Wanita yang indah adalah wanita yang bersih dalam diri, bersih perkataan dan bersih perilaku, sedangkan laki-laki yang indah adalah laki-laki yang berahklak. Ketika kedua insan itu disatukan maka mereka adalah pasangan yang ditetapkan disorga. Berlari dari tumpuan hilir yang membawaku jauh dari akal yang telah membodohi harapan, dogmatis bisu menjejali kerasnya nurani yang kian tertutup pemimpi kecil yang bermimpi jauh lebih besar dari dirinya, berdiri di antara bayangan dan menyamakan tinggi perwujudan aslinya, menatap pemahaman ilusi yang keras menginjakan kaki keputusasaan, aku bergeming mencaci kama birahi. Berbisik kata kesetiaan di tengah hamparan firaun dan menyiramiku dengan air keajaiban sisa Musa. Tertenun lembut sutra yang telah lama aku simpan dalam peti kematian akan harapan, menyemayamkan tirani kotor dalam lubang tak bernisan, taburkan wewangian bunga sebagai penanda matinya penantian yang sekian lama aku bangun untuk seorang maharani, pembenci yang merasakan satu pembodohan cinta, menanggalkan arti pemohon yang menyendiri didepan kisah yang mulai menertawai setiap umpatan yang tersanjung.
Untuk berjalan aku hanya membutuhkan satu tumpuan melompat jauh ke depan, dua kaki saja tidak cukup untuk mencapai titik 9 angka suci cina, kaki dua saja tidak cukup untuk berlari dari kejaran angka 666 sakral. Jiwa ku terhempas mendengarkan nyanyian sore yang kian matang atas cibiran pagi yang mempesona. Aku terlentang memandangi balut kusut dari kejauhan samudra perandaian sampai tersadar akan beban yang telah lama membatu dalam karangan hidup. Aku bagaikan sepotong kepercayaan yang dibagi untuk para pendusta agama, untuk pembohong mentah yang menelanjangi aksara mulia madina, atau cerita pengakuan rosul yang telanjang di depan umat belianya. Atau seorang pelacur yang menjual ibunya sebagai pembalasan hidup, atau cerita seorang ayah yang menjilati anak-anaknya? Lalu cerita apa lagi sebagai penanda akan bengisnya pengakuan saudara sekandung yang nista. Pantaskah sebuah kehormatan di buang atas nama kepercayaan dan atas nama sedarah?
Menjulur geserkan pandangan sempit seorang pecundang untuk bisa mendengar bisikan pramuria jalanan, atau mereka telah lama berdiri menunggu rangkulan kebiadaban kekal? Jauh berfikir menuruti hedonisme yang telah mengunci rapat-rapat arti nurani nabi, yang telah menyebrangkan kiblat ke arah bujuk nafsu. Mereka adalah perumpaan kotor yang berjalan di atas kain putih dengan kaki hitam membekaskan tiap jejak pendosa, kusut terinjak pijakan karina pembohong yang terlentang ditengah-tengah fitnah senja. Keagungan yang datang menghancurkan sekrumunan manusia pemberontak jiwa. Aku tertahan dalam titik perandaian basi dan kian membelakangiku, aku tersenyum melihat pekikan rapuh artikan permohonan rendah seorang satria lemah.
Menjulur geserkan pandangan sempit seorang pecundang untuk bisa mendengar bisikan pramuria jalanan, atau mereka telah lama berdiri menunggu rangkulan kebiadaban kekal? Jauh berfikir menuruti hedonisme yang telah mengunci rapat-rapat arti nurani nabi, yang telah menyebrangkan kiblat ke arah bujuk nafsu. Mereka adalah perumpaan kotor yang berjalan di atas kain putih dengan kaki hitam membekaskan tiap jejak pendosa, kusut terinjak pijakan karina pembohong yang terlentang ditengah-tengah fitnah senja. Keagungan yang datang menghancurkan sekrumunan manusia pemberontak jiwa. Aku tertahan dalam titik perandaian basi dan kian membelakangiku, aku tersenyum melihat pekikan rapuh artikan permohonan rendah seorang satria lemah.
Mencoba keluar dari pandangan kelam dan bangkit dengan nafas tersendat, ku tulis cerita sore sebagai awal karangan hidup yang telah memberi kehidupan. Setiap hantaran kata memberikan penjelas untuk umat tersesat dibalik keraguan dan ketidaktahuan, arti kata secara lugu menggambarkan perumpaan polos untuk dipelajari oleh setiap insan, dogmatis tunggal yang mengajari sebuah kesaksian kebenaran untuk agama dan hidup yang telah aku pilih.
Aku terhenyak dibalik peraduan singgahsanaku, menyimak perkataan bias yang sengaja mencari pertengkaran diantara cela jiwa pendamai. Kasih Hittler adalah cerminan ketulusan berbalut kerakusan dan kekuasaan yang tersidang untuk pasukan keji oleh nyanyian-nyanyian nazi. Perangkat mimpi yang dibasahi pelatuk petrus untuk satu kematian pembesar yang bijaksana. Halusinasi jiwa menggembara hingga menembus perwakilan fikiran yang tak tersentuh oleh kebiadaban penjilat rupiah, mereka mengemis dengan sopan, mereka merampok dengan drama hina, berdasi dan berjubah kehormatan, berjalan membusung tegakkan dada menuju pinggiran neraka dan pembangkang yang menyerukan narasi palsu untuk rakyat-rakyat yang kaku. Belajar memahami doxa demi sebuah pembenaran, mencari tuan mulia dikegelapan yang mulai memudar terhempas sinar mentari pagi.
Aku berjalan melewati tumpukan harapan yang telah lama aku tinggalkan bersama keputusasaan, satu tempat pendamai yang terusik penantian maharani, menjelma satu sinergi hidup yang membangunkanku dari hipnosis kasar. Sejenak aku termenung ratapi tepian bebatuan yang telah mendalam tercucur air pembasah dewi welas asih, menggagumimu adalah pelarian panjang yang melelahkan, terus berlari tanpa tahu akhir pelarian, menggagumimu adalah sebuah perjudian yang tak pasti hasil dari sebuah pertandingan. Namun, menggagumimu adalah kesempurnaan jiwa yang tak terbalas titik kehormatan manusia bahagia.
Maharani adalah jemari yang memegangiku erat-erat ketika nafasku mulai terhenti, matamu adalah tatapan terakhirku ketika aku pergi melihat kematian, senyumanmu adalah kesetiaan yang menemaniku melewati lorong kemunafikan. Aku adalah orang pertama yang terluka ketika melihatmu tersenyum, karena aku takut suatu saat nanti aku tak bisa membahagiakanmu, aku adalah orang pertama yang terbebani ketika aku melihatmu termenung, karena aku takut suatu saat akan kamu kecewa atas kekuranganmu diantara segala kesempurnaanmu. Aku ingin hidup bahagia dan mati bahagia bersamamu maharani.
Satu sosok jiwa yang kembali hadir dalam pangkuan mimpiku, satu perumpamaan indah yang meyanjungku kembali bersinar dibalik tahtanya, satu belaian mesra yang mendekapku dari serbuan musim dan akhirnya potongan kisah ini terurai menjadi sebuah kisah indah yang harus di akhiri kalimat penjaga, yang harus diakhiri oleh salam bahagia. Kau mengumpan titik tersimak dari pagar penghadang, kau menelan mentah-mentah cerita pilu tentang arti kesetiaan yang telah lama ku buang, kau juga mengajariku tangisan ketulusan untuk melihat jiwa lemah di balik keangkuhan ini, aku adalah pintu terakhir yang berdiri di belakang kekecewaanmu, berharap kau menyentuhku dan mulai memasuki kehidupan yang telah lama suri tertinggal bayangan indah masa lalu, apakah maharani menyadari semua ini? Ataukah dia hanya sebuah patung tak perasa yang berdiam melihat kasih sayang ini?
Aku menjerit ketakutan melihat satu jalan sempit yang tertutup oleh kebosanan penantian, mengubur rapat-rapat sisa lubang pembekas yang kian membusuk diujung bagian. Aku terhenyak menyasikan petualangan jiwa yang bersimpuh kekalutan menuju bayang kelam abadi nan suci. Beralaskan keyakinan jiwaku menapaki palpitasi menuju isyarat dari titik temu yang selama ini bersembunyi dibalik dewa mata satu, tertutup gibasan angin yang membelot ke arah penantang.
Dalam gelap aku melihat sinar terang yang menyapaku dari kejauhan melambaikan kebahagiaan di antara pengingat yang mulai rabun oleh penindasan hati, mencemooh durjana dengan umpatan kata pemisah antara cinta dan luka. Sendiri mendalami sepi yang kian membenci, menelaah setiap gerak jiwa dan kemana akan melangkah melanjutkan pijakan yang terhenti tertimbun mimpi, yang terhenti terbebani penyesalan kasih dan yang terhenti tertarik putaran karma. Tertinggal ribuan tanya tentang identitas diri sampai dimana dan kemana pencarian jawaban atas segala pertanyaan nurani. Membayangkan satu sabda mengikatku dalam tuntunan kesempurnaan dan mengajariku ilham pencerahan hakiki seraya mendendangkan puisi rusak yang mampu memberontak seluruh isi jiwa rungumu, yang mampu mengejar ceceran poin tahta kemenangan yang tertinggal oleh penantang kebahagiaan. Bangkit dan berdiri menantang perbedaan nyata antara sahabat dan penghianat, berlari mengejar kedamaian yang sejenak terampas oleh tangan komprador yang bersumpah di antara telinga para binatang, mereka tertawa mendengar pesakitanku seakan penanda akhir dari sebuah pengharapanku yang telah sekian lama aku bangun. Sesampainya di batas luka yang merindu pelukan hangat jiwa aku menyelinap di balik perjamuan terlarang, ketika berlari berarti kita bersiap terjatuh, ketika tertawa bahagia berarti kita bersiap menangis kesakitan, ketika memiliki berarti kita bersiap kehilangan dan tak usah menyesali dan menyalahkan keadaan karena itu, justru keadaan yang mengajari kita untuk lebih memahami diri dan keadaan orang lain, seperti begitu yang di ajarkan alam ini. Sadar atau tidak kita tersesat dalam pengakuan kolot dan hanya melihat satu pintu tertutup di antara ribuan pintu yang terbuka lebar-lebar, dan kita hanya berlari melewati jalanan sempit gelap tak berpenghuni di antara tanah lapang ramai di kerumuni jiwa-jiwa penolong. apakah kita masih berbicara tentang keadilan yang seakan-akan kita tidak mendapatkan apa yang semestinya kita dapatkan, ataukah kita mencaci setiap kesalahan untuk menutupi kotoran diri yang berserakan di tepi-tepi hati. Untuk menjadi benar tidak harus menyalahkan orang lain, karena kita memiliki kekuatan yang sama untuk melakukan kesalahan dan kita memiliki kekuatan yang sama untuk melakukan kebaikan […]
Komentar
Posting Komentar