Langsung ke konten utama

Selamat Ramadhan

-->

“…Karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung pada keberadaanya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”
Richard Rorty

Hari ini ada sesuatu yang terasa agak berbeda dengan hari-hari yang lalu. Mungkin karena esok hari puasa ramadhan akan dimulai, meski ada gelagat bahwa penentuan awal bulan ramadhan itu diwarnai dengan sedikit perdebatan. Dan itu sudah menjadi warisan lama yang menubuh menjadi ideology untuk saling berkontestasi dan berebut pengaruh tentang mana kelompok yang paling sahih di belantara nusantara ini. Antara hisab dan rukyat yang memang jadi perdebatan perennial tiada ujung, yang mungkin akhir-akhir ini dibubuhi dengan politisasi keyakinan agama serta rong-rongan yang menyatakan salah satu kelompok islam itu sudah jadul dalam metode hisabnya. Yang tentu bagi kaum awam seperti saya hanya bisa memilih yang sesuai saja. Ada baiknya memang. Satu sisi dengan gencarnya isu pluralisme dan multikulturalisme yang diseminarkan dan didiskusikan dimana-mana itu bisa tertanam dalam kesadaran masyarakat untuk menghargai perbedaan, menghargai Liyan (the other). Namun, dari sudut lain justru terjadi ambivalensi, yang mana para pemimpin yang sering bicara toleransi itu justru menyulut bara api permusuhan. Imbasnya pada tataran bawah (grass-root) banyak terjadi cek-cok dan mungkin saling mencibir antar bedanya keyakinan itu, tapi semoga saja itu tidak terjadi.
Mungkin saya tidak akan terlalu mengulas tentang perbedaan pendapat yang kalau diteruskan tak akan pernah berujung pangkal. Mentok-mentoknya yang terjadi justru maki-makian serta umpatan terutama di dunia maya yang bebas tiada sekat ini. Jujur saja, saya mengikuti awal ramadhan esok hari, dan hari ini pun sudah banyak masuk pesan “minta maaf” dan “selamat berpuasa” yang dikirim melalui akun Facebook dan sms. Tentu hal ini menjadi fenomena yang cukup baik, sebuah tradisi yang memang sudah digalakkan sejak lama. Khusus meminta maaf itu sendiri kebanyakan umat islam hanya melantunkannya kala lebaran atau menjelang awal datangnya puasa macam hari ini. Tapi tak mengapa, asal itu tulus jelaslah menjadi sesuatu yang baik untuk kelangsungan hubungan manusia dengan sesamanya, untuk melanggengkan silaturahmi begitulah kurang-lebihnya. Meski kadang-kadang agak klise juga…hehe
Syahdan, aku pun mengikuti gegap gempita berkirim pesan maaf itu. Setidaknya untuk menambah jalinan keakraban dan terjaganya tali persahabatan. Sebagaimana dikatakan pepatah bahwa “sahabat itu lebih abadi daripada pacar.” Barangkali atas motivasi itu aku pun tak ketinggalan, meski bahasa yang ku gunakan sok-sok puitis dan berbau metafora. Ya, karena aku menyukai bahasa figurative yang menggugah sukma untuk memaknai dunia. Tentu sedikit mengikuti pendapat Richard Rorty sang filsuf neo-pragmatis. Menurutnya, ruang public hari ini adalah milik penyair dan novelis dan bukan lagi filsuf yang membuat sebuah konsepsi universal tentang dunia, karena asumsi-asumsi metafisik seperti ada (being), logos, substansi, identitas sudah tidak punya fondasi lagi untuk mendasari apa itu kebenaran obyektif. Karena kebenaran selalu ada dalam bahasa yang tentu harus ditafsirkan dan dimaknai. Kebenaran itu kontingen, demikian pekik Rorty. Persoalan yang menjadi inti kemudian adalah “manusia”. Karena menurutnya para penyair dan novelis jenius itu mampu mengartikulasikan penderitaan manusia, tentang kehidupan yang penuh ketidakjelasan strata ini. Kesepian dan absurditas keberadaan manusia hanya dapat dilenyapkan melalui cerita-cerita, narasi, metafora, dan bukan dengan argumentasi rasional dengan keketatan logika yang tak terjamah perasaan.
           
Waktu bergulir tanpa terasa
            Memakan jejak usia kian menua
            Satu putaran telah kembali
            Pada bulan suci transendensi
            Kala semua berbaju Islam merundukkan syukur,
penahanan atas kuasa hasrat
            Menyembul dibalik tabir sukma
            Di ufuk ketiadaan nyawa
merona satu langkah menuju hari suci-Nya
            Memenjara syaitan di liang lahat jahanam
            Lewati malam-malam tiada batas
            Merapal ayat-ayat semesta,
lama tersimpan dalam lemari kaca
            Puasa, kembali kita masuki balairung sunyi nun jauh di cakrawala
            Aku dan kau fana, terpekurlah pada janji Sang maha
            Tuhan dalam ketakhadiran yang selalu hadir
            Menuju cinta dialiri sungai bening sorga tertinggi-Nya
            Esok kita mulai hari itu, bulan sakral, untuk raih janji semesta
            Maafkan atas semua laku dan kata pernah memekik luka…

Demikianlah esok kita sudah memulai bulan yang ditunggu-tunggu kaum beriman untuk menambah ketaatan. Beriman yang tentu iman untuk terus men-jadi bukan iman yang statis bak tembok berduri, yang mana gaya beriman macam ini selalu mengangap diri dan kelompoknya sebagai kebenaran tunggal di dunia imanen ini, tak jarang pengkafiran terhadap beda paham terpampang dengan kekerasan dan tindak main hakim sendiri. Iman sejatinya adalah sebagai suluh yang berpijar tuk sinari redup sukma yang tertahan buai hasrat. Iman yang membawa janji untuk sebuah kehidupan yang bermartabat, kesalehan individual dan sosial. Karena iman tak hanya sekedar berdahi hitam yang setiap jam bersujud dipermadani penuh wangi narwastu, lebih dari itu beriman adalah peduli ketika teman merasa sayu, ketika tetangga kita lapar, ketika anak-anak yatim terlantar. Demikian pula dengan puasa, karena puasa hanyalah media menuju titah suci atas perilaku dan akhlak manusia yang masih terhina. Karena puasa adalah tangga menuju sebuah iman yang sebenar-benarnya, menjadi insan kamil, manusia sempurna yang mampu mendayagunakan cinta untuk menyuluh dunia yang terluka.
Kalau boleh jujur fenomena disekitar kita memang agak ganjil. Tapi itulah realitas yang ada (dasein) bukan idealitas yang seharusnya ada (dasollen), bukan berarti apologi pula. Ditengah keriuhan dunia yang semakin rendah menghamba diri pada nafsu, jabatan, harta, tahta, dan wanita. Berpuasa tentulah menjadi sarana peleburan sifat kotor yang tanpa sadar sering kita lakukan tiap detiknya. Orang memang cenderung bergegap gempita untuk beribadah dan mendekatkan dirinya pada Allah SWT hanya pada bulan puasa. Demkianlah realitasnya, yang mana jamaah-jamaah shalat subuh jadi ramai oleh kelimun manusia, apalagi maghrib (mungkin ada takjilannya..hehe), pula isyak yang juga semakin riuh itu. Tapi sayang itu cuma diawal ramadhan saja, selebihnya jamaahnya m’reteli satu persatu entah kemana. Apalagi setelah Idul fitri, subuh tinggal jamaah bajaj (tiga orang, imam dan dua makmum). Ya, itulah realitasnya… tapi semoga saja kita semakin memperkuat amalan dan ibadah kita di bulan ramadhan tahun ini, dan tentunya tak hanya selesai di bulan ini saja, tapi setelah lebaran jadi semakin sholeh dan taat dalam menjalani ibadah, tentu disertai ke-bebas-an berfikir, karena beragama tanpa berfikir sama saja dengan kerbau yang dicucuk hidungnya… ia tak tahu apa-apa hanya ikut-ikutan saja, hanya Taklid buta…

Komentar

Populer