Aku tak butuh diakui
Cukuplah kau mengerti saja
Perihal rasa mewaham tanpa terduga
Setiap titik akan selalu berbeda
Tiada yang sama pada hakikatnya
Benarkah cinta harus selalu terkekang dusta?
Semut merah bergumul mencari gula
Bagai manusia yang terus mengurai fenomena
Menunggu-nya sampai waktu mewedarkan makna
Jika aku ingini, bisa saja aku memalingkan rupa
Telah banyak bunga di altar pemandian sana
Tapi bukan itu yang aku taja
Karena sebuah rasa bukanlah permainan kama
Ku nikmati sepinya saja hingga menelentang bianglala
Hanya wajahnya, hanya senyumnya menggema
Meski lalau menutup sukma untuk mengharapnya
Jika jalan cerita menjadi berbeda
Tahniah ku lafalkan, agar kau selalu dalam bahagia...
##
merapat cahaya kala subuh menggema
tubuhnya luka disayat cinta
hatinya melepuh diterpa dusta
menertawa Tuhan, memuja logika
Tuhan bukan pikiran
Tuhan tak bisa kau lukiskan
hanya iman oleh diri yang fana
epifani pada suatu pagi
menanti mentari menyemai sepi
kini agama menjadi kering karena dogma
etika tiada guna tanpa sesuatu beda
bukankah dunia difitrahkan bhineka?
Membenteng diri demi puah eskatologi
Iman yang mana jadi neraca pembebas diri?
Demi manusia yang maunya menang sendiri
Ku ucap selamat pagi, tuk awali kedamaian hari nanti...
##
lawakan yang mana lagi buat kita lepaskan tawa?
kepada Tuhan yang mana lagi kita bermunajat?
kesakralan apa yang membuat kita buta kebebasan?
kebenaran yang mana lagi yang akan kita imani?
hidup ini seperti berjalan diatas papan catur tiada alas
bertebaran makna sesampainya tak ku temui batas
selalu mencari, menemukan kembali rumah aku
meng-ada, menjadi diri sendiri temui jalan sepi
di depan sana menanti balairung penyandar harap
ini cinta merupa kama hingga batas jiwa
bergerak lagi temui suluh dalam muruah
sehingga senyumnya terasa lagi kala pagi menjelma
berfusi horizon rasa aku dan dia dilumbung semesta
ku yakini saja, meski sekedar mimpi ketika mata masih terjaga..
##
seseorang pernah ada disana
seraut pena kecilnya
melumpuh kala dibungkamkan rasa
menggeleparkan semenanjung biru
melupakan tiap sajak pelalak nafsu
mengubur tiap pekik janji
mencari matra tiada pasti
tapi hati tak bisa mendusta diri
ia tetap menunggu satu wajah di ujung cakrawala
mendedah ihwal hakikatnya
serumpun kertas putih jadi saksi pesan terakhirnya
tentang ketakhadiran sekian lama
lintang berpagar rembulan mengiring asanya
kembali menari menujum resah tiada tepermanai
malam memekat menertawa kebenaran
badut-badut ancol tersipu kedunguannya
siapakah jadi pembunuh Tuhan-ku?
tapi mereka tetap diam berjelaga sepi...
##
semakin hening membebas
tiada tempat menyandar puas
cinta melepuh berkarat buas
keliaran nafsu menjuntai lepas
ah! semuanya tiada pernah melihat dirinya
bermunajat hampa kala keindahan menggema
setiap malam beriring rasi bintang
perlahan merupa pagi saat bersemi
bukankah hidup penuh enigma?
hanya nalar sempit melupa rahmat-Nya
hanya hati kering menepis karunia-Nya
bertahan setan, berkubang kemelaratan
demi mimpi geram dusta memesona
neraca yang mana jadi papan dasar kebenaran?
bukankah kebenaran telah menebar disetiap paham?
sinis berjuntai liris wajah terlelahkan
merasa diri paling suci tanpa tersalahkan
wajah yang mana jadi cakrawala pelipur lara?
setiap wacana mengering atas daya logika
mencari pembenarannya dalam deru kuasa
setiap lara pasti terobati
seiap sepi pasti tersusupi
hingga pagi menjelma bersama jejak waktunya
hingga wajahnya memukau senyum degup jantungnya
saat semua kembali, hapuskanlah tiap angkuh yang menubuh
maka izinkan aku menemui-nya, bawa ceritanya lama berjumbuh...
##
Sebuah jumud mendera sebelum hari
Mengawam pikiran kala melupa diri
Ku ingat kembali, sebuah pesan untuk tepikan harap
Meski hati tak bisa menipu diri untuk berharap
Semua mengerti, manusia tiada sempurna
Selalatnya aku mendekat hatinya
Menunggu hingga larap terbaca atas Takdir-Nya?
Aku bukanlah apa-apa, hanya seorang jalang pembangkang
Layaklah tiada tempat bagi ku dihatinya
Tapi rasa ini tiada bisa aku lupa
Meski sekeliling berjuntai paras ayu memekat
Ku titipkan saja rasa ku pada angin yang terlewat
Dan senyum semoga menghias harinya, meski bahagia oleh yang-lain
disana...
Aku taja lagi sebuah fenomena, sesuatu yang tak seharusnya engkau
lupa..
##
Sudah pagi, lekuk mata meresap kantuk terjuntai... Entah apa,
sesuatu tiba-tiba menyembul dalam nurani.
Sebuah keinginan yang nyatanya hanya delusi, atas ketakberdayaan
memupuk rasa terjejaki.. Ku buka lagi halaman tiap buku yang merumput makna, di
luar sana angin menelusup tubuh semakin menggigil kedinginan.. Ku tunggu
mentari menyuluh sepi, hingga waktu ku habis kala menaja sesuatu tiada pasti..
Tapi aku masih merasanya, meski ku sadari akan terbuang lagi oleh sederut
wajahnya... Semua adalah proses menuju 'ada' yang membawa cerita tiada epilog
saat terlupa... Hanya kepada Mu ya Allah kami melipur diri, atas kesombongan
tiada terperi, atas laku saat melacur diri tiada tersadari... Semoga esok
nanti, tiada tangis memicis senyumnya, tiada dendam memekat di hatinya, dan
seteguk cinta masih terasa di tiap titik kecil aliran
darahnya...................
##
Bagi 'aku' yang merasa tersakiti janganlah menujum dendam karena
dendam kan membawa pada keriuh-rendahan jiwa, bagi 'mereka' yang merasa menang
jangan sakiti lagi dengan nubuah kata yang memekik liris kala luka meronta...
Hidup ini indah, jangan siakan hanya karena kegagalan kesekian kalinya,
pintu-mu selalu terbuka! Hanya kreativitas dan semangat hidup membawa jalan
kita menuju tiap bait kesempurnaannya... Dan kembalilah dititik awalnya,
mengurai lagi titah sucinya, saat semua tertawa resapkanlah tawanya meski harus
kembali tertikam, meski harus tertusuk mawar berduri... Ku ucap selamat pagi,
untuk sebuah prologomena tentang tafakur diri di hadap semesta Ilahi...
##
Demi masa terlewatkan
cahaya pagi beresonansi menyuluh sepi
Tak kurasa lagi, senyum kecilnya mengimaji
Sesungguhnyalah aku paling merugi
Atas bentangan nikmat Ilahi
Atas limpahan karunia-Nya tiada tepi
Hanya waktu membawa sukma ku kembali
Mempertanya diri atas rasa tiada tersampai
Kembalinya segala sesuatu
kala desau wajah ku membuka ingatan lalu
Kalam mempesiang iringan dogma terpaku
Kebebasan dalam liang lahat akal membeku
Lambat arungi cakrawala makna ke-aku-an ku
Hingga ia menolak penantian terjejak
Fenomena yang terus menyembul tafsir
Sajak yang hilang tertanam pendulum hasrat
Tetapi kebenaran telah menyebar di setiap wacana
kita taja alur cintanya, menepati janji utopianya
suatu hari nanti tiba, kita akan mengerti makna hakikatnya...
Dan biarkan jalannya terbuka, dan hatinya membawa cerita tanpa
prologomena...
##
Menanti pusaran ide melupa aku
Titik cahaya menebar pusaran debu
Karena waktu tersiakan pusara tiada guna
Sesuatu yang harusnya tak terlaku
Kini hanya diam menghardik sang surya
Bukankah hidup penuh kotoran berkubang di sela hati?
Orang suci adalah mereka yang melupa kama
Tapi benarkah hanya korbankan diri merapal doa?
Melupa dunia yang sejatinya masih terluka
Aku bukan sufi, bukan filosof, bukan pujangga, bukan pula komprador
yang buta nilai estetika...
Aku hanya manusia yang menaja cinta
Seperti pagi dengan bentangan sublim gradasi cahaya
Dan langit yang setia menudungi bumi atas nafas desah manusia
Pula kelimun mega yang membawa narasi untuk mereka yang meronta
kekeringan
Diantara resapan keteduhan semilir angin, aku melihat berpuluh eksemplar
manusia saling melupa
Menumpuk kehendak diatas cita setinggi gunung hanya karena nafsu
diri-nya
Akal-instrumental aras kuasa mencipta 'aku' yang tak memeduli
'mereka'
Tapi sejarah belum jua berakhir
Klaim ideologis semata membuat kita percaya
Seandainya cinta masih ada, aku pinta pada sang pencipta untuk
menebar benihnya ditiap jiwa...
Sehingga esok berakhir bahagia, saat fajar merah transendensi
menyeruak arungi peradaban manusia...
##
Setiap manusia memiliki keteguhan sukma
Meski berbeda, saat melawan realita
Terkadang kesadaran adalah ketaksadaran
Terkadang tertinggal sendiri saat semua tertawa
Atau merasa diri bukan siapa-siapa
Bahkan merasa dirinya-lah tinggi segalanya
Kita semua sama, hanya persepsi atas dunia menjadi berbeda
Kalau mereka bisa? Mengapa kita harus melacur martabat diri?
Tetapi semua adalah persaingan abadi
Monopoli serta kecurangan menjadi norma sejati
Etika yang mana jadi ukuran kehidupan?
Bisakah mencintai tanpa korbankan aku yang-lain?
Selama ini kita sering tenggelam, fakta kita tutupi dengan citra
kepalsuan wajah menampak
Hingga malam memekat gelap, mengiring langkah gontai terlelap
Gugus bintang memahat utopia, manusia hidup dibalut pengap tradisi
Hanya desau cinta-lah dunia memekik tawa, seiring gejolak nafsu
memenangi semua
Aku pun harus berlari, mencari wajah ayu-mu di hamparan langit
malam ini...
##
Hari ini peristiwa berlalu membeku nestapa
jelaga tawa bercampur senyap luka
Ku rasa senyumnya masih aku baca
Dipenghujung jalan bernubuat makna kebenaran
Terpekur bahagia saat matahari menjelang malam
Berdesau mereka atas keributan etika
Hubungan yang mana akan menaja cinta?
Klaim abadi atas teks yang disakralkan
seolah Tuhan pernah dihadirkan di dunia
Tapi setiap orang masih berdebat tentang keadilan
Saat mengering sungai dan kematian ideologi
Bisakah engkau menjawabnya bersama cinta?
Fenomena intensionalitas mental karam melambai
Alirannya terpental saat aku memersepsi materi
Lalu? Dimanakah cakrawala tujuan kita?
Terus memaknai adalah janji
Membaca tiap gerak gramatikanya
mencari arungi belantara imajinasi
Ku ucap padanya untuk hiasi hidup oleh senyuman
dan malam mencerita sepi, ketika pasar merekayasa manusia menjadi
benda-benda, manusia beriring lalat-lalat yang dikebiri kelimun uang recehan...
Pada waktunya kita akan menyandar cinta, hingga pekat malam membawa
pesan katakhadiran mimik senyumnya...
##
Keteduhan sunyi saat pagi kembali menari
Dingin udara menelusup tubuh ringkih ku
menaja transendensi termediasi permadani
Aku selalu saja berkeluh sayu
Tanpa pernah berucap syukur
Diatas semua egosentris menyesat
Bahkan sempat ku bunuh Tuhan terlewat
Aku yang hina, penuh lumur dosa
Tak kusadari nikmat tak terhingga
Ditiap lekuk nafas, disekat aliran darah
Bahkan semua kekecewaan yang laknat
Terlalu naif, saat sebuah titik kecil aku persepsi menjadi lubang
membesar
Hanya kepada-Mu ya Allah, aku menjemput sujud
Menengadah kebawah bersama iringan ayat semesta
Terpekur oleh kedamaian abadi, saat kama menjadi cinta, saat resah
menjadi damai bahagia...
Segera berlari menjemput sinar mentari
Membuka tabirnya di horizon timur
aku pun beranjak melintas alur sesaat lalu
Keinginan dan harapan semu, oleh keindahan wajah-nya terlewatkan
Semoga ia tertambat senyum yang-lain
Meski harus berjibaku, meski harus melata asa
oleh sayatan kejam sejarah, disertai degup kencang keributan nafsu
Berlari dan temukan lagi, sesuatu yang pernah singgah di hati,
untuk-nya aku menunggu..
##
Kembali asingkan diri saat malam bertahta
Membekas seutas wajah sepi diujung kaca
Memantulkan cahaya kepalsuan senyumnya
Diam menghentak resapi angkuh diri
Semakin aku rasa hilangnya pesona dunia
Bahkan nama Tuhan semakin lamat memudar
Tak kurasa sebuah keteduhan
Dimana balairung kedamaian?
Seperti terpukul palu godam, jiwa seolah mati dalam sunyi,
sendiri...
Momen solilokui, menujum makna soliter diri
Nostalgia saat memalu tabuh kebajikan
sudah jamak, hingga tiada klaim kebenaran
fethisisme identitas mainan serigala politik
degup deras jalan membuntu ditepian kosmik
Adakah cinta akan bersemayam?
Setelah lama berujung luka, setelah menanti berakhir lara...
Meretas jalan, membuka diri, melawan tirani sepi...
Bebaskan pikiran saat doxa menutup cakrawala!
Aku bukan pahlawan! Aku bukan penceramah kebenaran! Bukan pula
pengkhotbah surga!
Jalan ku kembali, mengalir selepas ia menepi pergi
Aku terus menunggu saat rasa ku menyebar dibatas transendensi...
##
Berkali-kali hidup harus jatuh berpeluh dengan sepejal mimpi
tersisa. Luapan emosi mempermajal kedamaian saat menjelma. Bahkan apa makna
cinta harus kita cari lagi dalam keheningan kontemplasi. Sempurnakah hidup ini?
Atau sekedar luapan hasrat libidnal yang kita anggap kebenaran? Mungkin rasio
akan menampik rasa terdalamnya. Bahkan metafisika terpental seiring penipuan
ihwal diri. Manusia yang ada di dunia, kesadaran yang mana jadi petuah menuju
hakikat-Nya? Bila cinta itu ada, kenapa manusia masih saja membunuh? Menguliti
tiap sajak luka yang dibentuk cerita dulu kala. Dimana harus ku temui lagi?
Masih tersisakah kejujuran dalam nurani? Apakah demi keluhuran dan kuasa diri
harus korbankan yang asali? Demi mimpi yang terus menipu, 'aku' terus bernafas
mencari, yang seharusnya ada, yang seharusnya bernyawa... Tapi semua adalah
mimpi, dan kini hanya asa menyisa diri untuk terus menari...
##
Derap langkah mendesau sunyi tubuh terhina
Saat mata memejam tinggalkan suara masygul lara
Tiap manusia yang ku jumpa, membunuh degup ego-ku
Berani mencinta berarti berani mencicipi luka
Berkelindan saat semua menertawai ku
Apakah makna kesetian bagi setiap manusia?
Hanya omong kosong pembalut senyum kah?
Semakin aku menyepi, menyusur lorong gelap dalam hati
Ku tanyakan rasa yang semakin berdentum sayu
Bila harus memaki, akan ku maki lecut jiwa ku pengecut
Pantaslah aku di buang, aku hanya sampah berserakan
Aku pun harus pergi, mencari keindahan sejati, kesetiaan pun
memalsu, hanya penjagal tubuh saat hamparan malam menyapu terik siang...
Dan terang rembulan menjadi matra ku, semoga bersua saat berjelaga
bahagia....
##
Menjelma sublimnya rupa senja yang-lain
siang memanas kerumuni kesepian malam
Mencintai-nya adalah mimpi saat mata terjaga
Akhir cerita saat sebuah tanya terjawab angkara
Membekas luka pada jurang eksistensinya
Aku adalah penipu, dan dia mendengar jerit lunta ku
Dunia yang berlari, membawa resah ku ke lubuk imajinasi
Terkadang harapan adalah jalan kematian
Tapi hidup adalah jejaring mimpi-mimpi
Yang terus menjadi, menuju titah suci
Jangan pernah ada sesal, karena sejarah belum mati
Sesuatu yang berharga, menjuntai percuma
Hanya ketakpastian yang aku bawa
Seorang anak manusia yang menaja cinta
Kehidupan penuh sesak kelimun hasrat
Begitu jujurkah semuanya?
Sehingga membuang sesuatu yang benar
Mungkin inilah kehendak kita, untuk menuju jalan lain itu
Dan aku berjanji, akan ku cari makna sejati, akan ku temukan cinta
saat terlupa...
##
menepi rajutan sejarah tanpa kuasa
peristiwa memalsu saat serigala bertahta
bagi mereka para penjual surga
involusi teks penjara suara liris menggema
bahkan percaya kemudian sekedar citra
terpejal oleh keranda mayat akal-instrumental
harus kemana? antara cinta dan kuasa hasrat
di dunia yang senjang atas nama keadilan
tapi senyum-nya mengimaji
dan buku-buku masih terus berkelakar
atas pergulatan ideologi, demi 'aku' dan tindas 'mereka'!
semua orang pun semakin terjerat rayuan-nya
kemana lagi? kehidupan azali?
semua membanal demi pusaran arus modal
para thaghut menghampar berbinar
saat itulah waktu menyingkapkan pesan
sebuah pesan ketakhadiran oleh hal-ihwal...
##
Saat pagi meresap
Aku pun segera sadar diri
Seseorang bukan siapa-siapa
Hilang arah tanpa makna
Pada waktunya aku harus pergi
Akan aku pergi, aku tahu tak pernah aku diharapkan
Biar pesakitan menjalar, berjudi atas hidup sepi
Jika itu aku, akan ku jemput rasa mengendap
Bila tidak, lepaskan dan ku bawa ceritanya terpekur...
Mentari pun menyembur hangat, biarkan fenomena berbicara ada-nya,
biarkan ia mencari titik labuh-nya...
##
Riuh rendah raut muka membising hening.
Diam dalam spasi, diantara pepohonan memikat sunyi.
Ia terlewatkan oleh siksa ingatan mendalam.
Memekik cinta tersampaikan tanpa hadirnya wajah ku.
Sampai kini, aku masih merindu .
Mungkin malam adalah mimpi residu
Terang rembulan menawarkan masygul semu
Tapi dia selalu 'ada' dan selalu menjadi...
Meski harus aku bungkamkan rasa
Sesungguhnyalah aku inginkan jumpa
Apa daya realitas berbicara berbeda
Kemungkinan ia tak menyandarkan sepinya pada ku
Ia tahu, ia pasti mengerti siapa terbaik itu
Aku pun masih diam, pasif tercenung wajahnya
Mungkin saja kepasifan adalah jalan bijak
Walau terus tertunda, menunggu tanpa alur petanda
bila garis Tuhan jatuh pada ku
Mendesaulah akhir cerita dalam batas cintanya
Semua hanya jalan, menuju sebuah narasi terindahkan
Meski harus tersayat luka, meski terus tertikam belati kalam
profan!
Menunggu dan terus memaknai, tiap alur cerita yang dipentaskan
disudut montase realita...
##
Ingin aku berdiri lama melepas resah
Hapus kerinduan oleh waktu berjelaga
Keributan yang memekik desah
Meninggalnya sunyi diri ku, hingg kelimun manusia berhilir pergi
Ku nikmati meski sebentar saja, tanpa kata, tanpa jejak petanda
Memang aku bukan apa-apa, hanya kutanyakan resah pada hati ku
Mungkin aku harus pergi, kehadiran ku tak diingini disini
Biarkan ia memaknai jalannya sendiri, membuta aku mengejar
matahari...
##
Dihadap keberbatasan nalar
Kala manusia kembali menahbiskan arogansi
Solipsisme naif merepetisi angkuh terjerat
Sabit bulan yang sinis, mencibir kesendirian ini
Dimana harus kucari lagi?
Sandaran sepi saat hampa bertahta
Kepada wajah-nya kah? Tapi ia telah menepi, melupa aku disini...
Perenungan yang terlalu dini, hidup dalam kesepian malam
Jalan yang mana harus ku jejaki?
Diatas klaim kematian sejarah..
Ketika revolusi tak ada lagi, ketika aliran sungai hendak menabrak
ombak tepi pantai
Cinta yang ku tunggu, kemungkinan lenyap dalam luka
Semua hanyut bersama kemapanan, tanpa keberanian berkonfrontasi,
tanpa keberanian menjejaki tanah asing di luar sana....
##
Memisah arung berhias tempias cahaya
Wajahnya menyeringai petanda perlawanan
Semua riuh dalam wacana keadilan
Atas nama cinta, atas nama manusia...
Tapi kini revolusi hanya utopia
Manusia mulai lupa akan titah sucinya
Menelanjangi kuasa, merobohkan tirani ideologi
Kita hanya dipermainkan narasi-narasi
Benarkah semuanya telah mati?
Atau kematian itu sendiri yang sebenarnya mati?
Lalu dimana wajah cantik emansipasi?
Terenggut nilai-lebih kah?
Saat nilai-guna tak seindah nilai-tanda
Manusia semakin dikuasai citra
Atas nama demokrasi liberal, atas nama pasar bebas
Mari rayakan dusta saat doxa menyelimut wacana
##
Saat tiada tempat bersembunyi
Saat kehampaan menikam hati
Saat sepi memekat sumbui imaji
Momen solilokui, merindu desah nafasnya mewangi
Permadani membawa resah ke balairung Ilahi
Aku pergi, menghadap kuasa semesta
memekur liris atas bentangan rahmat-Nya...
Menanti pagi, saat mata kembali terjaga
Semoga ia lupakan aku, lupakan pengecut jalang seperti ku.. Yang
tak tahu diri, tak pernah mengerti...
Lupa secara aktif, diam dalam pasif, menanti lara menghujam, hapus
semua rindu menjerat....
##
Lepas hening malam mengiring lelah
Mata-mata berhaluan tanpa arah
Siapa disana mengalun senyuman?
Memekat pergi bersama kegelapan
Sejarah berlalu seperti air, mengalir tanpa sadar menuju hilir
Ia semakin tepikan aku, bersama waktu, akankah tersisa sepercik
rasa untuk ku?
Seandainya aku bisa berkata, tapi ia semakin jauh, pergi menggapai
mimpinya yang-lain
Semua terekam tak akan hilang, jejak langkah pesan terindah
andai harus melepas, Biarlah lepas dengan bahagianya
Hanya senyum ku menyertai derap langkahnya
Walau sepi, walau buta, walau luka...
Pada saatnya tiba kita semua akan terlupa...
##
Dalam keriuhan wacana, meski nafasnya memudar bersama radiasi
cahaya...
Apakah salah sekedar melepas rasa rindu yg terlalu lama?
Rentang ia mengelak, membunuh ku dalam sendiri...
Sebuah differance! Menunda-pembeda, entah sampai kapan semua akan
tiba...
Hanya waktu yang masih aku tunggu...
Walau utopia itu masih jauh, terus membaca dan memaknai...
Karena ia, karena cinta-nya, karena senyum-nya... aku terus berlari
menjemput mimpi...
Dan jalan setapak ini, membawa gelisah ku ke tepian hati...
Jauh, dan kita akan terus menegasi menuju pamungkas
kesempurnaanya...
Sebuah sintesa, saat sejarah telah benar-benar menuju titik nadirnya...
##
Akhirya tibalah sebuah hari yang biasa
Saat kita kembali lupa akan 'ada'
Kerinduan sepi selalu menikam resah hati
Mengharu-biru tanpa sandaran imajinasi
Sebuah pagi yang lain, meski sunyi selalu menyeka
Mentari yang hangat, tak sehangat kehadirannya
Angin mendawai silir, mencerita kidung lara
Memucat pasi wajah ku, menertawai lecut pengecut jiwa ku
Ketakhadiran yang selalu hadir...
Bisakah sebuah pertanyaan adalah jawaban?
Bukankah aku hanya seorang liyan?
Kini kembali 'diam' fenomenologis, mengontemplasi wajah yang kabur
diujung cakrawala...
Peristiwa berlalu, aku terus berlari dengan satu kaki...
menunggu senja bawa cerita kehadiran wajahnya...
##
matahari sudah mulai merekah
embun pagi berbulir meretas lelah
disini, kini aku masih terhanyut sayu
oleh pekuran hampa wajah terhinakan
bisakah mencari kebenaran diluar normativitas?
sebuah jawab retasan nalar menggeming semu
dimana ku temukan nilai kesejatian?
dilorong sempit hati mu kah?
tapi kini dia tlah berlalu
tinggalkan wajah ku bersama sepi waktu
aku memekik tawa, bahkan sampai batas kulminasinya!
hanya cinta yang kan memediasi ruang hampa
saat nanti kita kembali bersua.
##
pagi menjelma lagi
mata ku terjaga lagi
senyumnya meresap sepi
saat kematian mendekat, aku ingin segera mati untuknya, kematian
tanpa sebuah kematian...
hanya tanah air pikiran, hanya kerinduan terlelahkan...
asingkah sebuah penantian?
hanya resapan subuh serasa membawa mati ku
atas waktu yang menjemput mentari pagi
kepadaya aku bersembunyi
##
ditengah keriuhan sepi
penat kepala menghujam tak terperi
bayangnya memudar bersama temaram lampu kota
meresap aras lelah, menjerat kuasa anak manusia
semakin tertawa, memaki hening, mati dalam sendiri
sebuah prologomena tentang ketakpastian senja
dari mana harus memulai?
saat mata memersepsi obyek fethis-nya
riuh rendah tercekat desakan hasrat
imanjinasi atau delusi?
semua menampik Tuhan atas nama logika
aku kehilangan cintanya
kemana rasa itu melepas?
hanya janji, hanya kata yang terpatri akan mencari titik setianya
##
Kata-kata itu seperti pisau, dengannya kita bisa tersayat hingga
kehabisan darah bahkan mati terhunus olehnya...
Tapi kadang kata juga seperti cahaya, menyuluh lorong kecil disela
hati yang karam oleh hampa...
Tapi itu semua adalah persepsi, tentang rasa, tentang makna...
Karena 'aku' dan 'kau' masih selalu menjadi "manusia"..
manusia yang sadar oleh balutan metafora, mungkin Derrida benar
bahwa "kesadaran adalah sebuah proses bukan suatu entitas."
oleh karenanya kata adalah cermin diri, cermin kesadaran manusia
untuk terus menjadi....
##
Malam memicing hening
Perisitiwa membeku lesu
Wajah ayu menggurat palsu
Lampu-lampu mencerita resah ku
Ia terlupa resap imaji pesan itu
Kalam meniadakan keterasingan
Atas mata hambar terlelahkan
Tapak kuda membising senyap
Sepi wajah ku terbirit kemelut pagi
Segera berlari... menipu diri... Melupa angkuh ego-nya...
Dan aku masih tergurat lesu, menunggunya sampai batas waktu, hanya
kerinduan pagi aku akan kembali...
##
Masih bergelut dengan layar monitor dengan jari yang mengalunkan
rajut kata-kata, mengurai enigma atas kelesuan mata yang tercekat oleh
keheningan... Buku yang berat dipahami jadi agak ringan ketika kopi hitam
terteguk pelan... Dan masih selalu dalam bayang imajiner wajah-nya yang terus
menginspirasi jiwa untuk tetap bersemangat jalani sepi hidup... Semoga bersua
saat pagi kembali menjelma...
##
Setiap 'aku' adalah dasein yang selalu mengejar mimpi, tapi
terkadang kapasitas diri tak terhirau dan mimpinya hanya jadi tangis meresap
sayu... Tapi ia selalu ada dan terasa, walau tak bisa menggapai wajah-nya
setidaknya aku bisa merasa, dan itulah nikmat Tuhan tak tepermanai..
##
kala intuisi memersepsi ketidaktahuan.
malam yang sinis menebar resapan sayu.
lupakan saja semua kata-kata yang ada.
sekedar remeh-temeh kegilaan ku saja.
hapuskan jangan sampai tersisa.
aku tak sanggup untuk memahami.
pergilah dari kemunafikan diri ku.
bahkan untuk mengerti mu pun aku tak kuasa...
aku rasa seseorang terbaik telah ada disana...
menemanimu saat sepi dan luka...
gapailah ia walau mata pisau menggores telapak kaki...
aku tertikam hasrat imajiner ku sendiri...
anggap saja aku tak pernah ada...
sekedar orang asing yang tiba-tiba memekat pergi...
biar pagi menjemput senyum mu yang tergadai oleh resapan puisi
jelek ku ini...
Komentar
Posting Komentar