Langsung ke konten utama

Buku (sebuah catatan dini hari)


Malam itu, hening diiringi balutan gelap menghitam. Bintang gemintang bertaburan—berjejer padu membentuk gugus-gugus. Tak terlihat rembulan, seolah ia tersipu malu oleh ribuan bintang yang berpendar redup-redup mengeluarkan lendir kelemayar.
Aku duduk terbantun merindu kehadiran cahaya bulan—demikian aku selalu bersamadi dan takzim kala cahaya bulan menyuluh hatiku yang penuh bercak luka. Dalam sublim emanasi cahaya itu aku terpekur oleh sesuatu Yang-kekal, sesuatu yang keberadaannya entah dimana, tak dapat dilabeli apapun yang berbau manusia—transendental—yang hanya aku rasakan keteduhan sunyinya dalam liturgi sujud.
Jam dinding masih berdetak dan jarum-jarumnya yang tak kenal lelah menunjuk angka dua. Menunjuk waktu dini hari, saat momen tak bisa disebut malam, pula tak bisa disebut pagi—mungkin peralihan (atau sepertiga malam?). jam-jam para insomniak, tentang orang-orang yang tak tidur, seperti aku, tak bisa tidur. Mereka yang terpekur atau bengong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang mencoba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian.
Entah dalam derap kantuk mataku, aku selalu kehadiran sebuah wajah jelita yang mengimaji dalam dunia idea. Ia salalu menghadirkan diri tanpa aku undang pula tak pernah aku inginkan untuk terus hadir. Ia selalu eksis secara ontologis dalam dunia imajinal, sebuah dunia yang dalam pandangan Ibnu Arabi memediasi dunia material (jasad) dan dunia immaterial (ruh). Hingga pikiranku tak karuan, hilang arah, seolah semua wacana yang aku pahami membuncah dalam pikiran hingga aku tak kuasa untuk menerakannya dalam kata-kata.
Diluar, aku lihat gelap menyandera cahaya. Dinihari seperti ini adalah saat gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dinihari pula gelap seperti tak hendak pergi. Seperti kata Paulo Coelho ”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang.” Agaknya pada dini harilah gelap adalah sebuah ajektif bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang akan bersama kita sesudah cahaya.
Karena esok puasa ramadhan, aku pun makan sahur—meski agak awal—karena selain perut sudah lapar juga takut ketiduran dan ujung-ujungnya malah tak sahur. Aku pun keluar dan sesegera setelahnya aku baringkan tubuhku hingga mentari kembali menerangi pagi. Mataku terpejam merasuk dunia mimpi yang mendawai.
***
Dipagi harinya, aku terbangun dan ling-lung—seolah ada sesuatu yang membawaku menelusup lagi kedalam relung imajinasi. Bayang wajahnya kembali mengawang bak hantu. Kalut aku dalam buai mimpi yang entah kenapa aku menemuinya disebuah balairung sunyi, disana wanita itu tersenyum simpul, seolah beri aku isyarat untuk mewedarkan rasa. Tapi itu sekedar delusi! Dan hanya sebatas mimpi yang barangkali tak punya ihwal rujukan tanda yang otentik dalam dunia eksistensial—realitas.
Tapi aku juga tak terlalu paham, tiba-tiba ada semacam tenaga yang menggerakkanku untuk memberikan buku kepadanya—seorang yang membenciku habis-habisan entah karena apa. Novel yang sempat aku baca dan langsung ku rampungkan itu mampu membuat jiwaku terguncang bahkan air mata menetes menelusup mengiring sela-sela katanya yang membawaku tenggelam dan masuk didalamnya.
Buku itu, Layla-Majnun karya Syaikh Nizami yang monumental dan spiritnya tak padam hingga hari ini untuk memberi inspirasi kepada semua manusia dengan keindahan cinta. Bahkan konon banyak literature yang menyebut bahwa Romeo dan Juliet-nya Shakespeare banyak terilhami karya Nizami itu. Aku pun tak ketinggalan,  agaknya cintaku agak mirip dengan Qais, tokoh utama yang “majnun” alias sinting akibat dimabuk oleh cinta yang seringkali pula ia ejawantah dalam syair. Hanya saja sedikit berbeda dengan ku adalah aku tiada pernah memiliki cinta itu, aku tiada pernah menyentuh cinta itu. Aku hanya sanggup merasanya dan mengalaminya dalam bunga-bunga tidur. Barangkali, sebuah pepatah yang berkata “cinta tak harus memiliki” adalah jalan yang indah, meski sakit, karena memang cinta itu tak bisa dipaksakan.
***
Syahdan, ku beranikan diri langkahkan kaki menuju rumahnya. Sudah ku siapkan buku yang akan ku berikan untuknya, aku membungkusnya dengan kertas yang ala kadarnya serta bungkusan yang norak, tapi yang ingin aku tanamkan adalah jangan terlalu takjub pada luarannya saja tapi dalamnya mana dikira? Penuh makna dan hikmah yang layak untuk dipetik sebagai pengiring tabuh kebajikan disela banalitas kehidupan yang dikebiri oleh hasrat—convoitise!
Entahlah, atas motivasi apa aku juga tak terlalu mengerti, hanya saja aku ingin merasakan senyum itu meski sebentar, hanya saja aku ingin berbagi ilmu untuk cerahkan pikiran. Tapi “ada” sesuatu yang bersifat imperative dan mendesak untuk aku harus lakukan, dorongan itu, impuls itu, mendekap dari bawah sadar, dari ego terdalam yang sumbernya tak aku ketahui. apakah itu cinta? Entahlah, lagi-lagi aku tak terlalu paham—jika pun demikian itu hanya sia-sia karena aku tahu aku bukan laki-laki ideal, aku hanya binatang jalang, pemberontak, hubris, dan orang “liberal” yang selalu mendekonstruksi paham-paham umum yang terlampau sakral.
Kala aku lihat depan rumahnya serasa jantung berdegup deras, semua perasaan bersintesa—bercampur baur tiada karuan. Ku hentikan motor bututku (hush! Gak terlampau butut-butut amat) tepat didepan halaman rumahnya. Sesegera sebelum aku mengucap salam dianya keluar dan mimic wajahnya seolah terkaget-kaget melihat wajahku…
 “hei…” pelan dia menyapa
“sori, aku kemari cuman mau kasih buku, kamu mau pergikan?” (sambil melihatnya rapi jali)
“iya e…aku mau ada acara…”
Hanya diam aku terbata sambil aku keluarkan buku-buku itu dari tas...
“kog banyak banget?”
“ya…terserah mau kau baca, dibuang, diberikan keorang atau apapun… yang penting aku tak melihat kapan kau buang buku ini…”
Ya itu saja, dan aku segera pamit pulang, karena misiku cuma memberinya buku, tak lebih.
“Cuma mau kasih buku aja?”
“ya… kan kamu pernah bilang tak mau ketemu aku lagi…”
Hanya itu kalimat penutup dariku… akupun segera pergi, karena aku tahu jika aku melebihkan pertemuan itu akan tercipta sesuatu yang tak terlalu penting—seperti diriku yang tak penting.
Udara yang panas menyesak relung hatiku, aku segera menyadari betapa aku bukan apa-apa, bukan pula siapa-siapa. Aku hanya berharap buku itu berguna, setidaknya bermanfaat untuk kehidupannya, meski lirih dan terlalu kecil untuk dihitung dengan angka-angka. Dan aku biarkan cerita ini mengalir seperti aliran bengawan yang menuju hilir hingga laut lepas bersenyawa asin garam. Disana, yang akan-datang—aku  selalu menaja agar ia tersenyum lepas seperti malam yang dihias cahaya bintang.
“anggap saja itu permintaan maaf dariku, dan aku tak akan (pernah) mencintai karena itu percuma tak ada guna…”

Komentar

Populer