benalu, aku hanya seberkas noda, buanglah bersama angin malam...
mungkin sisa energi ini akan menyelamatkan diri ku...
ingin ku bunuh tirani hasrat ku... menegasi tegangan internal dalam diri ku... mungkin inilah negativitas absolut yang tak akan berhenti mendedah kutub positif... tak ada jejak paripurna, cintanya pun semakin kurasa telah termediasi seseorang terbaik...
setidaknya aku berturut senyum, ketika pilihan terbaik kau sematkan. tapi bukan aku, aku hanya orang kalah, dan sepilah rumah abadiku...
**
menengadah kebawah, diantara rimba kata-katanya.
ia menyeringai pelan,memediasi rajutan tekstual.
aku hanya tertegun, melampaui ingatan lalu.
senja pun mulai menepi, dan pikiran ku mengacau oleh tikaman rasanya.
mungkin ini adalah akhir, jalan setapak yang menyisa pun sudah membuntu.
semua inspirasi darinya, memekat indah, mengumpat luka.
semua tiang pancang cinta itu semakin terlebur, menghablur, lamat hilang,terdekonstruksi wajahku sendiri...
hanya ayat-ayat itu mampu redakan ego-ku...
aku harus berlari mengejar mentari, untuknya cerita ini kubawa...
semoga kita jumpa dipelataran cahaya pagi...
disaat kita terlupa, disaat tak ada cinta, disaat hasrat berkuasa...
**
Menghitam malam menjajah intuisi.
Dia melepas, pergi bersama sepi.
Cakrawala itu kian jauh tinggalkan mimpi.
masih saja peleburan horizon itu tertunda.
Menjamah nalar kuasa, menyelubung moralitas nelangsa.
Dimana kalian para pemuja kebenaran hakiki?
Aku kalut bersama wacana basi kemarin pagi.
Tentang eksotopi. Tentang kematian agensi.
Kau? Bukalah sekat-sekat hati itu.
Aku masih disini, menunggu perjamuan akhir narasi.
Saat kalam menjanjikan keindahan profan.
Biarlah lepas jika memang tak pantas... Adieu....
**
Tetcenung lepas cahaya bulan.
Merapal ribuan kata, sepi makna.
Masih aku terpikat desakan hangat senyumnya. Ditepian ruang meretas hamparan hampa.
Menjamah kolase imajerial realita.
Mungkin hati ini masih ragu, pada bayang tatapan angkuhnya.
Saat mata menelanjang cahaya bulan.
Wajahnya masih menghadang didepan pendapa.
Demi rengkuhan sinis para pemuja citra.
Yang hilang dan pergi dijejali komoditi.
Ingin aku menghilang bersama angin malam.
Berdiskusi dengan tumpukan buku-buku.
Membawa serta pesan tanpa makna.
Untuk dia, untuk sebuah kelupaan cahaya.
Meredup saat terpekur dalam mimpinya.
Semoga bersua saat kita terlupa........
**
Fajar pagi kian mendekat.
Dipelataran pekat hening nan sublim.
Dia yang lelah terlelap bersama mimpinya.
Tak mengerti, entah sampai kapan aku menunggu. Menangguhkan rasa, lama mengendap.
Disaat mentari tiba nanti, biarkan sinarnya menyuluh sepi.
Bersama dentuman fana pendulum waktu.
Aku akan kembali. Berdiri disini.
Sebuah involusi tekstual atas narasi agung.
Mereka para pemuja totalitas, menyeragamkan hidup.
Tetap berdiri. Sebuah realitas tabula rasa yg tak bisa membohongi.
Dunia yg plural, penuh warna, sebuah niscaya. Aku tetap menunggu, hanya untuk mu.
Hingga kau mengerti, makna yg belum jua tersingkap.
Hanya untuk mu, dan lembaran kisah ini terus men-jadi.
Menuju halaman akhir buku ini.
Sebuah epilog akhir sepi.......
**
Lihatlah ia telah datang, siang hari yg agung telah tiba.
Menyeka hangat tiap hela nafas kehidupan.
Tapi entahlah, indahnya tak bisa ku terka.
Ada sesuatu yang tiba-tiba lenyap.
Menghilang sekejap dari wajah ku.
Membekas jejak dalam senyum-nya...
**
Sayup mentari menelungkup di horizon barat...
Perlahan meninggalkan jiwa-jiwa sepi...
Sepi yang riuh dalam keramaian...
Senjakala menyambut mesra sang petang...
Kenapa manusia harus mencinta jika akhirnya terluka?
Tak berujung sampai disini...
Menyambut sebuah kehadiran dalam absensi...
jerat eksotopi mendedah makna sunyi hati...
Jika kita masih berdiri, dan menanti... Sisakanlah ruang itu... Maka kedamaian akan bersemayam bersama lukanya... Menyebar bersama rahasianya... Menyendiri bersama kuasanya...
**
Terpekur oleh senyapnya pendulum waktu.
Saat bulan menyabit hamparan malam.
Sebuah pengasingan diri dari kata-kata.
membisu, runtuhkan pekat senyumnya.
Walau kalian terus membatu, terus mencibir ku.
Tak peduli aku, teruskan langkah ku.
Sepertinya ia akan terus menertawai ku, mencibir ku, menikam ku.
Semakin tak peduli. Jalani hari berlari.
Cukup redakan luka ku ketika pesan itu kau baca.
Tak mengapa, biarkan terlupa. biarkan hilang saja. Tak perlu kau anggap serius, sekedar angin lalu saja. Dan maafkan jika terlalu lancang.
Terima kasih Tuhan, engkau masih berikan aku keteduhan. Sepi yang aku rasa indah. Sepi yang masih menginspirasi ku.............
**
Tersiak dalam halaman demi halaman. Rajutan teks menghajar pikiran. Semua orang pun mencibir sinis. lantunkan hujaman nada satire. Keributan wajah-wajah itu menghakimi pelan. Menenggelamkan tubuh ku dalam sunyi. Hanya eksotopi, tepikan ilusi kecantikan logosentris. Lupa secara aktif, diam dalam pasif. Hanya sayu, menerobos lubang hitam kemelut. Sebuah buku, ya! Hanya kau yang mampu bawa ku menuju utopia itu [...]
**
"sepertinya pesan itu harus ditangguhkan, tak cukup bermakna, hanya jadi objek tawa... entahlah, terlalu buruk atau bodohnya aku saja. aku ingin diam sejenak, menikmati kepasifan, dalam spasi, dalam ruang kosong. biar hati-nya tertawa. atau hati-nya bersama yang lain, yang lebih bermakna, atau 'keren' dalam kosa katanya. berdiam saja. nikmati indahnya hening, sepi adalah takdir-ku... sepi adalah rumah-ku"
**
Sungguh kepala ini serasa ditusuk ribuan paku... tenggelam dalam dunia yang lain.. Sebuah ilusi, momen schizofrenia, bercabang tanpa titik pijak yg jelas... Ingin ku bersembunyi, ingin ku lawan, suara-suara itu... Menghujam pelan, seperti masa lalu yg hilang... Diatas papan catur tanpa dasar... sebuah kepastian yg selalu tertangguhkan... Dipermainkan jejak-jejak yang lenyap... Apofatik, sebuah kekosongan... Tak ada apapun disana... Kosong, hampa, hanya ilusi akan hasrat kepastian kebenaran... Menyebar, mendiseminasi disetiap rajutan logika, (inter)teks... Menyisa pluralitas, kemajemukan, warna-warni... semua, retak, hilang arah, tenggelam dalam permainan interpretasi...
**
Seni itu soliter, seperti ego yang selalu tenggelam dalam sunyi... Perlahan alur estetis itu menjelma bersama wajah-nya, sebuah wajah yang meruntuhkan sang aku... bersintesis dalam momen dialektis, bersenyawa cinta, cinta yang melawan kepura-puraan, hasrat-munuju-kuasa... Men-spacing kepasifan murni yang azali... bersama kecupan mentari pagi, cahayanya menyeka hangat... Meruntuhkan oposisi pasangan, menjelma keselarasan...
**
Apa yang terjadi saat buliran cahaya mentari kembali menyinari?
Terus berganti, berbagai persepsi mengenai patahan sejarah..
Menyeka hangat tubuh dibalut sepi...
Untuk sebuah makna transendensi, menaja kembali jaring laba-laba titah suci..
Untuk moralitas profetis, mewartakan ihwal keadilan...
Aku menunduk dihadap keterbatasan...
bersenyawa cinta, berpagar cahaya, bersemayam keteduhan jiwa...
Angin semilir hembuskan pesan atas makna kesendirian...
Sebuah kehadiran bersama petanda ketakhadiran... sunyi semakin terisi lantunan keriuhan aktivitas... Tunjukkan keikhlasan, penuhi asasi kehidupan...
Dalam tapal batas kerinduan, mendekap asa tunjukkan semangat perlawanan..
Dan pagi kan mendedah jalan kebuntuan...
Tak hanya terhenti disini...
Biarkan waktu menggerus arus deras sungai sejarah... Biar terlelah, biar terkesah, biar terhina, biar tertawa....
**
Menatap wajah yang lain... Saat waktu mempertemukan kita...Tak berlangsung lama, hanya pekat ironi luka ku dapat... Dihadap keberbatasan diri, terus bersembunyi dibalik diseminasi teks... Mungkin ini adalah akhir kehadiran... Momen panjang yang masih terkekang... Berkabung atas obituari kesepian, ditengah riuhnya wacana pencitraan... Bernyanyi bersama hamparan bintang... Mencandra senyumnya yang menyeringai pelan... Aku akan kembali bersama keangkuhan malam.. Menunggu ketersingkapan jaring ketakmungkinan... Selamat jalan, ini bukan untuk ditangisi! Hanya kastrasi-diri atas luka yang membuncah dalam epilog tanpa jejak narasi...
**
Terkapar bersama buku-buku...
Berdiskusi dengan hamparan grammatologi...
Mencari celah mediasi, dalam bayang imajiner wajahnya...
Menjajaki sumbu tanpa penanda, hanya sekat kosong membekas dihadap kematian makna...
Saat hening menjejal alur persepsi, menunggu dekapan senyumnya yang tertelan tirani hasrat...
Angin malam seolah memaksa tuk membuka mata...
Saat malam menemukan janjinya...
Saat gelap mendedahkan rahasianya...
Saat cahaya bulan melantunkan ribuan tanya...
Maka ijinkan aku untuk terus menyalakan lilin perlawanan ini...
Walau temaram, akan ku jaga untuk-nya diseberang sana...
**
Semakin tak bisa ku kenali... Jauh bahkan sebuah petanda itu semakin kabur... Tak ada jalan untuk mendekonstruksi gerak mediasinya... Kode dan signifikasi pun lamat menghablur, tanpa sandaran... Entahlah apakah mungkin dia hanya sekadar bayang imajiner... Sebuah makna pun menjejal tanpa pernah tersingkap... Ketika senja menjamah, tubuh sepi ku terasa absurb tanpa terasuk jejaknya... Hilang... Lepas... Adieu... Hanya gram-gram kecil menyisa kata, untuknya, anything goes! Tanpa keteduhan itu, tanpa kemurungan itu, tanpa luka itu.. Untuk apa aku harus melata?
**
Pagi yang berwajah murung...
sang mentari mendekap sepi disumbui awan mendung...
 Tak merisau tinggalkan kota beranjak jemput cakrawala...
Meski mendendam gelisah, oleh terkaman pertanyaan yang tak terjawab...
Cahaya mentari kian tak ku jamah...
Sebuah titik pusat yang mengeram tanpa tersingkap...
Seharusnya hangat cintanya menyentuh bumi ku...
Bukan disana, entah sampai kapan aku menunggunya...
Aku masih terus saja berdiskusi dengan sepi... Siapa aku sebenarnya?
Kenapa aku terjebak bersama jeratan hampa?
Mungkin hanya exergue tanpa pernah terisi makna...
Bukan cinta, bukan budaya, bukan pula retorika politik...
Sebuah kehidupan yang riuh oleh topeng citra...
Tanpa cermin untuk berkaca tentang siapa sebenarnya kita...
Kebenaran pun selalu dipermainkan dengan balutan nama Tuhan...
Tanpa pernah berkata tentang luputnya pemaknaan...
Semua dimutlakkan diruang imanensi...
Aku semakin tak paham, ku cari-cari ihwal kebenaran, hanya keterasingan dan kebingungan ku dapati...
 Apakah kita masih saja bangga dengan darah yang tercecer?
Untuk pembenaran keyakinan kita sendiri?
Mungkin kebodohan kita ini adalah kita adanya, manusia...
Dan mereka akan bersama kita, saat tatanan kosmik terpeleset keluar sumbunya...

Komentar

Populer