Langsung ke konten utama

Pulang (sebuah catatan pendek tentang cinta, agama, dan mahasiswa)

-->


Pagi ini aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri ku. Entah apa, namun seolah sesuatu itu sangat berharga dan mungkin begitu tiada ternilai secara material. Mungkin karena ada seseorang ku cintai yang bahkan tak pernah ku mengerti wajahnya selalu hadir dalam malam-malam sepi ku. Selepas tidurku semalam, aku bermimpi yang seperti bukan sebuah mimpi. Aku menjumpai paras ayu-nya disebuah benderung hening dan ia tiba-tiba pergi berucap “selamat tinggal—Adieu,” meninggalkan wajah ku dalam pekat kesendirian. Memang aku tak pernah paham soal mendekati wanita dan bagaimana meluluhkan hatinya yang kadang temperamen dan meminta perhatian yang berlebih. Mungkin karena itu pula, meninggalkan wajah ku adalah hal yang lumrah, menolak diri ku adalah sebuah kewajaran. Meski dalam ketakjelasan dan tak diakuinya sebuah ketulusan hati itu aku banyak belajar tentang hidup, tentang kepasifan membijak, tentang makna syukur kepada Sang Causa Prima. Disitulah kadang keindahan terasa dalam sebuah kekurangan, di dalam kesendirian dan absurditas hidup yang penuh liku dan belantara enigma.
Ini hari pertama puasa ramadhan, dan hampir saja aku telat makan sahur karena saking lelapnya tidur selepas malamnya bergumul dengan buku rekonstruksi pemikiran agama dalam islam-nya Muhammad Iqbal yang monumental itu. Untungnya seorang sahabat yang sering menemani diskusi dan wacana-wacana filsafat posmo dengan ku terjaga lebih awal dan sesegera bangunkan aku dari lelap bunga-bunga tidur yang membuat ku agak berkubang dalam sayu. Terbelalak mata ku ketika waktu menunjuk pukul 04.00, sesegeralah kami keluar mencari makan agar puasa pertama ini tak terlalu berat dijalankan.
Suasananya sublim dan menenangkan hati, sepi penuh dengan entropi seolah ada suatu energy “lain” yang menelusup sukma ku. Suasana sahur yang mungkin tak ramai karena puasa tahun ini tak serentak dalam penetapan ihwalnya. Karena berasa sudah sangat dekat dengan waktu imsak, pula kebingungan nyari tempat makan yang pas, murah, enak, dan banyak diputuskanlah makan diwarung burjo. Tanpa ragu dan agar cepat hidang kami langsung memesan mie telur untuk sejenak menenangkan gemerincing lambung yang meronta-ronta kelaparan. Agak kurang puas memang karena sekedar mengganjal, padahal puasa butuh energy yang berlebih. Ya tak apalah karena keadaan, sesuatu yang tak nyaman dan kurang sempurna pun ketika disyukuri dan dinikmati, pula dengan niat yang sudah terpatri akan membawa kekuatan yang tak pernah tersadari.
Subuh pun menggema kala mangkuk yang berisi mie sudah tinggal sisa-sisa bumbunya. “Alhamdulillah, semoga mie ini jadi awal kita untuk jalani puasa…semoga kuat…” pekik kawan ku itu memecah tawa keramaian di burjo… selepasnya kami langsung mampir ke masjid dekat kontrakan, sesegera ambil air wudlu setelah mungkin jarang sekali melihat masjid kala fajar menggeleparkan gema adzan yang bersahutan membangunkan insan berlumur dosa. “assholatukhoirumminannaum” demikianlah selalu terngiang dikepala, sebuah titah tuk mengingat Sang pencipta selepas merehatkan badan dipembaringan. Suasana semakin riuh oleh kelimun manusia yang memadati barisan jamaah yang biasanya sepi. Semua orang seolah meronakan wajah yang begitu semangat untuk jalani puasa pertama dengan semangat beribadah yang tinggi pula.  
Syahdan, langkah pun semakin terisi oleh kantuk yang mengagitasi mata untuk segera membaringkan badan ke kasur. Tapi aku coba melawannya dan ku ambil kitab suci Al-Qur’an untuk ku taja, sebuah kebiasaan waktu dulu aku pernah tinggal di masjid. Mungkin kitab ini dianggap suci karena seringkali hanya jadi hiasan dilemari kaca, atau mungkin hanya dibaca saat bulan suci ramadhan macam hari ini. Bahkan kitab yang disakralkan ini justru oleh banyak kelompok islam “dibajak” untuk kepentingan-kepentingan yang mendaku sebagai pembela terdepan Islam tapi kosong secara substansi dan reaktif dalam menghadapi modernitas (hadatsah) dan kemajuan zaman. Kitab ini jadi teks normatif yang mati tanpa keberanian untuk berfikir dan menafsir melampaui zamannya, karena sejatinya kitab ini diwahyukan untuk diinterpretasi sebagai ihwal pendasaran pandangan-dunia (weltanchauung). Sebagaimana pula pernah dikatakan oleh imam Ali:“Inilah Al-Qur’an itu yang ditulis dengan sebenar-benarnya, dan berdiri di antara dua pihak, namun ia tidak berbicara dengan lidahnya; ia butuh penafsir dan para penafsir adalah manusia.” Dari sana, barangkali hermeneutika dalam islam sudah mulai tersemai, hanya saja belum sesistematis zaman ini. Sebagaimana usaha yang telah banyak dilakukan intelektual muslim kontemporer macam Fazlur Rahman, Arkoun, Hassan Hanafi, Syahrur, Abdullah Saeed, dsb. Hermeneutika memang berkembang pesat melalui para pemikir islam kontemporer tapi itu hanya suara-suara marginal yang lirih. Secara mainstream pemikiran agama dan penafsirannya masih dikungkung oleh turats yang cenderung reproduktif alias merepetisi saja tafsiran zaman dulu kala, padahal jika berani secara produktif, membacanya secara historis dan menyintesiskannya dengan kondisi aktual, tentu akan menghasilkan tafsir yang lebih progresif dan holistik, pula tidak terjebak dalam ingar-bingar apologis “metafisika-kehadiran” yang mana umat islam jauh lebih baik daripada kemajuan barat walaupun terpuruk didunia karena dijanjikan sorga.
Selepas aku daras dan sedikit berimajinasi, aku jadi ingat suasana rumah ku di Batang, lama aku tak pulang setelah bergelut dengan aktivitas kampus, lokus-lokus diskusi, serta mobilitas dalam organisasi gerakan mahasiswa yang mulai meredup oleh berbagai problem kekampusan yang mengungkung gerak para aktivisnya serta rong-rongan hegemonik budaya konsumsi yang menjadi berhala (fethisisme-komoditas) bagi mahasiswa. Barangkali kesibukan-kesibukan itu yang membawa diri ku nikmat dan tak ingat lagi kondisi dan kabar di kampung sana. Meski kadang aku masih sering bercengkerama dengan kawan-kawan lama di jejaring sosial dunia maya, yang juga menambah rasa kangen pada suasana rumah.

Mata-mata tertatih asa
Meneran degup nafas pasca dua
Kerinduan olehnya menghampa
Berjejal iringi nada hening
Kamar-kamar gelap
Mengiring aku menjemput pagi
Kembali, menengadah muka ke langit
Pulang, sekian lama tak jumpa
Perahu diatas bukit
Indah nian alam ku tersurat
Menyerta dingin udara, disana…
Alirannya bening tertadah barung-barung derma
Ini hari pertama, menahan nafsu dunia
Pulang, kembali aku kesana
Ketanah wiladah
Batang, sampai bersua…
Aku rindu hujan disana…

Bersama rangkai puisi itu, aku segera berkemas pulang. Di sepenggalah matahari yang begitu teduh aku hadapkan wajah kemudian, pada keaggungan semesta, pada kemahakuasaan Allah SWT… karena hanya kepada-Nya lah aku mendapatkan sebuah kedamaian tiada tepermanai, mendapatkan cinta yang mengiring tabuh kebajikan dalam tubuh sepi kala solilokui…

Sepenggalah matahari
            Ceritakan pada ku satu cinta azali
            Sepenggalah matahari
            Ku tundukkan dahi dihadap kuasa Ilahi…

Aku pun pergi, menjejakkan kaki bersama pijar mentari, hingga semburatnya menyeka tubuh ku sepi. Aku pulang ke sana, Batang, aku kembali temui kerinduan ku pada kedua orang tua ku yang telah memperjuangkan kehidupan ku hingga aku bisa bertemu dengan seseorang terindah di balik tabir cakrawala…

Jogja……………………………………………Jumat, 20 Juli 2012

Komentar

Populer