Langsung ke konten utama

“Aku”


Kala pagi menghamparkan pijar mentari, menyuluh sepi hati yang tertikam oleh makna keriuhan pekat manusia yang saling mengalahkan satu sama lainnya. Disebuah sudut  kota, kelimunan manusia semakin menjalar seiring mentari yang mulai menanjakkan kakinya di ufuk lazuardi. Aktivitas dan mobilisasi kemudian semakin menyeruak hingga berjejal arusnya dari berbagai sudut, sehingga arah pun tak terlau dihirau. Berjejal layaknya komoditas yang tak memiliki rasa untuk berbagi, bahkan sebuah cinta dimaknai sekedar sebagai pemuas hasrat untuk menjadi suci dengan gelimang uang kelebihan. Dihamburkanlah semua demi kesenangan sesaat dan hura-hura penuh dekadensi moralitas. Demikianlah riuh kehidupan kota yang penuh pekat hedonistik tanpa makna dan hampa dalam ihwalnya. Namun sebuah paradox terpampang sempurna, dijalan-jalan protokol begitu berjejal manusia yang menguras keringat untuk sekedar berebut sebungkus nasi: tukang becak, penjual Koran, penjual asongan, pengamen, hingga pengemis-pengemis yang kehilangan jati diri dan martabatnya karena sebuah tatanan yang memaksanya demikian, pula diiringi rasa malas karena pekerjaan yang ada tak mencukupi kebutuhan hidup yang semakin berjubel dan merangkak kemahalan…

Diantara mereka semua, seorang pemuda berjalan menyusur selimpit harap disebuah kota istimewa tempat para wangsa berkuasa, tempat berbagai tradisi meninggalkan jejak artefak sejarahnya, Jogja demikian kota itu dikenal orang. Selayaknya manusia biasa, ia mencari sebuah cita-cita dan kebahagiaan hidup yang selalu menjadi mimpi bagi setiap insan menuju tangga kesuksesan. Mahasiswa, demikianlah ia dilabeli. Dengan identitas itu ia seolah menjadi manusia super yang bahkan nyaris menyaingi Tuhan. Berbagai puji-puja pun selalu tertanam pada namanya: agen perubuhan, agen revolusi, bahkan agen perbaikan moral.

Namun dalam pikirannya yang serba ideal itu, ia merasakan sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang dilabelkan pada identitasnya itu. Ia melihat sesuatu asing yang menyerbu kampus-kampus sebagai lokus intelektual yang seharusnya dihias oleh kelimun mahasiswa berdialektika dan mata-mata yang selalu membaca buku-buku. Kini, mahasiswa menjadi suaka komoditas dan ajang pamer citra serta gengsi untuk menaklukan apa saja dengan barang-barang mewah dan bermerek tentunya. Mungkin semuanya telah terlena dengan bujuk rayu simbolik para bintang-bintang sinetron dan magis iklan untuk berpose didalam ruang kuliah. Memberhalakan barang-barang miliknya untuk pamer kuasa, pamer pengaruh, pamer tubuh, dan pamer harta. Ada homogenisasi, ada penyeragaman selera disana, hanya saja sesuatu yang indah dan merayu hasrat itu lebih dipercaya dari pada rasionalitas dan logika yang kemudian menjadi pigura sebagai hiasan agar kelihatan gaya dan cendikia. Bahkan motor Ninja dan mobil Honda Jazz bisa jadi media untuk merundukkan rasa saling suka dan berganti pasangan setiap waktunya.

Kebebasan, itulah yang jadi kata kunci dalam menjalani kehidupan di tanah rantau. Kehidupan urban memang menjanjikan segala keriuhan dunia. Untuk bersenang dan tertawa telah dijajakan disepanjang jalan, untuk bisa menjadi pintar pun sudah disediakan dalam berbagai wahana kreativitas estetis dan ilmiah. Semua tinggal bagaimana mendayagunakan kemauan menuju tangga yang diharapkan. Bahkan kebebasan itu menjadi sebuah jalan, karena kebebasan disatu sisi akan membawa manusia pada kebahagiaan tiada tepermanai pula tak jarang kebebasan itu justru menjadi pintu masuk menuju jurang kerendahan hidup manusia oleh keliaran nafsunya.

Pemuda itu terus berjalan, menaja hidupnya bersama makna soliter dirinya, ia memaknai rentetan alur peristiwa yang dipertunjukkan melalui montase realitas yang penuh ragam warna. Sang pemuda pun tersenyum, karena ia memiliki banyak teman yang berpaut dan mengisi rekam jejak kehidupannya. Semua datang tanpa diundangnya, hanya mungkin ketidaksengajaan yang mungkin disengaja membawa perjumpaan pada tiap wajah yang melibatkan diri dalam episode kehidupannya. Disana pula sang  pemuda itu menemukan sebuah cinta, meski terkadang ia tak mampu mengartikulasikan cintanya pada sesosok gadis yang ia puja. Telah lama, ia memendam sebuah rasa yang dalam dan tak kunjung ia ungkap karena ada sesuatu yang membuatnya risau. Demi persahabatan mungkin terkadang menangguhkan rasa adalah sebuah bijaksana, karena dalam perspektifnya sahabat itu lebih abadi dari pada pacar yang seringkali mudah tergoyahkan oleh egoisme dan dentum nafsu tentunya.

Cinta memang bukan rasa biasa saja, ia datang ia berpaut dan terkadang menghentak sisakan riak-riak luka, terkadang pula membuat sukma tergetar hingga haus dan lapar pun tiada terasa. Ada semacam ekstase hingga seolah-olah menemukan sesuatu keindahan “yang-lain” tiada terkira bahkan logika mati tak bisa jadi neraca. Tapi itulah kehidupan, bahkan seseorang tiran pun tak bisa menolak sublimnya cinta, atau mungkin seorang penjahat berwajah seram sekalipun, apalagi seorang mahasiswa biasa, seorang aktivis. Meski riuh kehidupan selalu berbeda, karena keyakinan dan pengetahuan manusia dalam memersepsi realitas akan selalu beda adanya.

Tapi cinta itu subjektif sekali dan sekedar hubungan primordial antara dua anak manusia yang jadi tujuannya. Demikian sang pemuda agak menyadari yang mana sekelilingnya sedang dalam kelumpuhan rasa, manusia melupakan cinta dan memagarinya dengan sejumput hasrat: hasrat untuk berkuasa, hasrat untuk memiliki segalanya, hasrat untuk menang sendiri. Inilah kemudian berkecamuk perang, pembantaian, pembunuhan, serta kemiskinan mendarah-darah. Bahkan hari ini semua itu tak dilakukan dengan senjata, bom atom, ataupun rudal. Tapi dengan kuasa modal yang membawa dunia dalam persaingan abadi untuk mempertahankan hidup dari kematian. “hanya cinta yang bisa sejukkan dunia” demikian pemuda itu terngiang sebuah lagu lama Dewa 19 yang membuatnya semakin mengerti bahwa hidup tanpa dilandasi cinta akan berakhir pada sebuah jeratan lara dan kemiskinan jiwa.

Tapi lagi-lagi ia menyadari semua itu sekedar sebuah teori tentang utopia kemanusian. Hingga tanpa bisa dihindari dan dielakkannya sebuah dunia yang memang demikian adanya, tapi itu bukan apologi. Mau tak mau, ingin tak ingin, ia terus bergelut dan melawan setiap rona ketidakadilan dan kesewengan yang terpampang. Dalam tingkatan wacana (diskursus) pemuda itu selalu berusaha berdialektika, menulis puisi dan terkadang tulisan-tulisan kecil tentang teori perlawanan dan tentu CINTA. Dalam tingkatan praktisnya sang pemuda terus menjalani dan menempa diri dalam ruang social dalam pergumulan gerakan mahasiswa yang membawa misi kemanusiaan. Meski, sekarang dirinya selalu tertikam oleh sebuah rasa sepi, yang mana sepi itu terkadang ia rasakan dalam keriuhan manusia, dan kadang dalam hening malam justru ia merasa bising oleh kehendak-menuju-kuasa.

Sesampainya kini, pemuda itu berjalan lagi menyusuri titik [0] pusat kota ini, berteriak lantang dengan megafon yang memekik janji tentang keadilan, yang memekik rindu akan kesejahteraan serta nyalak umpatan pada birokrasi kekuasaan serta komprador yang merampas harkat kemanusiaan. Berlari ia kemudian menepati janji cintanya yang lama ia endapkan dalam relung terdalam hatinya. Bahkan ia tertawa melipur diri, karena setulus cintanya tiada pernah diakui. Tapi ia masih menunggu dan menafsirkan jejak-jejak wajahnya diujung cakrawala, menafsirkan realitas yang penuh enigma. Bersama itu ia selalu merapal doa agar semua tersenyum bahagia, agar seseorang yang dicintainya tak bergumul sayu dan lara. Pemuda itu terus bekerja dalam keterbatasan, dalam kerinduan untuk mencapai satu harapan yang ia dapati dari bunga-bunga tidurnya… ia terus berjalan, melangkahkan kakinya meski salah satu kakinya luka tersayat oleh kejam realita. Pemuda itu pun berlari menjejaki satu jalan yang ia telah tambatkan, menjemput mimpi tuk mengejar fajar merah emansipasi [...]

Komentar

Populer