Langsung ke konten utama

Menapak batas Ibukota

##
Kini waktu berdetak terlambat.
Menghasrat sepi saat hitam memekat.
Jauh horizon kedamaian menunjuk celah
Hanya buku terserak
Hanya teks terbaca
Membawa resah ku menuju pendapa Ilahi
Saat mimpi sebatas eksis dalam dirinya
Tanpa ejawantah di dunia tempat menaja
wajah-nya kian kabur dibalik cakrawala
Aku merasa-nya, aku menunggu-nya..
Meski dihantam luka, meski diterkam petaka
Tapi Jakarta telah menunggu
Memacu nalar, bergerak mencari Kebenaran
Aku pergi... Bersama pagi, menanti subuh, menambal peluh jiwa yang karam oleh angkuh wajahnya...

##
Menyusur selimpit senyum lamat terpekat
Hanya sejumput rasa mengeram tak karuan
Melupa diri saat riuh ibukota mendendam petaka
aku selalu mengimajinya, meski ia tak memeduli
Menguliti peristiwa, ku resapkan makna cahaya
Lalu dimana dia ku ingin?
Mungkinkah cinta memalsu sebelum waktu?
Membebas aku tinggalkan gelisah ku
Seseorang mendekat, nyaris aku terlenakan
Jerat indah itu, hanya ku dapati pada wajahnya
Bisakah rasa cinta itu ada untuknya?
Ataukah ia secepat kilat bermuara pada kualitas lainnya?
Halang terus merintang wajah-ku setia untuk-nya
Mungkinkah aku bersama ia saat telikung hampa tak terasa?
Selalu aku baca, tiap buku yang menawarkan cerita
Hanya diri-nya, hanya perjuangan hidup-nya...
Aku jaga cinta, pada saatnya tiba biarkan bersenyawa....
##
Ku lihat pagi begitu cepat berlari
Mentari membias peluh serumpun wajah-wajah memucat pasi
Seolah semua berkata "kami tak betah atas kepalsuan ini"
Tapi berkata 'ya' pada hidup adalah pilihan untuk bertahan
Keruntuhan nilai yang selalu berganti oleh nilai-nilai dekadensi
Memekik semua oleh kejam akumulasi nilai-lebih
Oleh dunia yang semakin senjang, atas kuasa pasar, atas kuasa pemilik modal
Jakarta yang selalu bergemuruh, diiringi slogan para pencari kekuasaan, atas lalu lalang kendaraan yang memacetkan sepanjang jalan
Tapi inilah rimba, hutan tempat mencari kuasa, tempat manusia berperang tanpa peduli lain-nya...
Atas mimpi ku yang penuh peristiwa tak terharap
Diri-nya ku temukan memadu kasih pada pujaannya
Semua tinggal sepi aku menatap deru metro mini
Dan mentari membawa gelisah ku ke tepian hati...
##
Mereka melukai mu dengan khayal semata
Hantinya sakit karena kau merana
Tak peduli kau ambil nyala apinya
Kau pucatkan pipinya
Paras cantiknya cacat tergores oleh pensil mu
Sang cinta malu padanya karena engkau berkeluh kesah
Dan lemah tak berdaya atas semangat mu mengendur
Pialanya sarat oleh air mata mu sia-sia
Rumahnya dipenuhi oleh syair mu tak berguna
Sekarang ia melupakan mu, membakar cinta mu
Seni dan kelesuan disingkirkannya
Seperti ilalang yang mati karena keluhan melulu
Di bibirnya bersemayam ratusan keluh
Kembali memohon kepada langit
Sombong dan dendam itulah cerminnya
Makhluk hina kehilangan harap dan arah
Yang keluhnya menghisap ruh mu
Dan mengusik ketenangan jiwanya selalu...
##
Andai aku bisa berkata, akan ku nyalakan lentera untuk menyuluh hati-nya, akan ku jaga hangat senyumnya, akan ku hujamkan cinta sampai batas waktunya... Semua berlalu, mengiring sayu, seperti bulan berpijar setengah lingkaran, menikam sepi tak tepermanai... Hanya untuk-nya aku ada, aku eksis secara ontologis... Kini, derap bis kota memberat lekuk mata... Berat terhubung saat rasa meniadakan haluannya... Mengalih setia, mencerita kedamaian pagi... Menunggu hingga mengalir jawab, saat senyumnya bersemi kembali.... Jakarta pun menertawa keheningan diri... Serumpun eksemplar manusia membungkam sepi... Dari wajah sinis menjejal kelimun akumulasi... Atas nama cinta yang dikonstruksi sebagai komoditi... Tapi dimana kesenangan sejati? Saat mimpi hanya sekedar delusi, demi keadilan yang dibalut slogan... Puisi-ku memalsu, pada rasa-nya yang semakin tak ku kenali...
##
Berjalan sunyi resapi keangkuhan diri
Dari cahaya senja meresap disudut kaca
Wajahnya menyuluh sepi, menyiratkan beban terjejaki
Tak pernah aku mengerti, dunianya penuh tajam duri
Bisakah aku miliki? Karena senyum kecil itu aku terus menanti...
Kereta pun perlahan berlari, seraya meninggalkan suasana hangat kota Jogja...
Teruskan sejarah ini, selama perlawanan belum terhenti, selama nafas-nya menyertai langkah gontai ku, selama cinta-nya menyuluh jiwa sepi ku...
Akankah ia mengerti? Hanya waktu membawa cerita, menuju rimba raya utopia...
Tapi semua adalah persepsi, tentang aku, tentang diri-nya...
biarkan jalannya indah tanpa diri ku terhina... Peristiwa berlalu, dan ketika senyumnya berdawai oleh seseorang disana, aku bawa senyumnya sebagai petanda jejak terindah.....
##
Hamparan langit bertahta gedung pencakar langit
Saat mata menyita kelimun riuh pekat manusia
Jakarta menawarkan imaji, tentang hidup, persaingan suaka rimba
Tawa, getir senyum menyublim lara
Kesenangan bahkan kelaparan disepanjang jalan
Aku segera beranjak pergi
Menjemput senyum kota jogja
Menjemput cinta saat terlupa
tapi semua adalah janji
Cinta atau luka? Hanya waktu membawa jawab untuk ku..
………………………………………………………………………………………………......................................Djakarta, 28 Juni-2 Juli 2012

Komentar

Populer