REVIEW BUKU: DIALEKTIKA MARXIS: SEJARAH DAN KESADARAN KELAS, GEORG LUKACS
Georg Lukacs merupakan salah satu pemikir Marxis yang pemikirannya menjadi referensi utama. Ia merupakan pemikir Marxis yang bisa dikatakan sangat berpengaruh di abad 20. Bukunya yang sering menjadi rujukan adalah History And Class Consciousness (HCC), buku tersebut telah menjadi teks dasar bagi marxisme barat, teori kritis dan menginspirasi lahirnya gerakan kiri baru.[1]
Lukacs dilahirkan di Budapest, Hungaria, pada tahun 1885 dari keluarga Yahudi. Ayahnya bernama József Löwinger, seorang direktur bank, dan ibunya bernama Adele Wertheimer. Ia menempa diri dalam bidang hukum, ekonomi nasional, sastra, sejarah kesenian, dan filsafat. Pada 1903 ia memasuki jenjang pendidikan tingginya di universitas Budapest dan Berlin, kemudian ia menerima gelar doktoralnya di Kolozvar pada 1906. Pada awal mula karirnya dia adalah seorang sastrawan yang cukup berperan dalam pembaruan sastra Hongaria. Ia adalah seorang filsuf dan kritikus sastra yang cukup berpengaruh. Ia mengembalikan marxisme ke dalam dimensi filsafat melalui diakletika Hegel sebagai inti filsafatnya. Hal ini dikarenakan menurutnya marxisme cenderung dipelintir sebagai sekedar sebuah teori sosiologis dan ekonomis ilmiah yang hanya menjelaskan hukum-hukum objektif alamiah.
Sejak 1909 Lukacs tinggal di Berlin, namun sesekali waktu ia juga melancong ke Italia dan Perancis. Lukacs pindah ke Heidelberg pada 1913, disana ia berkenalan dengan Max Weber, Ernst Boch, dan Karl Mannhiem, serta mendengarkan kuliah dua tokoh Neokantianisme, Heinrich Rickert dan Wilhelm Windel. Pada tahun 1914 ia menikah dengan seorang wanita anggota partai Sosialis-revolusioner Rusia, bernama Jelena Andrejewna Grabenko. Dan dari situlah ia mulai mempelajari tentang Hegel dan Marx secara mendalam. Namun pernikahan dengan Jelena tidak berlangsung lama. Karena ia jatuh cinta lagi kepada seorang wanita bersuami bernama Gertrud Bortstieber, lalu kemudian memutuskan untuk menikah selanjutnya.[2]
Sejak 1909 Lukacs tinggal di Berlin, namun sesekali waktu ia juga melancong ke Italia dan Perancis. Lukacs pindah ke Heidelberg pada 1913, disana ia berkenalan dengan Max Weber, Ernst Boch, dan Karl Mannhiem, serta mendengarkan kuliah dua tokoh Neokantianisme, Heinrich Rickert dan Wilhelm Windel. Pada tahun 1914 ia menikah dengan seorang wanita anggota partai Sosialis-revolusioner Rusia, bernama Jelena Andrejewna Grabenko. Dan dari situlah ia mulai mempelajari tentang Hegel dan Marx secara mendalam. Namun pernikahan dengan Jelena tidak berlangsung lama. Karena ia jatuh cinta lagi kepada seorang wanita bersuami bernama Gertrud Bortstieber, lalu kemudian memutuskan untuk menikah selanjutnya.[2]
Akhir 1916 ia pulang ke Budapest. Sempat ia melamar menjadi guru besar di Heidelberg namun ditolak karena ia orang Hongaria. Kemudian, ia masuk partai komunis Hongaria dan menjadi salah satu redaksi di majalah internationale. Pemikiran Rosa Luxemburg dan buku Lenin Negara dan Revolusi telah banyak menginspirasinya dan memberikan benih pemikiran revolusioner dalam dirinya. Yang kemudian pada 1923, ia merampungkan master piece-nya History and Class Consciousness. Buku tersebut kemudian menjadi pemantik perdebatan yang cukup memanas dikalangan partai komunis hongaria dan komintern.
ABSTRAKSI
History and Class Consciousness yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai Dialektika Marxis: Sejarah dan Kesadaran Kelas merupakan master piece-nya Georg Lukacs. Buku ini secara garis besar merupakan reaksi akademis atas perkembangan Marxisme yang cenderung hanya menjadi sebuah ideologi yang justru melucuti ciri revolusioner Marxisme itu sendiri. Sebagaimana yang dipercayai secara dogmatis oleh kalangan yang disebut Lukacs sebagai "Marxisme vulgar". Ini terbukti oleh pereduksian Marxisme pada aras teori sosiologis dan ekonomi ilmiah yang sekedar mejelaskan kondisi hukum-hukum obyektif ilmiah. Padahal sebagaimana dikatakan Marx yang juga dikutip Lukacs dalam awal bab pertama bukunya: "para filosof hanya menafsirkan dunia dengan berbagai macam cara padahal yang menjadi inti adalah mengubahnya."
Lukacs berusaha mengembalikan dimensi filosofis dari Marxisme dengan menelaah kembali dialektika Hegelian sebagai titik tolak kajiannya. Sebagaimana kata-kata Lukacs yang dikutip Goenawan Mohamad "bagi siapa pun yang ingin mengembalikan dimensi revolusioner Marxisme, kembali ke tradisi Hegel merupakan kemestian."[3] Hal ini jelas membawa implikasi yang cukup menegangkan dikalangan Komintern yang memercayai akan adanya aspek teleologis seiring kontradiksi kapitalisme yang secara otomatis akan meneguhkan revolusi proletariat hingga mencapai tatanan ideal komunisme.
Sebagai solusi atas pendangkalan Marxisme tersebut, Lukacs kemudian memosisikan dirinya dalam konstruk materialisme-dialektis-historis sebagai sebuah totalitas. Baginya Marxisme ortodox adalah mengacu pada metode asali Marxisme yaitu materialisme-dialektis. Marxisme ortodox bukanlah sebuah thesis ini atau itu bukan pula semacam tafsir atas buku 'suci', demikian Lukacs. Hal ini membawa konsekuensi logis terhadap dimensi pembaruan Marxisme yang dalam rentang sejarah telah usang dan tidak sesuai dengan kondisi sosio-historis perkembangan masyarakat. Sebagaimana motto favorit Marx: de omnibus dubitandum (ragukan segala-galanya). Sehingga ortodoksi semata-mata mengacu pada metodenya yang tak lain adalah materialisme-dialektis.
Lukacs juga membaca ulang Marx dengan penekanan pada kesadaran kelas, kesatuan teori dan praksis, serta konsep tentang reifikasi. Yang mana ia jelas mengambil posisi antagonis terhadap kecenderungan fatalisme ekonomis dan sosialisme etis. Baginya, peranan revolusioner Marxisme hanya dapat tercipta dengan memahami kesatuan antara teori dan praksis serta memahami kenyataan dalam masyarakat sebagai totalitas. Ia pula menyerukan pembongkaran terhadap konsep reifikasi yang mengeram dalam sistem kapitalisme yang tentu menghasilkan alienasi atas kesadaran proletariat sebagai subyek yang menegakkan revolusi.
KEGELISAHAN AKADEMIK
Kelahiran sebuah gagasan yang terejawantah dalam manuskrip berupa buku tentu tidak di dasari atas sebuah kehampaan seperti dilorong gelap tak bertepi. Gagasan yang muncul dalam babakan sejarah selalu dalam relasi atas gagasan lain yang mungkin menerima, kritik, atau bahkan menolak sama sekali. Gagasan yang lahir itu tentu bersifat dialektis sebagaimana Lukacs percayai. Kondisi intelektual Marxis yang dalam kejumudan membuat seorang Lukacs kemudian membuat sebuah buku yang ia beri judul History and Class Consciousness (HCC).
Kelahiran HCC sendiri dipicu oleh kegelisahan Lukacs dimana Marxisme yang jelas-jelas bersifat revolusioner justru diperalat oleh para kaum ideologis-dogmatis yang menyerukan revolusi reaktif dan para borjuis-demokrat yang berbaju Marxisme yang membawanya pada sekedar teori untuk menjaskan dimensi sosiologis dan ekonomis tatanan masyarakat kapitalis. Menurut Franz Magnis Suseno buku HCC tersebut diilhami oleh dua hal: (1) mengembalikan harkat filosofis teori Karl Marx melawan pendangkalannya oleh "marxisme vulgar".(2) menangkis kritik dari pelbagai kalangan Marxis, khusunya Rosa Luxemburg, terhadap penghapusan kebebasan-kebebasan demokratik di Uni Soviet.[4]
Lukacs mengembalikan dimensi filosofis Marxisme sebagai sebuah totalitas. Ia merujuk kembali kepada filsafat Hegel yang merupakan akar filosofis pemikiran Karl Marx terutama konsep dialektikanya. Sementara Hegel mengonsepsikan dialektika sebagai suatu metode yang cenderung abstrak dan mistis yang terlembaga dalam pikiran. Dalam hal ini berseberangan dengan Hegel memang penekanan Marx adalah pada ontologi materialis sebagai dasar filsafatnya. Seperti kita ketahui secara umum, materialisme pada mulanya merupakan gugus pengertian bahwa materi (ikhwal indrawi) adalah hakikat dari realitas. Marx merubah pandangan umum ini. Baginya, materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga abad ke-18. Pada posisi tersebut Lukacs kemudian mengembalikan secara teoritis maupun definitif Marxisme ortodox yang mengacu pada metode Marxis itu sendiri, yang tak lain adalah materialisme dialektis.
Marxisme yang cenderung dipahami secara parsial dan cenderung hanya sebagai sains borjuis yang menempatkan teori marxis dalam lanskap sosiologis dan ekonomis semata, kemudian membuka mata Lukacs untuk menyuarakan perlawanannya melalui totalitas dialektis. Menurut kaum marxis vulgar kapitalisme dengan sendirinya akan runtuh seiring kontradiksi laten yang mengeram didalam sistemnya. Keniscayaan itu kemudian akan membawa revolusi proletar sehingga tercipta masyarakat sosialis dengan sendirinya. Teori revolusioner marx kemudian hanya menjadi alat penjelas tanpa ejawantah praksis yang membumi. Dialektika yang konsepsi asalinya didapati dari Hegel oleh para marxis vulgar dianggap sebagai sekedar hiasan atau "anjing mati". Padahal Marx sendiri pernah mengingatkan, sebagaimana di nukil oleh Lukacs bahwa Marx telah memperingatkan untuk tidak memperlakukan Hegel sebagai "anjing mati". Dalam hal ini, para Marxis vulgar sebenarnya terperangkap dalam pengertian borjuasi tentang pengeahuan ilmiah yang berpedoman pada ilmu-ilmu alam modern.
Implikasi atas pemahaman seperti para marxis vulgar tersebut tak lain adalah hilangnya sifat revolusioner teori Marxisme itu sendiri. Kerangka ilmu yang menganut ilmu pengetahuan alam itu yang kemudian mengandaikan sebuah ilmu yang merumuskan hukum-hukum objektif untuk menentukan gerak-gerik realitas setepat mungkin. Pendekatan ini jelas bersiafat kontemplatif dan metafisik. Kontemplatif karena realitas sekedar dibaca dan diamati tanpa kemauan untuk merubahnya. Metafisik dalam hal ini mengandaikan suatu hukum obyektif yang tak bisa dirubah dalam sebuah hakikat transendental.
Menurut Lukacs anggapan para Marxis vulgar tersebut menyesatkan, yang mana seharusnya metode dialektika yang khas marxis justru direduksi dalam hukum mekanis-kausal. Keniscayaan dialektis bukanlah seperti dalam anggapan para marxis vulger yang menganggap revolusi akan terjadi dengan sendirinya. Namun, dengan kepastian dialektis itu revolusi akan tercapai ketika kesadaran kelas revolusioner telah mengemuka dalam proletariat. Sebagai konsekuensinya kemudian mereka terjebak dalam dua kesesatan, yaitu fatalisme dan voluntarisme. Fatalisme yang mengarah pada ekonomistik ini mengandaikan revolusi akan tercapai tanpa harus ada kesadaran dalam kelas proletariat sebagai agen revolusioner. Keniscayaannya akibat kondisi-kondisi ekonomis sudah matang, dan kapitalisme dalam dinamika internalnya memungkinkan akan hal ini. Fatalisme ini kemudian sama saja terus menunda revolusi samapai hari kiamat.
Tak pelak pemahaman fatalisme ekonomistik macam itu membawa konsekuensi pada terjebaknya kaum sosialis dalam voluntarisme. Seolah sosialisme hanya sekedar perjuangan etis yang berdasar pada etika neokantianisme. Analisis ekonomi-politik sebagai basis perjuangan kemudian direduksi hanya dalam kepercayaan akan tindakan baik yang serasa hambar dan naif. Hal ini pula disebut Lukacs sebagai sebuah utopia, kesadaran inti dalam proses emansipasi tak lain dan tak bukan sebenarnya adalah dinamika obyektif yang terjadi dalam sejarah.
TELAAH BUKU
"Para filosof hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, namun yang jadi inti adalah merubahnya." Demikian sepatah kata Karl Marx yang dengan nada sinis menyerang para kaum idealis yang sama sekali tak menyentuh realitas nyata. Berangkat dari asumsi ini kemudian Marx mengonsepsikan filsafat yang lebih bernada revolusiner dengan titik tolak ontologi materialisme. Emansipasi menjadi kata kunci seiring terjadinya berbagai macam dehumanisasi yang dibawa oleh sistem kapitalisme yang dikritik habis-habisan oleh Marx. Dalam proyek revolusionernya, Marx memang terinspirasi oleh Hegel terutama terkait metode dialeketikanya. Hanya saja Marx memberikan efek realis pada metode dialektika itu, yang kemudian dinamainyalah metodenya sebagai Materialisme-dialektis.
Pengertian umum tentang materialime pada awalnya hanya mengacu pada materi sebagai hakikat realitas. Namun menurut Marx pengertian itu tidak membawa perubahan yang signifikan ketika dihadapkan dengan kondisi aktual emansipasi. Dalam Tesis pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian baru dari materialisme:
"Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini—termasuk juga Feuerbach—adalah bahwa benda (Gegenstand), realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek (Objekt) atau kontemplasi (Anschauung), tetapi tidak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik, (atau dengan kata lain) tidak secara subyektif."[5]
Materialisme sebelum Marx hanya memahami materi sebagai obyek indrawi belaka. Pengertian ini tak mampu menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga hasil dari aktivitas subyektif manusia. Sentralitas pada obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi materialitas hal-ikhwal. Dengan pendekatan yang dapat disebut sebagai “materialisme subyektif” inilah Marx lantas dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek material, yang konstitutif terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain adalah laku, kerja, praxis.
Kita tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialektika. Sejak Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon, sendiri berfilsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah dialegesthai yang artinya “dialog”). Namun, dari Hegel-lah Marx menimba pelajaran mengenai dialektika. Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu sama lain dalam jejalin yang tak putus. Yang didalamnya terdapat proses yang saling bertabrakan antara thesis dan anti-thesis untuk menghasilkan sintesis.
Tak mengherankan olehnya jika kemudian Lukacs dalam bab pertama HCC-nya kemudian mengembalikan jantung filsafat Marx pada dimensi materialisme-dialektis itu. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa metode marx tentang materialisme-dialektis tersebut secara logis dapat menjadi landasan kebenaran obyektif, sebagaimana Lukacs sendiri berkata:
"Materialisme dialektis adalah jalan menuju kebenaran dan bahwa metode materialisme dialektis itu dapat dikembangkan, diperluas, dan diperdalam hanya sepanjang garis-garis yang telah di gariskan oleh para pendirinya." (hlm: 22)
Inilah yang kemudian ia namai sebagai Marxisme ortodox, yang mana ortodoksi hanya berlaku untuk mengafirmasi pada totalitas obyektif dari materialisme-dialektis. Bahkan, menurutnya melampaui atau mempernbaiki materialisme-dialektis itu sama saja dengan over-simplikasi, penyepelean, dan eklektisisme.
Dalam bab pertama Lukacs banyak berbicara terkait materialisme-dialektis sebagai metode untuk melakukan tahap revolusi yang kemudian diterapkan dalam dimensi sejarah atau materialisme-historis. Titik tekan kajiannya adalah kritik terhadap kaum marxis vulgar yang merduksi metode materialisme-dialektis hanya sebagai alat penjelas realitas dan bukan sebagai alat untuk mengobarkan revolusi. Selain itu, menurut Lukacs dialektika menegaskan sebuah kesatuan konkret antar keseluruhan. Totalitas dalam memandang fenomena sosial tentunya menjadi kunci untuk mencapai revolusi. Teori dan praksis karenanya tak dapat dipisahkan secara diametral, sebab dengan pemisahan atas teori dan praksis adalah sama saja mengungkung Marxisme kedalam ideologi borjuis yang cenderung menjaga status-quo. Teori ilmu alam yang cenderung menganggap fakta secara parsial, objektif, bebas-nilai, dan berjarak dengan realitas tentunya harus ditinggalkan. Maka, kapitalisme sebagai sebuah patologi haruslah dilihat dalam relasi-relasinya secara holistik.
Lukacs diakui memang terpengaruh oleh pemikiran Rosa Luxemburg dan Lenin. Hal ini begitu jelas dimana secara eksplisit ia sendiri katakan dalam pengantar HCC-nya. Sebagaimana uraiannya:
"Rosa Luxemburg adalah satu-satunya murid Marx yang berhasil memanfaatkan karya Marx yang berisi doktrin-doktrin ekonominya, baik dalam hal isi maupun metode. Luxemburg-lah yang menemukan jalan untuk menerapkan doktrin-doktrin itu secara konkret kedalam situasi perkembangan sosial sekarang." (hlm 10)
Dari afirmasinya yang tegas, begitu jelaslah dimana lukacs banyak menemukan kebenaran pada analisis Rosa Luxemburg. Bahkan, ia menurutnya posisi Marxis dan Komunis yang benar-benar revolusioner, hanya bisa diperoleh dari pembacaan kritis atas karya-karya teoritis Rosa Luxemburg. Sementara itu dari Lenin, Lukacs mengambil keefektifan teori-teori revolusinya yang mencapai tataran esensi praktis, sehingga Marxisme mencapai kejelasan dan kekonkretan yang sebelumnya tak pernah dicapai.
Dalam bab ke dua, Lukacs berangkat dari posisi teoritik yang telah dikonstruksi ulang oleh Rosa Luxemburg dari karya-karya Marx. Terutama analisanya terhadap motif-motif ekonomi dan penjelasan historis yang secara antagonis 'mengejek' pemikiran borjuis yang parsial. ia menekankan pentingnya sebuah totalitas. Implisit dari argumen-argumen Lukacs secara tegas menyatakan bahwa ciri normatif pemikiran borjuis adalah memilah-milah dan memisahkan proses produksi dari produsen, pembagian proses kerja menjadi bagian-bagian dengan mengorbankan kemanusiaan individual pekerja. Berbeda dengan Marxisme yang menggunakan metode dialektikanya untuk mencapai suatu totalitas. Sebagaimana uraiannya:
"Kategori totalitas tidak hanya menentukan objek pengetahuan, tetapi juga subyeknya. Pemikiran borjuis hanya menilai fenomena sosial secara sadar maupun tak sadar, secara naif atau subtil, dari sudut pandang individual." (hlm 67)
Problematik dasar yang diangkat adalah persoalan bagaimana posisi subyek/obyek. Kita tahu, dalam perspektif filsafat modern terjadi sebuah pengagungan terhadap subyek sebagai pusat dari segala sesuatu. tak mengherankan kemudian jika kemudian individu atau subyek diagungkan dalam relasinya dengan obyek. Kecenderungan semacam ini pula terdapat dalam pola pikir Hegel yang terombang-ambing antara "individu yang agung dan ruh masyarakat yang abstrak." Berbeda dengan Marx yang mengambil posisi lebih obyektif dimana totalitas atas kesatuan unsur dalam setiap entitas yang berjalin-kelindan dalam masyarakat selalu sudah dalam keterpaduannya. Maka dialektika sebagai titik tolaknya kemudian merangkaikan sebuah kesatuan obyek dalam suatu totalitas begitu pula subyek dalam sebuah totalitas. Hal ini menjadi penting, sebab dengan merampingan salah satunya dalam perpektif individual dialektika justru akan mandek sebagai metode menuju proses revolusi. Implikasinya revolusi kemudian bukan menjadi bagian dari sebuah proses, melainkan sebagai tindakan terisolasi yang terpisah dari pergerakan umum peristiwa-peristiwa.
Dalam bab ketiga, Lukacs berbicara tentang problematika kesadaran kelas sebagai pemantik terpecahnya revolusi proletariat. Setelah sebelumnya ia mengecam pemikiran borjuis yang mnegeram pada para pengikut marxisme vulgar atau para pengikut partai sosialis yang bergabung dalam internasionale II. Yang dalam perspektif lukacs berkubang dalam gerakan reaktif tanpa nada revolusioner sama sekali. Hal ini dikarenakan terjebaknya mereka dalam riuh rendah fatalisme ekonomistik dan voluntarisme naif. Sehingga tak dapat dipungkiri jika ingin mengembalikan jiwa revolusioner Marxisme adalah dengan semangat materialisme historis. Maka peran penting kesadaran kelas adalah syarat imperatif terciptanya revolusi itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Lukacs:
"Kesadaran ini buknlah jumlah keseluruhan dan bukan pula jumlah rata-rata dari apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh individu-individu tunggal yang membentuk kelas, melainkan aksi yang mempunyai arti penting historis dari kelas sebagai sebua keseluruhan, pada akhirnya ditentukan oleh kesadaran ini dan bukan oleh pemikiran individual –dan aksi-aksi ini hanya dapat dipahami dengan mengacu pada kesadaran tersebut." (hlm 105)
Begitu jelas penjelasan Lukacs tersebut yang mengobyektifkan peran kelas proletariat sebagai subyek sejarah yang sadar diri untuk melakukan emansipasi menuju revolusi. Sehingga kelas proletariat sebagai totalitas konkret merupakan syarat wajib dalam prosesnya menuju telos-nya yaitu revolusi proletariat. Pengandaian teleologis atas sejarah tersebut jelas berangkat dari materialisme-dialektis-historis sebagai kesatuan metode yang diejawantah dalam membongkar kontradiksi internal sistem kapitalisme.
Analisa kelas yang dibangunnya dalam sebuah lanskap kesadaran kolektif itu berangkat dari pemisahan yang jelas antara kesadarn-kelas dengan kesadaran yang terberi secara empiris. Tujuan emansipasi kelas proletar ini kemudian menjadi totalitas untuk mencapai aras kuasa yang dipegang para kaum borjuis. Sehingga kesadaran ini mengandaikan suatu nasib bersama yang kemudian membawa implikasi perlawanannya terhadap status-quo. Semuanya bergantung dari sejauh mana mereka mampu menyadari aksi-aksi yang akan mereka lakukan untuk meraih dan mengendalikan kekuasaan. Dalam hal ini proletariat merupakan sebuah kesatuan antara pengertian tentang realitas sosial dan realitas sosial itu sendiri. Dengan demikian kelas proletariat menyadari akan sebuah misi sejarah dan kemudian menjadi aktor revolusioner-nya.
Dalam bab selanjutnya yang ke lima, Lukacs mempertajam konsep tentang reifikasi sebagai akar alienasi. Berangkat dari persoalan pokok berupa konsep komoditas dan teori nilai-nya Karl Marx, Lukacs kemudian mentotalisasi persoalan struktur masyarakat kapitalis dengan segala macam aspeknya. Titik tekannya adalah pada persoalan komoditas yang seharusnya tidak dipandang sebagai suatu isolasi atau menganggap persoalan inti hanya pada aspek ekonominya saja, namun sebagai keseluruhan mekanisme yang berjalan dalam sistem kapitalisme itu sendiri.
Fenomena reifikasi merupakan esensi dari struktur komoditas dalam masyarakat kapitalis. Konsep ini menjadi sebuah konsep yang sangat penting ketika berbicara realitas kesadaran kelas untuk melaksanaan panggilan objektifnya untuk menjungkirbalikkan tatanan masyarakat borjuis serta secara subyektif proletaraiat harus menjadi agen revolusioner untuk membebaskan diri dari kungkungan ideologi borjuis. Syarat terciptanya kesadaran kelas tak lain dan tak bukan adalah membongkar mekanisme reifikasi dalam totalitas sistem kapitalisme. Reifikasi sendiri merupakan kata kunci yang dikonstruksi oleh Lukacs, sebagaimana uraiannya:
"Bahwa relasi antara orang dengan orang mengambil karakter antara benda dengan benda dan karenannya memperoleh semacam 'obyektifikasi khayali' (phantom objectivity), yaitu suatu otonomi yang seolah-olah begitu rasional dan menyeluruh sehingga menutupi setiap jejak hakikat terdasarnya: relasi antara orang dengan orang." (hlm 158)
Dalam perpektif ini reifikasi menyamarkan pola hubungan manusia sebagai sekedar hubungan benda-benda, hal ini kemungkinan berangkat atas konsep fethisisme komoditas yang pernah diutarakan Marx. Fethisisme komoditas merupakan pemberhalaan atau pemberian efek magis tertentu terhadap sebuah objek yang kemudian dianggap memiliki kelebihan.
Dalam tatanan masyarakat borjuis, semua hubungan antar manusia dikuasai oleh hukum pasar. Kapitalisme telah menyamarkan bentuk hubungan kemanusiaan itu sekedar menjadi hubungan antar komoditi, barang untuk diperjual-belikan. Semuanya yang layak jual dalam arti memiliki nilai tukar kemudian di lempar ke pasar yang ditentukan oleh hukum-hukum objektif pasar. Hubungan tersebut seolah terjadi secara alami dan tanpa sadar manusia telah menjadi objek pembendaan yang tak memiliki kekuatan sebagai manusia rasional dan bebas sama sekali. Padahal hubungan itu merupkan hasil konstruksi historis oleh tangan-tangan manusia.
Dibagian selanjutnya Lukacs melaju ke ranah filsafat barat modern secara umum. Yang didalamnya ia membongkar antinomi pemikiran borjuis yang mengeram dalam kecenderungan filsafat modern seperti Kant, Descartes, Spinoza, Hobbes, Leibniz, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui filsafat modern merupakan kebangkitan rasionalitas yang telah lama terkungkung oleh dogma kristiani abad pertengahan. Subyek rasional merupakan pusat kesadaran yang mengkonstitusi dirinya sendiri dalam dualitasnya dengan obyek yang harus dikuasai. Subyek adalah tolok ukur segala sesuatu, manusia menjadi pusat segalanya.
"Filsafat modern menangani persoalan berikut ini: ia tidak mau menerima dunia sebagai sesuatu yang tercipta (atau misalnya diciptakan oleh Tuhan) secara independen dari subyek mengetahui, dan lebih memilih memahami dunia sebagai produk dari subyek yang mengetahui itu sendiri." (hlm 205)
Dari sinilah sebenarnya pemikiran borjuis lahir, yang mana kemudian membawa pandangan dunia yang eksploitatif. Weber mencirikan rasionalitas masyarakat modern ini sebagai rasio-instrumental. Rasio intrumental adalah rasio yang di dasari atas kalkulasi untung-rugi, efisiensi, serta penguasaan atas objek yang eksis diluar subyek. Memang disatu sisi rasio-instrumental ala borjuis ini membawa kulminasi kemajuan dalam titik tertingginya. Hanya saja terdapat efek dehumanisasi yang membawa manusia terasing dan mekanistik seperti layaknya benda. Pemikiran borjuis itu memang cenderung bersifat kontemplatif dalam arti pemikiran yang terkonstitusi dalam lanskap individual itu sekedar memanfaatkan momen yang menguntungkan serta melihat realitas sekedar hitam-putih tanpa mau menelaah lebih dalam akan kontradiksi internalnya. Implikasinya pemikiran ini cenderung pasif dan sekedar menjelaskan realitas ketimbang merubah secara mendasar konstruksi sosial kapitalisme.
Lukacs kemudian mempertajam fungsi materialisme historis yang tidak digunakan sebagai senjata yang efektif untuk menggerakkan revolusi. Berbicara materialisme historis memang tak bisa dilepaskan dari materialisme dialektis, kedua metode tersebut merupakan inti teori Marxis yang bercorak revolusioner. Sebagaimana Lukacs sering menyinggungnya di dalam buku ini, totalitas merupakan syarat imperatif dalam rangka pembacaan kritis proses historis maupun dialektis dalam perkembangan masyarakat yang tentu dibumbui dengan kesadaran untuk merubah realitas itu sendiri. Dalam kerangka ini materialisme-historis mendapatkan proporsinya untuk 'menyadarkan' sebuah perjuangan kelas tentang bagaimana bobroknya sistem kapitalisme yang seringkali menopengi wajah bopengnya dengan citra yang seolah berbaik hati kepada kaum proletariat.
Lukacs sendiri dengan nada yang berapi-api menyatakan bahwa materialisme-hitoris adalah senjata kelas proletariat yang paling ampuh untuk menelanjangi kontaradiksi internal sistem sosial kapitalisme. Senjata yang embrionya didapati dari konsep-konsep Marx itu dipersiapkan kembali untuk membangun masyarakat dan kebudayaaan. Menurutnya, materialisme-historis sudah waktunya untuk dijadikan metode ilmiah, yang mana seiring itu kelas proletariat kemudian mengontrol kekuatan fisik dan intelektualnya secara maksimal untuk merebut kekuasaan borjuis dan menciptakan tatanan masyarakat baru sosialisme. Maka, perjuangan kelas secara niscaya adalah keluar dari 'bawah' kelas proletariat itu sendiri, dan bukan dari 'atas' yang cenderung reaktif. Materialisme historis sendiri dalam konsepsi Lukacs merupakan:
"Sebuah metode ilmiah untuk memahami peristiwa-peristiwa masa lalu beserta hakikatnya yang sebenar-benarnya. Berbeda dengan historis kelas borjuis, materialisme historis memungkinkan kita untuk memandang masa sekarang secara historis dan oleh karena itu secara ilmiah sehingga kita dapat campur tangan ke balik permukaan dan lebih jelas menangkap kekuatan-kekuatan historis yang pada dasarnya mengendalikan setiap peristiwa." (hlm 277)
Implisist dalam uraian Lukacs tersebut mengamini bahwa metode materialisme historis merupakan metode yang tidak hanya sebagai penjelas artefak-artefak yang sudah terjadi dalam rentang sejarah. Namun, berusaha menguak silang-sengkarut kuasa yang mengendalikan formasi sosial yang terbentuk bersamanya. Ini jelas berbeda dengan metode historis ala borjuis yang menganggap realitas hanya perlu dijelaskan, sehingga sfat realitas menurut mereka adalah bebas-nilai, berjarak, dan obyektif.
Dalam konteks historis ini, akan lebih jelas apabila proses yang terjadi itu dieksplisitkan bersama konsep Marx tentang infrastruktur dan superstruktur. Infrastruktur mengacu pada basis material yang berbasiskan seluruh kegiatan ekonomi sementara superstruktur merupakan bentukan kesadaran yang tercipta melalui cipta, rasa, karsa atau bentuk spesifiknya berupa tatanan budaya, agama, ideologi, politik, dsb. dalam perspektif Marx basis ekonomi-lah yang menjadi faktor primer dalam menciptakan kesadaran kelas untuk mencapai revolusi. Ada semacam determinasi ekonomi yang diyakini sebagai daya sentripetal terhadap proses dialektika dalam dunia material. Tak ayal, perubahan-perubahan sosial yang terjadi dipahami dalam konstruksi kondisi ekonomi masyarakat sebagai pemantiknya. Konsep tersebut memang agaknya terlalu reduksionis atau dalam bahasa Lukacs tidak memandangnya dalam lanskap totalitas. Inilah yang kemudian mengilhami Althusser untuk merekonstrusi pola perubahan yang terlalu deterministik dan mengesampingkan faktor-faktor lainnya. Althusser menyebutnya sebagai over-determinasi yang mana dalam konteks dan situasi tertentu justru wilayah superstruktur itu mengalami pembalikan kearah basis material yang darinya menjadi daya dorong menuju perubahan.
TANGGAPAN
Dari sepercik uraian diatas setidaknya kita dapat melihat posisi teoritik Georg Lukacs yang mengembalikan Marxisme kepada dimensinya yang lebih filosofis dan ortodoks dalam metodenya. Dalam hal ini, Lukacs mencoba melawan kaum Marxis vulgar yang cenderung terperangkap dalam sikap voluntaristik dan terjebak dalam fatalisme ekonomis. Mereka cenderung bersikap pasif dalam menghadapi realitas penindasan yang terpampang oleh mekanisme sistem sosial kapitalisme. Mereka pula cenderung mereduksi marxisme sekedar sebagai teori sosiologi dan ekonomi yang kehilangan sifat dasar marxisme sebagai teori revolusioner. Asumsi ini yang kemudian membawanya untuk membaca kembali Hegel dan yang telah lama termarjinalkan dalam gerakan revolusioner Marxisme. Padahal, Marx sendiri pernah berteguk wejang dimana jangan sampai menempatkan pemikiran Hegel sebagai "anjing mati" yang kemudian menjadi sekedar pigura semata.
Hal inilah yang layaknya disadari, dimana ke-revolusioner-an Marxisme sebenarnya berangkat dari akar pemikiran Hegel tentang dialektika serta totalitasnya dalam memandang setiap diskursus. Kalau toh ada perbedaan mendasar dalam pola pemikiran Hegel dan Marx yang memang saling antagonis itu, mungkin sekedar konsepsinya dalam memandang realitas itu sendiri. Antara idealisme yang terkadang mistis dan materialisme yang lebih konkrit dan realis. Namun jika ditelususri lebih dalam, konsep dialektika yang dikonstruksi oleh Hegel itu sebenarnya mengandung benih revolusioner, hanya saja Hegel cenderung terperangkap dalam pemikirannya sendiri yang terpisah dari realitas. Dari sinilah kemudian Lukacs mengembalikan dimensi revolusioner dalm konsep materialisme dialektis dan historis.
Kita tahu bahwa materialisme-dialektis-historis (MDH) merupakan konsep dan metode kunci marxime dalam membedah dan menciptakan gerakan perubahan revolusioner. Apapun penafsiran para komentator tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu yang tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan materialisme historis merupakan ajaran yang internal dalam pemikiran Marx sendiri walaupun Marx tak pernah menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Materialisme dialektis merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa realitas tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini pun bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana, realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Sedangkan, materialisme historis merupakan penerapan materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman tentang sejarah sebagai ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan materi obyektif. Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas—sebuah efek yang bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri.
Aspek lain yang memang menjadi ide pokok Lukacs adalah pendalamannya terhadap reifikasi dan kesadaran kelas sebagai titik tolak menciptakan gerak revolusi. Hal ini yang membawa perspektif baru dalam menyikapi revolusi, yang mana kesadaran kelas proletariat harulah menjadi suatu syarat imperatif untuk merebut kekuasaan eksploitatif kelas borjuis. Ini menjadi penting yang mana kesadaran sejarah akan suatu totalitas merupakan ihwal gerakan yang secara hati-hati tidak terjebak dalam gerakan yang reaktif dan terpedaya oleh rayuan manis yang terlembaga secara internal dalam sistem kapitalisme itu sendiri.
Memang konsep-konsep revolusioner dalam mengembalikan harkat filosofis yang diusahakan oleh Lukacs telah membawa dampak dimana Marxisme semakin menjadi teori yang ampuh dalam membedah kontradiksi kapitalisme. Namun, ketika dihadapkan dengan kondisi aktual dimana kapitalisme justru menjadi semakin kuat dan tak terbantahkan, seolah konsep-konsep itu menjadi utopianya sendiri. Belum lagi jika melihat trajetori pemikiran filsafat barat yang beberapa dekade terakhir menyuarakan "matinya segala sesuatu." Posmodernisme dengan lantang melawan setiap klaim kebenaran tunggal dimuka bumi ini. Kebenaran telah terdiseminasi dalam permainan bahasa dan intertekstualitas wacana, maka dalam hal ini totalitas pemikiran dalam dimensi revolusioner seperti Marxisme sebagai 'narasi besar'-pun dengan sendirinya diruntuhkan isu yang digemingkan posmodernisme. Namun, toh kematian narasi besar itu sebenarnya sebatas retorika yang cenderung, lagi-lagi, membela narasi besar lain yang tak lain adalah kapitalisme.
Emansipasi yang sempat tervakum oleh doxa kematian-kematian semu itu memang cenderung melegitimasi hegemoni kapitalisme. Kalau toh emansipasi itu ada, yang terjadi justru terlembaganya politik identitas yang lebih berbau etika tentang yang-lain-lain. Permasalahan yang mengemuka tidak dilihat dari akar terdasarnya yaitu kesadaran ekonomi-politik sebagai ruh emansipasi. Kemiskinan, represi simbolik, rasisme, krisis identitas, emansipasi wanita, dan semua isu emansipasi lainnya cenderung dilihat secara parsial yang menurut Lukacs merupakan ciri dari pola pikir borjuis. Sehingga totalitas merupakan syarat imperatif dalam mencapai titik nadir emansipasi.
Dari titik ini, materialisme-dialektis-historis menemukan kembali dimensi teoritisnya untuk menghidupkan lagi emansipasi. Memang terdapat kekurangan, dimana ketika mentotalisasi entitas ralatif dalam tataran imanen akan terjebak dalam totalitarianisme yang juga membentuk imperium baru untuk menjadi penindas baru. Maka dari itu, perlawanan terhadap kapitalisme dengan menggunakan analisis yang menyeluruh dengan metode materialisme-dialektis-historis adalah niscaya, terutama analisis ekonomi-politiknya yang membongkar represi laten yang mengeram dalam kapitalisme. Persoalannya membatasi diri dalam tataran analisis ekonomi-politik saja juga akan menjadi naif, disitulah etika memainkan nada mayornya untuk menghargai sesama manusia dalam dimensi yang lebih humanis jangan sampai dihiraukan. Posmodernisme memang terkadang memandulkan sikap revolusioner, tapi disatu sisi posmodernisme telah berjasa menyadarkan manusia untuk selalu bersikap menghargai sesama dalam dunia kehidupan untuk mencipta kedamaian. Inilah problemnya, dimana ketika terlalu terkukung dalam humanisme-etis kita cenderung lupa pada dehumanisasi atas hegemony kapitalisme yang memandulkan keberanian untuk berkonfrontasi dan melawan daya represinya. Disatu sisi, ketika terbatas dalam analisis ekonomi-politik juga akan berimplikasi dalam kehidupan yang serba chaos, karena hakikat manusia sebagai mahkluk sosial justru tereduksi oleh aspek material semata. sehingga sifat menghargai sesama terhadap yang-lain merupakan dimensi yang tak dapat dipungkiri ketika bicara emansipasi.
KONTRIBUSI BUKU
Tak diragukan lagi buku History and Class Consciousness-nya Lukacs telah memberi kontribusi terhadap cara penafsiran lain terhadap Marxisme. Dalam arti ini Marxisme tidak sekedar dijadikan semacam jargon-jargon yang hanya ampuh dalam dimensi luarnya saja. Lanskap filosofis yang terkandung dalam Marxisme berhasil dikembalikan oleh Lukacs dengan menelaah pemikiran Hegel yang oleh banyak orang dianggap tak penting. Metode dialektika-nya yang cenderung hanya dijadikan pajangan oleh para marxis vulgar yang idealnya dialektika dijadikan senjata yang ampuh untuk menguak tabir ketidakadilan yang tercipta dalam sistem kapitalisme dan kemudian merubah sistem itu dengan konsepsi kesadaran kelas proletariat.
Lukacs telah 'menyadarkan' bahaya laten reifikasi yang digalinya dari konsep Marx tentang fethisisme komoditas. Inilah yang kemudian memunculkan kajian yang lebih komprehensif terhadap kapitalisme yang dalam setiap zaman mampu merestorasi dirinya untuk tetap hegemonik di dunia ini. Gerakan kiri baru (new left movement) yang sempat memuncak pada abad ke-20 di Eropa sejatinya merupakan kepanjangan tangan dari pemikiran Lukacs yang terejawantah dalam bukunya: History and Class Consciousness. Memang pemikiran Lukacs sendiri secara mentah-mentah ditolak oleh partai komunis internasional (Komintern), dan sungguh ironis ia pun sempat menyangkal pemikirannya sendiri. Namun, pemikirannya justru subur dan beranak-pinak dalam kacamata marxisme barat dan teori kritis bahkan menjadi 'kitab suci' gerakan kiri baru.
Ditangannya pula Marxisme memperoleh harkatnya sebagai filsafat sejarah yang seakan menyoroti kesempatan historis yang memanipulasi kesadaran dalam sistem kapitalisme. Beberapa tokoh sekolah Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer, Habermas, dan Marcuse merupakan beberapa tokoh yang terinpirasi dari pemikiran Lukacs. Pemahaman yang diulasnya seperti konsep reifikasi, totalitas, pembukaan kedok positivisme, sosiologi kontemplatif, kesatuan teori dan praksis, kesadaran kelas, merupakan percik pemikirannya yang pernah menyemangati mahasiswa dalam usahanya melaksanakan revolusi kebudayaan.[6]
KESIMPULAN
Sepanjang uraian yang sudah dipaparkan diatas setidaknya kita telah mencoba memasuki lanskap problematik pemikiran Georg Lukacs yang menempatkan Marxisme dalam keaslian revolusionernya. Dimulai dari mengembalikan fungsi materialisme dialektis sebagai metode untuk membedah kontradisi internal kapitalisme dan menawarkan perubahan mendasar terhadapnya. Meteode ini tentunya mengacu kembali ke dalam horizon pemikiran Hegel terutama konsep dialektikanya. Dialektika Hegelian tersebut yang oleh Lukacs ditempatkan dalam dimensi totalitasnya. Lukacs secara eksplisit menolak determinisme sosiologis dan ekonomis yang dikembang para marxis vulgar. Selain itu, ia menelanjangi ilmu empiris yang metodenya memakai ilmu alam untuk menjelaskan realias sosial. Ilmu inilah yang disebutnya ilmu borjuis karena tidak memberi kontribusi terhadap perubahan sosial dan sekedar menjaga status-quo semata.
Konsep kunci yang dibahas sebenarnya tentang agen historis yang melakukan revolusi untuk menciptakan tatanan masyarakat sosialis-komunis yang dirasa lebih adil daripada kapitalisme. Hal ini jelas dimana sistem kapitalisme telah melahirkan berbagai macam alienasi manusia yang membawa pada dehumanisasi. Terpusatnya modal dalam sebuah titik serta penghisapan tenaga kerja melalui mekanisme reifikasinya telah memudarkan harkat kemanusiaan seoalah seperti benda-benda mati. Tak ayal, kelas proletariatlah yang ditunjuk sebagai agen revolusioner untuk mencipta perubahan fundamental itu, hanya saja diperlukan sebuah kesadaran kolektif atas kondisi subyektif maupun obyektifnya. Kesadaran kemudian menjadi kata kunci karena tanpa diawali dengan sebuah kesadaran, perlawanan kelas proletariat hanya akan menjadi gerakan reaktif yang akan terjatuh pada ekonomisme naif.
Disini kemudian peran materialisme-historis sebagai metode untuk membedah artefak-artefak yang telah terlewatkan dalam sungai sejarah mendapatkan proporsinya. Lukacs memperdalam konsep materialisme-historis untuk menelaah proses alienasi manusia yang tercipta melalui mekanisme produksi kapitalisme. Sehingga proses kesadaran kelas pun tak dapat disangkal ketika kontradiksi kapitalisme itu terkuak. Reifikasi, kemudian menjadi titik tolak lanskap teoritiknya untuk membedah keterasingan masyarakat kapitalis. Hubungan manusia antar manusia direduksi menjadi hubungan kebendaan. Ini terjadi karena daya magis komoditas yang di agungkan oleh manusia padahal sebenarnya hanya semu belaka. Pula, dengan konsepsi nilai yang dilekatan dalam benda-benda yang sebenrnya bukan esensi benda itu sendiri namun rekayasa modus produksi kapitalisme. Kesadaran kelas sebagai sebuah totalitas menurut Lukacs harus berangkat dari fakta-fakta historis yang dikonstruksi kaum borjuis ini. Disinilah kemudian Lukacs memberi solusi kepada kelas proletariat agar mencapai tahap kesadarnnya dibutuhkan wadah yang berupa partai. Tujuannya jelas, yang tak lain agar proletariat tidak melupakan tujuan yang sebenarnya, yaitu revolusi dan penciptaan masyarakat sosialis. Di sini partai revolusioner menjadi wadah objektif penampung kesadaran revolusioner proletariat .
Partai revolusioner merupakan sarana bagi proletar untuk tidak jatuh pada pikiran-pikiran borjuasi. Kaum proletar harus disadarkan oleh partai revolusioner yang berkerja lewat fungsi moral. Mereka tidak begitu saja bisa masuk pada kemenangan kelas dan muncul masyarakat sosialis. Mereka harus diajak untuk berpikir dan menambah pengetahuan menegenai kemenangan proletariat dan itu hanya bisa dengan kesadaran murni proletar. Jika kesadaran diyakinkan akan berkembang begitu saja maka bisa dikatakan ini adalah hal yang utopis. Inilah yang dikritik Lukacs terhadap pandangan Rosa Luxemburg di mana ia berpandangan bahwa partai revolusioner hanya bertugas mengangkat ke dalam kesadaran penuh apa yang secara tidak sadar sudah ada dalam kesadaran proletar. Kesadaran tidak bisa begitu saja tumbuh melainkan harus dijamin oleh partai itu sendiri.
Dititk ini pemikiran Lukacs merupakan salah satu varian Marxisme yang mencoba mengembalikan lanskap epistemologisnya pada materialisme-dialektis-historis. Kita tahu yang mana setiap pemikiran dan diskursus yang muncul dalam bentangan sejarah tentu tidak hanya dalam satu tafsiran. Ada yang mengikuti secara membabi buta, ada pula yang memberi perspektif yang agak maju namun masih dalam acuan dasarnya atau bahkan sampai merevisi bagian yang dianggap usang atau tidak sesuai dengan konteks sosial yang ada. Demikian halnya marxisme yang tentu memiliki banyak varian. Dalam koridor ini Lukacs telah membuka perspektif baru untuk menempatkan marxisme tidak dalam bentuk dogmatisnya namun ia tidak keluar dari acuan dasar pemikiran Marx tentang materialisme dialektika historis. Selain itu marxisme di tangan Lukacs bisa dikatakan menemukan dimensi revolusionernya.
[1] Lih. Franz Magnis Suseno, Dalam Bayang-bayang Lenin,(Jakarta, Gramedia:2003) hlm. 87.
[2] Ibid, hlm 90.
[3] Goenawan Mohammad, Marxisme Seni Pembebasan, (Jakarta, Pustaka grafiti: 2011) hlm 158.
[4] Ibid, hlm 109.
[5] Karl Marx, Theses On Feuerbach dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works: Vol II(Moscow, Foreign Languages Publishing House: 1958), hlm. 403
[6] Franz Magnis, bayang-bayang Lenin, Op.Cit hlm 134.
Komentar
Posting Komentar