-->
“Kemerdekaan rakyat Indonesia baru tercapai bila kemerdekaan politik 100% berada di tangan rakyat Indonesia…” —Tan Malaka
Tujuhbelas dibulan delapan merupakan momen sakral bagi bangsa Indonesia. Enam puluh tujuh tahun yang lalu sebuah kertas dengan beberapa rangkai kalimat padat yang diberi judul “proklamasi” itu dikumandangkan. Alangkah hati berbinar disertai air mata bahagia, semua rasa membuncah berbaur padu hingga pekik lantang: MERDEKA! Berhamburan diseluruh antero nusantara.
Dari hari bersejarah itu, negeri ini telah melewati terpaan badai ideologi hingga kelimun Guntur despotisme yang menggelegar. Cobaan demi cobaan, peristiwa demi peristiwa; dari orde lama, orde baru, hingga orde reformasi yang ingar-bingar akan kebebasan suara. Negeri yang subur penuh kekayaan alam melimpah, berhias zamrud bertempias emas, bahkan tongkat-kayu-batu-pun jadi tanaman—dengan kata lain negeri ini adalah penggalan sorga. Seolah melihat kekayaan negeri ini yang terlampau banyak ini tak habis hingga waktu menghentikan pendulumnya (baca: kiamat).
Negeri ini memang sudah merdeka, dan semua negara diseluruh kosmopolit dunia mengakui kedaulatannya secara de facto. Namun, benarkah secara substansi negeri ini benar-benar merdeka seutuhnya? Jangan-jangan kemerdekaan yang kita raih sekarang ini sebatas kemerdekaan semu yang sejatinya belum kita gapai? Atau dalam bahasa Tan Malaka benarkah kita telah beroleh kemerdekaan 100%?
Merdeka, berarti bebas (freedom) atau dengan kata lain berdaulat, independent; tanpa sebuah otoritas lain yang mengungkung dan membelenggu kebebasan itu untuk mengatur tata kelola kehidupan bersama di dalam tata kenegaraannya. Merdeka, berarti rakyat sejahtera, adil, dan makmur dengan bingkai tawa dan semua kebutuhan pokoknya tercukupi. Merdeka, berarti akal-budi dan kehendak untuk berekspresi tak dikebiri oleh legitimasi apapun yang coba menyeragamkan selera, rasa, makna, bahkan wacana. Merdeka, berarti ‘aku’ tak mengabsolutkan diriku karena ‘ada’ yang-lain bagian dari ‘aku’—dengan kata lain ada ruh kebersamaan, cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa, sebagai manusia yang homo homini socius (manusia sahabat bagi manusia lain) bukan homo homini lupus (manusia serigala bagi sesamanya).
Tapi? Apakah semua itu sudah kita ejawantah dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa? Sekurang-kurangnya apa yang tertera dalam Pancasila dan UUD 1945 sudah benar-benar terilhami dalam dunia nyata—dalam kehidupan berbangasa dan bernegara?
Jika kita hendak jujur dan melihat centang-parenang realitas itu apa adanya, kata merdeka itu seolah menjadi terasa hambar. Kemerdekaan dan keindonesiaan ini adalah sebuah proses, benar saya sepakat. Namun bukan berarti itu apologi. Karena dengan berprosesnya negara ini menjadi negara yang adil dan makmur tentu membutuhkan perjuangan, tenaga ekstra, serta gerakan kolektif tuk raih cita itu.
Kita lihat, orang miskin tiap hari bertambah seiring pusaran arus kuasa modal raksasa, mega capital semakin memarjinalkan ekonomi rakyat dari hulu ke hilir. Akses rakyat untuk mengusahakan dirinya dalam ekonomi telah dipersempit oleh ritel-ritel yang menjamur, dan semua monopoli perdagangan dibawah bendera asing. Singkatnya kapitalisme kian menggurita bahkan sampai ke ranah mikro. Satu sisi negara (pemerintah) sebagai penjamin kesejahteraan justru lalai dan terjebak dalam kuasa pasar yang dalam istilah Habermas ‘krisis-legitimasi’—intinya kedaulatan politik kita sudah jamak secara terselubung diintervensi oleh rong-rongan kekuatan asing.
Para pejabat birokrasi pemerintah yang sejatinya menjadi abdi masyarakat malah dipahami bekerja untuk golongan dan kepentingannya sendiri. Inilah, ihwal privatisasi kekuasaan yang seharusnya bersifat kolektif demi kepentingan maslahat (publik) justru dipelintir menjadi kepentingan privat. Korupsi adalah contoh gamblang dari mode politik macam ini.
Demokrasi liberal yang kita kopi dari Amerika sedikit banyak telah membawa persimpangan tajam antara politik kekuasaan (sebagai politisasi untuk kepentingan atau vested interest) dengan politik kesejahteraan (sebagai kulturisasi demi perjungangan nilai hidup bersama). Tak berlebihan bila institusi politik telah ber-transmutasi layaknya pasar. Pasar disebut pasar karena yang terjadi hanya hubungan perniagaan, hubungan komoditi dengan komoditi—laissez-faire. Bukan hubungan manusia sebagai manusia yang berlandaskan nilai moral dan humanitas kehidupan bersama. Sederhanaya, politik jadi arena jual-beli kekuasaan, sementara rakyat dibohongi dengan recehan tuk nyoblos para calon pemimpinnya
Kekayaan alam kita yang melimpah itu secara sporadis diborong para thagut ke negeri seberang, negerinya paman sam. Walhasil, rakyat sebagai pemilik tahta kerajaan sorga ini hanya bisa ngelus dada sembari ngiler-ngeces lihat tumpukan emas yang sudah bermarkah di bawa kembali kenegeri ini dengan harga selangit.
Barangkali, sampai-sampai bang Eko Prasetyo pun sudah lelah nulis buku orang miskin dilarang sekolah, dilarang sakit, pokoknya serba dilarang. Karena memang negeri ini semakin tak ramah dengan si miskin. Padahal penyebab mereka miskin itu salah satunya juga ulah para penyelenggara negara ini yang tak becus mengamalkan Pancasila dan UUD 1945!
Belum lagi bicara masalah hukum, kesehatan, dan pendidikan. Semuanya dikuasai oleh uang. Doktrinnya : bagi siapa saja yang tak berduit jangan harap bisa survive! Hukum saja sampai-sampai bisa dibeli dengan kekuasaan, tahta, jabatan, dan tentu uang. Sogok-menyogok, kolusi, nepotisme, dan korupsi terpampang dimedia dari cetak sampai elektronik tiap hari. Pengin sehat? Tanpa uang jangan harap! Apalagi pengin pintar, harus bayar dulu baru bisa masuk untuk belajar.
Ya itulah negeriku, trus siapa yang salah? Semuanya salah. Orang strukturalis bakal nyalahin pemerintah yang tak becus memegang tampuk kekuasaan. Orang induvidual-liberalis bakal nyalahin etos dan semangat kemandirian orang Indonesia yang tak punya daya tarung dan rasionalitas yang kuat. Kalau sudah begini lantas gimana? Apakah kita generasi muda penerus bangsa harus skeptis dengan kondisi yang semakin tak tentu arah ini? Dan saya pikir kita kaum muda jangan sampai terjebak dalam kegalauan dan sikap skeptis. Kaum harus terus berjuang, kreatif, dan mencipta perubahan. Perubahan bagi diri, serta kalau perlu kritis dan tajam bak belati kalam profan pada aparatur negara yang kebijakannya tak pro-rakyat.
Sekarang, tinggal pilih kita—sebagai kaum muda—mau berguru pada siapa?
Guru pertama adalah guru sejati yang mengajari keteladanan dan pengorbanan, sebagaimana bapak-bapak bangsa macam Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, dan Soekarno. Mereka mengajarkan makna kehidupan sebagai sebuah proses dengan liku dan pergulatan realitas yang penuh tantangan, bukan instan alias jalan pintas tapi buah hasil asketisme intelektual.
Guru kedua adalah guru panggung performance, gaya, style. Dunia ilusi yang dikondisikan oleh para penguasa markah, merk, symbol dengan balutan tirani hasrat dan pamer citra. Didalamnya ditawarkan imaji fethis dengan gebyar eksotis, tampilan fisik jadi nomor wahid, semuanya dikonstruksi dalam dunia idola simulacra—dalam bahasa provokatif Baudrillard: hiperealitas.
Guru ketiga adalah yang mengajari kita “you are what you have!”, semuanya diukur dari kepemilikan, dan harkat. Pokoknya eksistensi gua didunia adalah memiliki, pengin ini, itu, semuanya harus kumiliki! Bukan “being” sebagai manusia sejati. Aku berfikir maka aku ada-nya Descartes telah berubah menjadi “Aku berbelanja maka aku ada!”.
Guru keempat adalah guru kekuasaan di mana wewenang adalah kuasa bukan amanah. Gejala sosialnya: atasi semua masalah dengan otot dan kepalan tangan; premanisme dengan semua wajah ungkapannya. Singkirkan beda paham yang tak sama berarti kafir, murtad, pembangkang, subversif!
Guru kelima adalah posmo yang dalam kata-kata Zigmund Baumann “condemning everything but proposes nothing” alias membongkar-bongkar dan mendekonstruksi segalanya tapi tak kuasa memberi ikhtiar rekonstruksi.
Lantas kemanakah langkah kaki ini akan berpijak, dan berguru kepada siapa pula kaki kita akan merangkak? Pilihan ada pada diri kita masing-masing, jalan yang akan kita pilih menuju Indonesia yang lebih baik tentu tak bisa lepas dari “kita”—generasi muda—sebagai penerus cita-cita bangsa.
Kesetiaan kepada negeri ini bukanlah karena patriotisme yang pongah. Kita setia kepada Indonesia justru karena ia terus-menerus memanggil: ia belum selesai. Kita tak bisa melepaskan diri dari ikatan kita kepadanya; kita tak bisa melupakannya; kita terkadang bangga terkadang risau oleh karenanya. Tapi tetap: Indonesia bukan hanya sebuah tempat tinggal. Indonesia adalah sebuah amanat(h). Begitu banyak sudah orang berkorban untuk cita-cita yang membuat negeri ini lahir. Dan saya hanya ingin teriak sekeras-kerasnya: MERDEKA!!!
Komentar
Posting Komentar