Langsung ke konten utama

Perkembangan Sosiologi[1]


Oleh: Hendra Setiawan

Avant Propos

Sebagai makhluk individu, manusia selalu sudah menyadari bahwa dirinya tidak dalam kesendirian. Manusia selalu dikerumuni objek-objek yang lain darinya entah itu sesamanya, benda-benda, atau pun alam semesta. Tak pelak secara langsung atau pun tak langsung manusia dalam kehidupannya suka atau tidak akan bergumul dengan orang lain. Sedikit sekali darinya yang bersifat soliter dan jarang ia bisa benar-benar hanya sendirian. Ihwal inilah yang menyematkan identitas manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, tentunya ia akan berinteraksi dengan orang lain. Bahkan secara alamiah manusia akan membentuk sistem, pranata, serta dunia hidup bersama. Dunia hidup bersama inilah yang membawa manusia pada tindakan sosial secara diskursif. Keunikan hidup manusia tersebut kemudian banyak dikaji para 'pencari kebenaran' dan ilmuwan. Ibnu Khaldun merupakan sosok ilmuwan muslim yang mendasari kajian praktik-praktik tindakan sosial yang mana terangkum dalam karyanya Mukadimah. Namun, minat untuk mengkaji secara sistematis dan ilmiah baru dimulai pada abad ke-19 di daratan Eropa, yang kemudian dilekatkan nama sosiologi untuk kajian ini.

Secara umum sosiologi membahas tahap-tahap perkembangan masyarakat serta pranata-pranata yang terbentuk dalam rentang sejarah. Namun, sebenarnya terjadi perdebatan tentang definisi sosiologi itu sendiri, para ilmuwan cenderung memiliki paradigmanya masing-masing, sehingga tak ada kesepatan umum tentangnya. Sebagaimana dikatakan oleh John Scott:

"Sociology is a diverse and pluralistic discipline. There are a variety of socially located standpoints, each with its own truths and an equal right to be heard in sociological debates. For this reason, no single and coherent body of ideas acceptable to all practitioners can be set down. Many commentators have drawn the conclusion that sociological concepts are, therefore, ‘essentially contested’: that there can be no agreed and binding definition of any of the principal concepts used by sociologists in their research." [2]
Walau begitu, setidaknya kita bisa menyederhanakan dan memberi batasan yang pasti terhadap ranah kajian maupun dasar epistemologisnya. Maka dari itu, makalah ini berkepentingan untuk mencoba menggali proses perkembangan sosiologi terutama perkembangannya di dunia barat. Hal ini dikarenakan ilmu sosiologi itu sendiri lebih berkembang secara sistematis di dunia barat, memang dikalangan intelektual muslim telah membentangkan dasar kajian tersebut namun bisa dikatakan belum menggunakan sebuah kerangka metodologis yang rigor, keras, dan empirik, pendeknya dengan cara yang dianggap ilmiah.

Istilah sosiologi digagas oleh Auguste Comte pertama kali muncul pada tahun 1839 pada keterangan sebuah paragraf dalam pelajaran ke-47 bukunya Course de philoshope positive. Sebenarnya Comte pertama kali mengistilahkan ilmu ini dengan nama "fisika sosial". Istilah sosiologi kemudian di temukannya untuk mengganti fisika sosial dikarenakan istilah fisika sosial sudah dipakai oleh A. Quetelet seorang astronom dan matematikawan. Kemudian Comte membuat neologisme dari akar kata bahasa latin socius (masyarakat) dan kata dari bahasa Yunani logos (ilmu).[3]

Sosiologi sendiri awalnya bukanlah ilmu yang independen, keberangkatannya tentu dari berbagai pemikiran filosofis di era pertengahan. Baru ketika abad modern dan berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih sistematis dan menggunakan perangat metodologis yang empiris mendominasi pemikir eropa, ilmu ini kemudian memisahkan diri dari filsafat yang ditandai dengan terbitnya tulisan Auguste Comte. Tulisan yang berjudul Course de philoshope positive merupakan awal lahirnya sosilogi sebagai ilmu pengetahuan. Tulisan yang terbit pada tahun 1826 ini mengukuhkan Comte sebagai bapak sosiologi. Lahirnya tulisan Comte pada dasarnya adalah sebuah bentuk keprihatinan terhadap kondisi masyarakat Eropa pada saat itu. Pokok perhatian sosiologi di Eropa adalah pada kesejahteraan masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.

Dalam hal ini kita akan melihat proses sosio-historis latar belakang perkembangan ilmu sosiologi itu sendiri, terutama perkembangannya di dunia barat. Sosiologi sendiri berasal dari kekacau-balauan sosial berupa revolusi dibidang teknologi, ekspansi kapitalisme, urbanisasi, berkembangnya nasionalitas dan demokrasi, perubahan nilai-nilai dan kepercayaan.[4] Selain itu sosiologi sebagai ilmu, merupakan anak kandung modernitas. Sosiologi lahir karena keinginan untuk memahami kehidupan sosial dan bagaimana orang bertindak didalamnya. Ilmu ini berkembang atas kondisi berlangsungnya evolusi sosial, politik, dan budaya. Ilmu ini lahir dari titik pertemuan antara tiga buah revolusi: pertama revolusi politik (Revolusi Perancis), kedua revolusi ekonomi (revolusi industri), ketiga revolusi intelektual (kemenangan rasionalime, pengetahuan dan positivisme).[5]

Dalam pembahasan selanjutnya kita akan memasuki tahapan historis kemunculan sosiologi itu sendiri sebagai ilmu. Secara runtut akan dibahas dengan rute perjalanan berupa: 1. Revolusi politik 2. Revolusi industri dan kapitalisme 3. Sosialisme 4. Urbanisasi 5. Feminisme 6. Agama 7. Perkembangan ilmu pengetahuan.

Revolusi Politik

Mendengar kata revolusi politik tentunya perhatian kita akan tertuju ke Perancis. Yang mana terjadi sebuah trajektori sejarah dalam kontestasi kekuasaan politik menuju liberalisme dan demokrasi setelah runtuhnya rezim aristokrasi. Hal inilah yang kemudian mengilhami revolusi politik yang menjalar di daratan Eropa. Revolusi perancis sendiri terjadi pada tahun 1789. Dengan terjadinya revolusi tersebut, tentunya terjadi perubahan radikal dalam sistem sosial, maupun politiknya. Sehingga praktik sosial yang berkembang pun semakin mengalami perubahan. Dengan perubahan struktur masyarakat itu, yang juga terjadi patologi sosial yang begitu akut, akhirnya mengilhami para pemikir sosial untuk merubah tatanan sosial dengan serangkaian proposisi dan teori untuk mengonstruksi tatanan sosial itu kearah kemajuan. Beberapa pemikir bahkan secara ekstrim ingin mengembalikan kondisi seperti pada abad-abad pertengahan. Namun beberapa pemikir lainnya mencoba mencari celah untuk mencari “tatanan masyarakat masa depan” yang lebih ideal. Dalam konsteks pemikiran, tentunya tak dapat dilepaskan dari terjadinya pencerahan.[6]

Sebelum revolusi Perancis berguncang, makna revolusi makna revolusi cenderung digunakan dalam siklus astronomi, baru ketika revolusi perancis terjadi makna ini kemudian mengacu pada perubahan mendadak dan fundamental kondisi politik maupun sosial yang terjadi dalam masyarakat.[7]  Perubahan-perubahan yang 'berlari cepat' itu pun membawa struktur masyarakat yang jelas sangat berbeda. Sebelum revolusi politik, organisasi sosial masyarakat saat itu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal, baik yang bersifat transendental maupun alamiah.

Revolusi Industri dan Kapitalisme

Setelah perubahan radikal dalam sistem sosial yang diciptakan oleh revolusi politik di perancis pada abad ke 19 memecahlah revolusi industri di Inggris. Berawal dari ditemukannya mesin uap oleh james Watt. Dari situlah muncul sistem dan pola produksi terbaru yang lebih maju dan mutakhir. Revolusi industri ditandai dengan berubahnya corak produksi negara-negara Eropa yang semula bertumpu pada sektor pertanian berubah pada sektor industri. Kemunculannya ditengarai sebagai akibat dari lahirnya berbagai penemuan baru di bidang teknologi.

Dengan perubahan pola produksi barang-barang dalam industrialisasi. Sistem ekonomi yang awalnya bercorak feodal yang berbasis pada pertanahan kemudian berubah dalam mekanisme industri, yang mana mekanisme ini jelas membutuhkan tenaga buruh untuk mengoperasikan alat-alat produksi dalam pabrik. Terjadilah kapitalisme perdagangan,mekanisasi proses dalam pabrik, terciptanya unit-unit produksi yang luas, terbentuknya kelas buruh,dan terjadinya urbanisasi, merupakan manifestasi dari hiruk pikuknya perekonomian.[8]

Kapitalisme pun menancapkan embrionya. Kelahirannya ditandai dengan penguasaan aset produksi oleh sebagian kecil masyarakat, sedangkan sebagian besar masyarakat hanya dijadikan alat produksi sebagai buruh dengan tingkat keuntungan yang kecil. Kondisi ini memunculkan gerakan buruh yang menuntut kesejahteraan bahkan secara radikal seringkali berubah menjadi “pemberontakan buruh”. Pergolakan ini yang kemudian memunculkan gagasan komunisme-sosialisme yang diprakarsai oleh Karl Marx.

Sosialisme

Kemunculan gagasan sosialisme bisa dikatakan sebagai akibat berantai dari kelahiran kapitalisme industri. Kapitalisme yang mengakibatkan jurang dikotomi kelas dan terpusatnya modal dalam satu titik membuat sistem ini dianggap tidak membawa emansipasi yang terjadi justru alienasi dan dehumanisasi. Salah satu pengkritik kapitalisme yang tersohor adalah Karl Marx. Karya-karyanya secara tegas melawan dan mengambil posisi yang berseberangan dengan ide kapitalisme. Karyanya yang cukup radikal menyuarakan perlawanan terhadap patologi kapitalisme yakni Das Kapital,dan 1844 Manuscript, yang menggambarkan dunia ini sebagai dunia yang terasingkan.[9]

Ide tentang sosialisme sendiri sebenarnya diproyeksikan untuk merubah secara total sistem kapitalisme. Sebagaimana Marx, yang menempatkan kapitalisme salam perspektif sejarah sebagai salah satu dari sederet formasi sosio ekonomi. Yang mana dalam pemahamannya kapitalisme sebagai sistem ekonomi dicirikan dengan pola produksi dan pertukaran komoditi. Marx sendiri memperkirakan bahwa seiring dengan kontradiksi internal kapitalisme dengan tahapan tertentu sistem ini akan runtuh oleh kesadaran kelas yang teralienasi oleh ritme yang diciptakannya. Menurut Marx, revolusi proletar akan tercapai ketika eksploitasi terhadap buruh terus terjadi. Eksploitasi dan terpusatnya modal dalam satu titik itulah yang mensponsori kematian kapitalisme dan menstimuli kesadaran semu menjadi kesadaran kelas.[10]

Urbanisasi

Istilah urbanisasi sering dipahami dari semacam transformasi dan perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan. Sebenarnya terjadinya urbanisasi sendiri tak dapat dilepasan dengan proses industrialisasi dan kapitalisme. Seiring kemajuan produksi dan mekanisme pasar yang semakin menuntut persaingan sengit, para penduduk pedesaan yang umumnya adalah peternak dan petani akhirnya mau tak mau harus mengikuti pola yang disuguhkan sistem yang baru itu. Para petani beralih profesi menjadi buruh upahan dikota-kota. Yang dampak sistemik atas perpindahan besar-besaran itu pun membawa patologi sosial karena kesenjangan ekonomi yang berakibat pada kekerasan, penyimpangan, dan tindak kriminalitas.

Laju perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi sangat mengkhawatirkan demikian pula perubahan desa menjadi kota seiring perubahan sistem produksi. Migrasi desa kota membawa dampak pada penyesuaian pola perilaku masyarakat urban. Serangkaian permasalahan juga timbul ketika desa terkena dampak industrialisasi. Topik ini kemudia semakin berkembang ketika Amerika mulai terkena dampak revolusi industri. Chicago, sebuah kota di Amreika menjadi salah satu “laboratorium” yang mampu memberikan pencerahan bagi para pemikir untuk mengembangkan teori-teori sosiologi dan melahirkan mahdzab Chicago.[11]

Feminisme

Feminisme lahir di eropa sebagai akibat adanya ketidakadilan dan kesenjangan hak yang didapatkan oleh kaum perempuan dalam ruang publik. Feminisme merupakan gerakan perempuan yang menuntut adanya persamaan hak dan keluar dari subordinasi yang dihasilkan oleh sistem sosial masyarakat Eropa. Gerakan buruh, persamaan hak perempuan, penghapusan perbudakan, kedudukan perempuan dalam hukum dan berbagai isu gender lainnya menjadi salah satu bahan debat yang menjadi perhatian utama para aktivis feminisme pada waktu itu. Kondisi ini tentunya diilhami oleh dominasi dan praktik represif yang dikonstruksi oleh pranata sosial berupa ekonomi,politik,maupun budaya.

Gerakan ini berkulminasi pada rentang 1960-an. Yang kemudian mengilhami perteorian sosialdalamrangka membedah,menjelaskan pengalaman spesifik kaum perepuan. Selain itu, arah yang fokuskan adalah mencapai taraf emansipasi dan persamaan hak yang selama rentang sejarah direpresi oleh dominasi kekuasaan. Tujuan feminisme adalah menunjukkan bagaimana penilaian tentang suatu kondisi sosial dimana perempuan menempuh kehidupan mereka membuka kesempatan untuk merekonstruksi dunia mereka dan menawarkan prospek kebebasan di masa depan.[12]

Agama

Seiring dinamika perubahan sosial yang terus berubah begitu cepatnya, agama yang juga memiliki andil dalam mengonstruksi sistem sosial pun mengalami perubahan. Di zaman modern di mana agama telah disekulerkan, tak pelak membawa konsekuansi baru dimana rasionalitas dikukuhkan sebagai primas dalam mendedah problem kehidupan. Kapitalisme yang lahir dari rezim modernitas pun ikut andil dalam proses perubahan-perubahan dalam bidang keagamaan. Max Weber kemudian menelaahnya melalui buku yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1977).

Ciri sentral dari tesis Weber adalah rasionalistas instrumental yang terdapat dalam sistem kapitalisme modern. Dimana ciri rasionalitasnya adalah pada efisiensi dan penuh perhitungan, bukan karena alasan emosi,tradisi,atau kesetiaan pada pemikiran yang sempit.[13] Ketika orang tidak lagi membutuhkan pendasaran pada nilai-nilai religius dan kultural untuk setiap aktivitasnya di dunia ini, pada saat itu jugalah ia mengalami suatu rutinisasi dan sekaligus sekularisasi. Hilangnya berbagai elemen ke-religius-an secara progresif dari kehidupan sosial juga meninggalkan sebuah kekosongan yang bisa segera diisi oleh kekuatan-kekuatan sekuler, seperti pasar modern dan negara birokratis.  “Sangkar besi kehidupan sosial modern” lalu sebaiknya dimengerti sebagai penyesuaian diri yang semakin meningkat pada kepentingan-kepentingan material dan tuntutan-tuntutan akan keberadaan keduniawian sehari-hari. Kehidupan manusia menjadi terdominasi oleh kebutuhan-kebutuhan material dan manusia akan menyesuaikan diri dengan cara-cara paling rutin untuk menjamin kebutuhan-kebutuhannya tersebut.[14]

Ilmu Pengetahuan

Perkembangan sosiologi memang tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke 18 yang mengarah pada spesifikasi dan sistematisasi dalam rangka mendekati obyeknya. Ilmu-ilmu pun memangun lokusnya sendiri dari basisnya yaitu filsafat sebagai ihwal pendasaran pengetahuan.Sosiologi yang lahir di zaman serba pasti itu, oleh pencetusnya Auguste Comte pada awalnya bersifat positivis dengan keketatan metodologis untuk mencapai obyektivitas. Comte sendiri membagi tiga tahap perkembangan masyarakat yaitu  teologis, metafisis, serta positif. Menurutnya masyarakat ideal adalah masyarakat yang melepaskan diri dari belenggu mitos dan menggantinya dengan dalil ilmiah positivistik. Karena kebenaran sejati atau obyektif hanya dapat ditemukan melalui observasi empiris melalui instrumentasi matematis.

Ilmu sosial memang pada awalnya diseragamkan dengan metode ilmu alam yang mendasarkan premisnya logika kausalitas. Namun, seiring dengan perkembangan teorinya kemudian para pemikir banyak yang menganggap bahwa metode ilmu alam tidak tepat diterapkan pada manusia yang cenderung reflektif. Sebagaimana dikatakan Giddens, sosiologi tidak menyusun pengetahuan kumulatif dengan cara yang sama seperti ilmu alam.[15]

Post-script

Demikian sepercik sejarah perkembangan sosiologi, sebagaimana telah diungkapkan diatas sebagai sebuah kajian sosiologi cenderung plural dan tidak dalam satu rancang bangun. Hal ini yang tentunya membuat teori sosial itu menjadi tidak bebas nilai dalam arti sarat akan suatu konstruksi kepentingan. Kontestasi selalu mengemuka, apalagi dalam diskursus sosial. Kekuasaan baik eksplisit maupun implisit selalu mewarnai tindakan dan praktik sosial yang disusupi sublimnya ideologi. Terbentuknya konstruksi teori sosial pun sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kondisi sosio-historis yang terjadi dalam dimensi dan peristiwa sosial. Yang mana peristiwa yang terekam dalam sejarah itu mengilhami para pemikir untuk menata dan menawarkan rancang gagas yang ideal untuk kehidupan sosial yang ideal pula.


[1] Disampaikan dalam diskusi dwi mingguan DaSein Institute.
[2] Lih. John Scott (Ed.). Sociology: the key concept (New York, Routledge: 2006) hlm xvii.
[3]  Lih. Philippe Cabin, dan jean Francois Dortier (Ed.), Sosiologi: sejarah dan berbagai pemikirannya, (Yogyakarta,Tiara Wacana :2009),hlm 3.
[4] Ibid, Hlm XVIII
[5] Ibid, hlm xiii
[6]  Pencerahan bisa dibagi menjadi dua arus utama-obyektivis, yang menggabungkan rasionalisme dan empirisme, dan sosiosentris yang memulai asumsi bahwa manusia hanya terbentuk dalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan Seidman dimana sosiosentris mengkritik keras individualisme yang melekat dalam teori kontrak sosial dan juga gambaran prasosial indvidu yang melekat dalam banyak teori itu, khususnya Leviathan-nya Hobbes dan The Social Contract-nya Rousseau. Lih George Ritzer dan Barry Smart (Ed.), Hand Book Teori Sosial, (Bandung, Nusamedia:2012) hlm 22.
[7]  Ibid, hlm 22.
[8]  Philippe Cabin, dan jean Francois Dortier,Op.cit, hlm XIII
[9]  Geoge Ritzer dan Barry smart,Op. Cit. Hlm 29.
[10]  Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial,(jakarta,Yayasan Obor:2009),hlm  94.
[11]  Philippe Cabin, dan jean Francois Dortier,Op.Cit,hlm XIII.
[12] Pip Jones,Op.Cit, hlm125.
[13] Ibid,hlm 120.
[14] Pip Jones, Op. Cit. Hlm 120-121
[15] Geoge Ritzer dan Barry smart,Op. Cit. Hlm 13-14.

Komentar

Populer