Langsung ke konten utama

pseudo-reality dalam ruang publik


Arus informasi hari ini begitu deras menjamah aras kehidupan. Tiap hari kita dijejali berbagai macam konstruksi realitas dimedia cetak, elektronik, maupun cyberspace. Semuanya saling berkontestasi menguasai para khalayak, menguasai kebenaran. Kini adalah zaman pasar mendikte negara. Sebuah zaman ponsel di tangan tanpa berisik mengirim jutaan SMS untuk memilih atau mengeliminasi kandidat bintang instan di TV. 

Ruang publik bergeser fungsi menjadi ruang iklan, publikasi kepentingan privat. Memang media tidak lagi melayani propaganda, tetapi ia menjadi panggung bagi kepentingan-kepentingan modal. Dan untuk peran barunya ini media membangun watak tiranisnya sendiri: Semua bisa dibuat patuh, dan bila perlu, impian pun bisa diadministrasikan! Reality show, misalnya, menyimpan paradoks. Show adalah show karena dibedakan dari realitas yang bukan keseolahan, melainkan kesungguhan. Namun, jika reality menjadi show, realitas bisa dikomando dalam/oleh show
.

Politik pun tak ubahnya menjadi show yang mempertontonkan citra imagologis dan menjauh dari reality bahwa rakyat masih tertindas secara ekonomis. Populasi penonton TV yang didera beban hidup dan kepahitan ingin cepat kaya dan tenar seperti para bintang idola mereka. Media memberi doktrin jalan pintas ke sana: AFI, Indonesian Idol, Mama Mia, Stardut, dan seterusnya. Makin meninggi ke tangga nominasi, makin melambung impian mereka seperti gelembung. Namun, untuk itu kantong dikuras habis untuk menyogok para ”konstituen” mereka dengan pulsa agar memilih mereka. Seperti massa di pertunjukan gladiator Romawi, massa pengirim SMS mengeliminasi para pecundang versi mereka, tentu sesuka hati. Pemenang ciptaan demokrasi SMS yang meniru pola money politics di pemilu dan pilkada itu pun menyentuh langit impiannya, sedangkan gelembung impian si pecundang meletus tanpa bekas seiring dengan kebangkrutannya. 

Hidup ini nyata dan bukan show, maka kepahitan yang dicecap di luar TV bukan entertainment. Kalah dan menang itu relatif; yang absolut tentu keuntungan yang masuk kas perusahaan penyedia pulsa dan media penayang iklan. Dengan sukses mengontrol massa pemirsa lewat mesin mimpi, media menjadi ”fasistis”: Entertainment menjadi cuci otak untuk patuh pada impian hasil rekayasa rezim media itu.

Lantas, ketika ruang publik yang diakses seluruh pemirsa Indonesia itu tak ubahnya ruang artifisial yang orientasinya profit, kemana lagi kita harus meyandarkan diri ditengah pembodohan sistemik itu? Masihkah ada media yang membawa pikiran kita melepaskan alur kritisnya demi kehidupan publik yang cerdas?

Tampaknya mengalahkan ”fasisme” media tidak sesulit menggempur Hitler atau Mussolini. Cukuplah dengan mematikan TV atau memindah ke saluran cerdas. Namun, ”klik” itu membutuhkan disiplin dan intelegensi yang memadai untuk suatu keputusan sadar. Persis itulah yang tidak dimiliki ”warga negara” yang telah berubah menjadi ”konsumen” pasif. Daya sihir reality show berkaitan dengan proses pembodohan dan pendangkalan di luarnya, maka status quo ”fasisme” media sebenarnya dilestarikan oleh ketercabikan politis yang nyata.

Komentar

Populer