Langsung ke konten utama

Sebuah aforisme untuk konfrontasi kecil kawan KKN ku

Pagi itu, tubuh ku benar-benar tersayat oleh desakan mata yang terus merayu tubuh ku untuk datang ke pembaringan. Tapi sebuah pembekalan KKN yang merupakan syarat formal dalam studi strata satu harus ku hadiri. Seketika cepat aku beranjak menuju kampus yang menempa diri ku sebagai anak manusia yang diberi label mahasiswa. Sinar mentari yang redup menjadi penanda akan redupnya tumpuan mata ku. Semalam aku membunuh dan hidupkan kembali ribuan teks yang terlembaga dalam layar monitor laptop ku. Membaca dan mengurai enigma yang tergurat dalam kepala ku. Dan pagi adalah janji, untuk sebuah cita menuju kemenangan strata satu yang selalu diidamkan para Mahasiswa.


Sesegera kumasuki ruang yang terpampang nama ku, didalam sudah menunggu puluhan wajah yang bagiku asing. Tanpa pernah aku kenali. Dan aku dapati sebuah kelompok yang oleh para legitimator dilabeli I.D.1. ku temui wajah-wajah esoteris yang menawan, yang membawa kita kepada tempuk-junjung persahabatan. Persahabatan yang mungkin terlembaga secara formal oleh pertemuan di kelompok penugasan itu. Ya! Akhirnya kita beroleh tempat yang cukup strategis dan mudah diakses, agak pinggiran memang, dan kondisi sosio-kulturnya pun dalam tataran 'rakyat' bukan para aristokrat. Desa yang akan beberapa bulan kedepan kita sandarkan sebagai lokus pembaktian pada rakyat. Setelah sekian lama kita mengurai teori-teori yang cukup abstrak, akhirnya tibalah untuk menuju praksis, menuju dunia material-objektif tempat manusia bergumul, bersosial, dan berkonstruksi pranata. Sindurejan rw 09 mendaratkan kaki kita ke pengabdian praktis ini.


Syahdan, pengabdian dan tugas formal untuk beroleh nilai, dalam arti kuantitas, A, B, C, D... lambat waktu menyublim bersama gerak nokturnal tubuh kita, membawa keriuhan yang kita ejawantah dalam program untuk masyarakat-warga. Kita belajar dalam ruang publik kewargaan, bergumul bersama kerasnya kehidupan dunia sehari-hari. Hubungan kita dalam "kawan formal" itu pun terus berjalan, acara demi acara kita lewati. Dan hubungan itu tanpa terasa menjadi hubungan kultural yang tak terlalu mengikat, hanya tanggung jawab; bagi kita sendiri, bagi kelompok untuk menjaga nama baik almamater dari cibiran para warga yang tak puas kinerja kita, atau mungkin demi rasa 'eman' terhadap nilai untuk mendongkrak index.


Terkadang karena kesibukan atau alasan mendesak lain kita dengan rasa penuh sesal harus meninggalkan tanggungan kita bersama kelompok. Memang agaknya menyesakkan dan mungkin terbesit rasa iri dan semacamnya bagi kawan yang mungkin selalu mengikuti kegiatan secara berkala tanpa lebel "m'bolos". Tapi itu sekedar persepsi oleh kemauan diri yang terkadang tak bisa kita mengerti orang lain. Tapi kita hanya manusia biasa, kita punya nafsu, hasrat, convoitese yang kadang kita lekatkan pada orang lain. Karena itu adalah "aku" yang selalu mau menang sendiri, tapi aku selalu ada-dalam-dunia bersama yang-lain, bahkan tanpa kata "kamu" kata "aku" tak akan sama sekali bermakna. Aku selalu hidup bersama yang lain dan dengan yang lain itu terselip hamparan makna yang dapat menjadi pelajaran menuju bijaksana, begitu kata filosof Yunani seperti namanya PHILIA (mencintai) SHOPIA (bijaksana). Walau terkadang orang lain adalah neraka bagi aku, begitu Sartre filsuf eksistensialis perancis pernah berdecak, tapi itu hanya sekedar retorika para orang kalah yang hidup tanpa makna sama sekali. Terkadang aku juga selalu merasa dalam kehendak-menuju-kuasa tapi kehendak itu seketika luruh oleh kepentingan bersama demi kemaslahatan bersama kita. Disitulah etika memainkan nada mayornya untuk mennghargai dan mengafirmasi yang-lain sebagai bagian dari sesama kita: manusia. 


Kalian bukan objek ku, aku pula bukan objek kalian... kita adalah retakan antara subyek dan objek yang terus berproses dalam dunia hidup untuk menjadi, menuju telos, menuju tujuan bersama objektif kita. Mungkin semua sudah telanjur terjadi, tangis sudah menepi, air mata menetes di sela-sela pipi. Tapi semua adalah momen kehidupan, semua akan menjadi sejarah. Sebagaimana dikatakan Hegel, hidup adalah dialektis, tiap entitas akan selalu saling menegasi dan akhirnya menuju pamungkas kesempurnaannya. Dan sesampainya nanti jangan sampai sesuatu yang seharusnya indah itu bermutasi menjadi titik antagonis yang selalu mengumbar emosi dan umpatan berjumbuh kepada sesamanya. Aku sekedar mengukir maaf atas segala gestur yang tanpa sengaja aku hujam, atas segala ucap yang tanpa sengaja menggores luka, atas laku yang tanpa sengaja memipih rasa. 


Sadar atau tidak kita tersesat dalam pengakuan kolot dan hanya melihat satu pintu tertutup di antara ribuan pintu yang terbuka lebar-lebar, dan kita hanya berlari melewati jalanan sempit gelap tak berpenghuni di antara tanah lapang  ramai di kerumuni jiwa-jiwa penolong. apakah kita masih berbicara tentang keadilan yang seakan-akan kita tidak mendapatkan apa yang semestinya kita dapatkan? ataukah kita mencaci setiap kesalahan untuk menutupi kotoran diri yang berserakan di tepi-tepi hati? Untuk menjadi benar tidak harus menyalahkan orang lain, karena kita memiliki kekuatan yang sama untuk melakukan kesalahan dan kita memiliki kekuatan yang sama untuk melakukan kebaikan... Adieu...

Komentar

Populer