Langsung ke konten utama

aforisma (sebuah perjalanan yang-tak-mungkin)

Pergi

Pagi menampakkan cakrawala sunyi
Berlarian para despot menunggu mati
Bulannya menyabit menerakan erudisi
Tentang cerita terpahat
Tentang anak manusia terlaknat
Enggan, aku beranjak dari teratak
Wajahnya lamat hilang ditelan puak

Kemalasan kian menubuh
berselimut luka mendarah-darah
Enggan, aku meneral janji pada mentari
Inginkan bebas dari ladah pedih peri terpatri
Gurat lesu para orator pagi bergaung lemas
Bersahutan kokok-nya mencibir para pemalas
Cinta menepi pergi, setelah mengering bak kelaras
Mengaurai benang lalu dipasang pada buluh peleting

Tapi pintunya semakin tertutup,
Wajahnya melindap kalut tak bergeming
Bangun lagi, dan temukan satu warna dalam waktu
Embun pagi menerakan jalannya pada nama satu
Pada jalan sepi kala tak terjejak wangi narwastu
Ia kembali menjaring mimpi, berharap indahkan hari

Selamat tinggal, sesuatu yang harusnya tak dihirau
Sampai bersua, sesuatu indah dibalik ufuk membiru...
Meski enggan, meski mata pisau menghujam, meski caya temaram...
Segera berlari mencari satu, temukan lagi balairung pelipur sayu...


***
Anamnesis

Indah memukau ingatan lalu
Lama berjumbuh dipagar waktu
Melampirkan cerita lama terjajak
menguliti rasanya penuh warna menampak

Semua orang berteduh ajaran leluhur
Menghampa akal tanpa pernah terpekur
Setiap wacana kering atas paham terbenar
Mengklaim suci atas hegemoni mukjizat
Teks yang jadi bahan mentah
menunduk takzim seolah dirinya martir
Bahkan menerakan beda paham sebagai kafir
Penghadiran Tuhan pada jejak-jejak tafsir
Tapi benar, kesewanangan jadi penatar
Bahkan keadilan dipelintir disetiap relung takdir

Demokrasi (neo)liberal ala rockstar
Kapital adalah tuhan para makelar
Politik hilang kuasa atas tirani pasar
Si jelata jadi bahan olok-olok para wangsa modal
Cakrawala merah dikiri jalan berpaut satu arah
Bahkan narasinya sekecil buliran aliran darah
Percayakah pada kematian sejarah?
Omong kosong mentah pembenaran manusia serakah
Tapi mereka telah berkuasa dimana-mana
Kekayaan tanah kami dikeruk hingga kerak bumi terdalamnya
Kini kami hanya bisa tertawa, menangisi takdir yang dibuat manusia......

***
Satu

Pada awalnya sebuah titik kecil sekali
Berpendar menggayung bersama pijar matahari
Debu-debu beterbangan,
merasup dinding noktah kesadaran
Ego-aku menuai rasa sepi
Sepi yang riuh bersama kelimun hasrat
Ia adalah cinta, tapi bukan untuk dicinta
Ia adalah luka, tapi haluannya sunyi tak terluka
Bergantinya siang dan malam
Membawa relung sukma terpekur takzim
Seperti kehidupan manusia,
Ia merangkai perjalanan menemukan kematian dan kehidupan
Menemukan cinta dan luka, menemukan tangis dan tawa...
Selalu menjadi, dalam waktu, dalam pikiran aku...
tak selesai tergambar oleh garis tergores...
Suatu garis dalam dan terus tergoreskan...
Oleh pena kecil, aku selalu menuliskan aksara...
Mengiang wajahnya diujung cakrawala
Megharap waktu membawa lekuk senyum dipipinya
Ego hakiki sanggup menyampingkan semua dunia
Tak tersentuh rasa letih...
Tak tercekal kantuk dan tidur...
Hanya kembaliku pada ihwal semesta
Pada sebuah Maha, tiada satu-pun penyama...

***
Simpan dalam sepi

Menaja malam dihampar gugus bintang
Guratannya lesu mengumpat riuh siang
Wajahnya sayu melepuh terpandang
Angin malam mendesau pikiran terkekang

Masih, mulutku berdialektika temani keheningan
Di depan tanah lapang penuh ilalang
Fenomena asing mengarung dalam ketiadaan
Kala manusia pulas dalam bunga tidurnya
Kami terjaga mengulas petanda kebenaran

Sebuah wajah menampak, mengiang pada sesosok aku kenal
Tentang seseorang, yang pernah singgah, hingga kini masih aku rapal
Menerakan satu pola, sama, demikian persepsi ku mendedahnya...
Sesampainya waktu berdetak pagi
Aku simpan memorinya sepi
Menunggu satu harap yang masih terpatri
Hingga kau mengerti makna kehilangan dalam diri
Memekat aku dalam kegelapan egolatri
Berhembuslah desah nafas dalam hati...

***
Perahu kertas

Subuh menerakan warna bunga
Mewangi ronanya hilangkan pedih luka
Disurau kecil aku mandaras makna cahaya
Melayani kesucian nafas dalam kata-kata
Membebas diri atas keriuhan dunia
Menyublim hening pada benderung sukma
Alunan montase meliukkan keindahan utama
Seberkas senyum itu aku rasa
Mencandra peristiwa tiada karsa
Menolak cinta penuh enigma
Perahu-perahu kertas berlayar sempurna
Melintas hampar samudera membiru setia
Waktu bawa sejumput cerita
Satu dan perlahan berbuah pasangannya
Membaca logika Tuhan tanpa pialang logika
Aporia dalam aporia menghampa
Kekosongan paripurna jadi matranya
Bersujudlah selagi dahi disesaki kama
mengurai jejak petanda lewati jalan selekoh tiada terduga...

***
Duabelas

hening menggertak kesepian abadi
dalam gelap, wajahnya terpahat mengimaji
kubus menadah adagium, membebas dan berfikir di luar
ku masuki dangau tanpa penghuni, tapi masih aku rasa
agaknya itu sebuah kejujuran, mana benar?
yang benar adalah nurani
yang benar adalah malam sepi
di arah dua belas, aku bersembunyi
menundukkan dahi pada lantai pelangi
selepas rintik hujan basahi kelaras dedaunan
lama mengering tanpa sentuh basahnya
malam terjaga sepi
dua belas ku tunggu tuk semaikan janji...

***
Cinta ?

Angin berhembus pelan
Riuh terdengar desau ilalang
Di sepenggalah matahari
Ratakan dahi pada alas kaki
Lelaki muda itu berteriak lepas gelisah hati
Disetiap janji mewangi mawar merah
Melindap satu noktah,
Di tubir batu, dianya ditemani gelombang pelan
Tak ada kebisingan, hanya suara lirih kicau burung
Tenggelam, selepas agitasi para begawan
Sepagi ini sudah memekik slogan
Untuk ribuan janji
Omong kosong badut senayan
Cari lagi hampa keadilan
Di bukanya sebuah kertas
Diingatnya satu kisah, untuk sebuah nama
Dituliskan untuk seseorang...
Untuk buah cinta, yang selalu terlupa
Yang tertawan tabir egoismenya
Di sepenggalah matahari...
Dia berjanji untuk setia
Pada satu kata, pada satu nama...
Cinta???

***
Wajah yang-hilang
Kenapa engkau bersembunyi?
Lepas tertawan gelap
Momen tak terisi, sepi
Aku tahu karena aku tak mengerti
Kala malam menerakan hening
Mata-mata terjaga padu
Aku mencintai, sesuatu tak terbalas
Masihkan waktu menyisa harapan lalu?
Kenapa engkau tak mengacuhkan?
Engkau cari mimpi dipenghujung samudera
Berlari pergi,
Paras terlihat ayumu luka
karam taufan menerpa
Sudahkah kau temui wajahnya?
—Cinta—Seseorang, atau sesuatu kualitas?
Tak mengerti, Patutkah disesali?
Setiap sungai akan mengalir ke tepi pantai
Setiap tulus akan menuai senyum tak tepermanai
Lamat wajahnya hilang memekat biru
Hingga ketiadaan menyambut bayang menderu
Tapi ia 'ada' dan terasa, sesuatu yang tak akan terlupa...

***
23:23
Satu langkah menutup harap
Satu jejak masuki pendapa
Sampai bersua kala pagi mencerita satu fenomena...

***
Malam

Lihatlah malam...
Alirannya tenang, menghilang dalam ketiadaan
Momen peralihan, kala pendulum waktu menyepi
Aku selalu merindu jejak itu
Tak terbatas oleh apapun
Tak tergantung sesuatupun
Satu…
pernah aku rasa
Makhluk-Nya begitu indah
Wajahnya menghias cahaya
Sesosok aku kenali, aku sayangi
Bisakah aku miliki?
Pada malam terjaga sepi
Langit tanpa penyangga bertabur bintang
Dianya menghilang bersama kesepian
Dengar...dengarkan degup jantung mu!
Andai waktu itu masih ada
Akan aku jemput ceritanya
Ku resapi indahnya
Ku jaga senyumnya
Malam terjaga sepi..
terlelap aku bersama hening ketiadaan ini...

***
Aporia (Infinity of being)

Tuhan adalah ketiadaan
Tuhan adalah keadaan
Tuhan ada
Tuhan tidak ada
Ada adalah Tuhan
Tidak ada adalah Tuhan
Ada adalah ada
Tiada adalah tiada
Tiada adalah ada
Ada adalah Tiada
Tuhan adalah Tuhan…

***
Elipsis […]

Engkau gila?
Didunia hidup engkau bertahta
Didalam bahasa sangkar ada
Manusia hidup didalamnya,
Semua mengikuti warisan lama penuh luka
Dipematang saat engkau tak mengerti kemana
dipasar yang memuja kebebasan riba
Engkau gila?
Teori utopia apalagi engkau rapal,
Tuk mengubah dunia yang dikebiri dogma
Bukankah penghilangan ihwal sedang terlembaga?
Tanpa sadar engkau masuk didalamnya
Engkau telah masuk, dibatasi, dibodohi
Didalam satu penjara, elipsis!
Komodifikasi apalagi jadi harapan
Instrumentalisasi apalagi jadi petuah
Sejarah masih ada, bagi kami orang gila
Tapi dimana kalian?
Ketika agama jadi dagangan
Ketika cinta diperjual-belikan
Ketika kelaparan membusung keramaian
Ketika moral diludahi para lalat pasar
Elipsis […]
Keluarlah dan berfikir lagi
Apakah engkau tiada beda dengan mereka?
Para penindas pengusung dogma
Keluarlah hingga setiap orang bermadah "GILA"!!!

***
23

hening aku merunduk disela
kala 23 menyisa ada
kilau bunga mewangi
tapi hatinya tak ku miliki
meranum kian tersemai tanpa ku taja
hening nan kudus
terjaga mata pada satu peristiwa
bertabir caya bulan menyabit
temaram tak tersentuh retina
ia hadir, tapi ia hilang
malam-malam penuh liturgi
wajahnya meladah kering
daun-daun berguguran,
seperti payau air muka ku
satu peristiwa, sepi menjelma
satu nada, tanpa gelombang suara
satu momen tak terisi, terlupa
ia selalu "ada" kala 23
kala rongga waktu berganti derajahnya
hingga pagi menikam sepi
hingga rasa itu aku simpan dihati...

***
Sunyi

Aku rindu pada yang sunyi
Pada mentari pagi kala hujan tertabur
Membisu abadi temani nyawaku
Desir air yang tenang
Memantulkan senyum
Senyum itu menikam pelan
Membunuh detak jantung terdalam
Senyap... gelap... kosong... [...]
Tak ada suara, tak ada rasa...
Kematian, kematian yang indah
Aku menunggu, saat-saat itu
Kerat waktu tak menyahut suaraku—Lepaskan,
mengalirlah layaknya air dihutan
Jangan peduli seperti batu dikali
Teriakkan kata lagi pada desau angin
hingga habis pita suara menghujam
hingga kenes rayuan lamat menghilang
Semua mengalir, terus bergerak, aku rasakan
tak ada apapun disana
Kecuali kata, terkristal dalam bahasa...
Apa harus mengais iba?
Kenapa masih jua melata?
Hanya keteduhan itu
Hanya perasaan itu
Untuk sebuah nama...
Aku masih disini, tertahan disini
Menggumpal dalam banjir kata...
Bersembunyi dalam rajutan bahasa...

***
Disseminasi

pada mulanya adalah logos
tapi entah kemana yang 'ada' itu
ia terkadang adalah ketiadaan
menyebar kemudian tanpa landasan
penanda-penanda itu tak tahu harus kemana
tak ada sesuatu apapun selain teks
kini,semua tak bisa mengklaim benar sendiri
kini,hanya sebuah ketidakjelasan menghantui
kini,semuanya menyisa wacana pluralitas
hanya 'aku' dan 'kata'
dan bayangnya lamat menghampa
pergi jauh...
meninggalkan aku disini, dalam sepi...

***
Luka

"...Barangkali rasa sakit yang terasa saat ini adalah semacam petanda untuk lebih mendekat pada kuasa Ilahi... Lepas mengalun senyum seolah tanpa beban, meski hati kecil tiada bisa berdusta... Tetap berjalan, menerjang kawah dendam dan 'bunuh-diri-identitas'...
…waktu masih terus berdetak, pintu masih terbuka, hentak sepi itu, gertak luka itu, samudera luas menderu biru, aku nanti, satu senyum disana, dalam kata, dalam buku, dalam mimpi, dalam sukma, exergue!
…Sunyi yang megah... Kematian yang indah... Ketakziman yang lengah... Ketundukan yang pasrah... Sampai bertemu disana, ku harap engkau tak lupa...
…Menarilah seperti angin, semoga indahnya kau resapi disetiap desir air, dan akhir bahagia engkau dapati disana, diperjanjian bunga kelapa..."

***
Transgresi bawah sadar

Membekas cahaya ditepian kaca
Wajahnya melindap dijejal halimun hitam
Langkahnya kaku, mengering sebelum pagi
Kebebasan yang kita citakan
Kebenaran yang kita hasratkan
Didunia penuh pementasan iman
Wajah seperti apa lagi jadi tujuan?
Kala rasio dikebiri warisan lama,
penuh slogan, jerat dogma membuta
Mencari Tuhan dibawah rindang semesta
Kekosongan belaka ditemuinya
Diam memekik tawa
Cintanya karam diterpa minerva
Matanya tak berpaling, pula tak melihat sekeliling
Asap perisa jadi peredam luka
Mengasingkan diri dari hegemoni kata
Bukankah neraca itu sekedar tafsiran?
Kebenaran hanya kekosongan
kehadiran dalam ketiadaan
Selamanya tak akan engkau rengkuh
Selepas pesan tiada terbalaskan
Angkuhnya menyeringai, membunuhku pelan
Begitu hinakah aku?
Begitu burukkah wajah ku?
Buka kembali,
Lihatlah bayang diri saat deras mengalir air
Begitu samarkah ketulusan?
Amatilah wajah diri kala tenang aliran air
Begitu jelaskah kepalsuan?
sucikah kehidupan ini?
Sehingga kita takut untuk mati?
Sepi, semakin menggugat keras hati
Abadikah penantian ini?
Kecantikan mu memalsu dalam relung waktu
Disini, kini, waktu ini, kesadaran ini...
memantul kembali cahaya dibalik tabir ketiadaan
Terpekur aku menatap satu keagungan
Ciptaannya indah mengimaji dilautan
Aku tahu karena aku tak mengerti
Aku rasakan tubuhnya mewangi
tak akan aku miliki, simpan memorinya sepi...

Komentar

Populer