Langsung ke konten utama

Fitri


-->

(i)
Senjakala ramadhan suci telah semaikan janji
yang merevolusikan sifat thagut telah menuju titik kulminasi
terjejak segala nilai ibadah,  teresap dalam diri
Mengalirlah alirannya bening—hilangi noda kama,
desau angin mencerap halimun egolatri
segala bait dendam berpendar dalam kuasi ideologi
terlumatkan dalam aksentuasi cinta melampirkan cerita
(ii)
renungi lagi segala dengki,
segala angkuh terjejal dihati
gali lubang cahaya dengan ikhlas
terpekur takzim dalam sunyi balairung Ilahi
semua terindah, semua menyiratkan resah
terbalutkan semua dalam remah arkais
atas laku dan kata pernah menyayat luka
(iii)
sucikan hati, cerminkan diri
seiiring pahat lazuardi semakin menua di garis cakrawala
hingga kanon-kanon maaf 
menghadirkan penandanya disetiap palang pintu rumah
membelenggu segala benci dalam liang lahat panoptikon
gema takbir menelusup relung sukma
 disetiap insan yang termenangkan indahnya ramadhan—satu malam seribu satu bulan
diantara ketupat-ketupat dan daging-daging  menghias tiap meja para penggembira
atau kesucian yang meminta pakaian yang terbarukan?
segala konstruksi yang semakin jauh esensi
coba sucikan hati tanpa tendensi apa-apa,
melainkan karena cinta dan kerinduan sunyi kuasa Ilahi
sempitkan ruang nafsu dan pahat dengan ukiran kebenaran an-sich
(iv)
hari yang fitri ini kita resapi
menuju ugahari dan totalitas perubahan diri
meruwat jiwa berkelimun nafsu tubuh
dari hari kemarin penuh degup maksiat
semoga esok kita lampaui ego keakuan-ku
memeduli sesamanya dilanda kekurangan
berdamai dengan diri sendiri
dalam hening syukur atas kehidupan ini
 maafkan…
 atas semua laku dan kata
 pernah menyisa luka terjajal disela hati…

***
Duka sekaligus gembira, demikian perasaan saya berbaur lebur tiada jelas arasnya saat waktu membawa tubuh ini di akhir bulan ramadhan. Oposisi pasangan itu ber-transmutasi dalam kesadaran ego terdalam hingga menyembul sebuah rasa enigmatik.
Duka, karena lusa bulan penuh hikmah dan rahmat ini akan berakhir dan meninggalkan jejak-jejaknya sebagai petanda sejarah yang akan terbalaskan hari kemudian. Selama sebulan ini, pintu-pintu menuju balairung sunyi nan suci Allah SWT dibuka lebar-lebar bagi mereka manusia yang terpekur takzim atas bentangan kuasa-Nya, bagi mereka yang menjalani ritus penahanan nafsu dunia yang membanal merajai tubuh dengan kesucian kalbu, kepasrahan meditatif, serta keikhlasan tiada tepermanai—puasa.
Esok pagi, barangkali masjid-masjid mulai merintih sepi. Tak banyak shaff terisi oleh dahi yang menyisir lantai untuk bersujud. Ramainya jamaah yang gegap-gempita mengisi waktu luangnya untuk beri’tikaf, mendengar ceramah, serta menunaikan shalat sunah maupun wajib kian berkurang. Hingga tak terdengar lagi gema indah lantunan ayat semesta tiap malam-malam sunyi dan pagi yang sublim beriring cahaya mentari temaram. Semuanya menjadi jejak yang akan berulang satu tahun lagi, kala satu malam seribu bulan merepetisi maknanya dalam waktu. Tapi, semoga saja tak demikian adanya.
Gembira, karena esok pagi saat kulminasi seluruh bentangan rahmat-Nya bersintesa dalam hari yang suci. Saat-saat dimana senyum riang dan segala kebaruan jiwa telah tersucikan oleh kuasa hasrat setelah sebulan berpuasa dari segala nikmat dunia fana. Takbir menggema diseluruh jagad raya, melantunkan nada begitu indah hingga air mata tak kuasa tuk menetes; merembes disela pipi.
Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, walillahilkham…
Idul fitri, aku kembali memeluk kesunyataan dan kesucianmu yang derajahnya memutih seperti kelimun mega yang berderet meneduhkan diri dari sinar ultraviolet. Sebuah hari yang selalu ditunggu-tunggu kaum beriman setelah melepas segala jerat kama menyeka tubuh penuh nista. Seperti bayi yang baru terlahir menangis riuh dalam teduh, kembali suci.
Tapi suci bukan untuk kau ukur dalam baju-bajumu yang baru, bukan dengan segala kemewahan makanan diatas meja, bukan dengan ketupat dan daging yang sebatas pemuas tubuh, bukan dengan perhiasan mewah yang kita pamerkan sebagai ajang gengsi.
Hari yang suci, tanpa noda layaknya kertas putih yang belum kau coret dengan tinta hitam. Setelah tiga puluh hari kita berkontemplasi, merefleksi diri atas segala ingar-bingar duniawi. Semoga esok hidup lebih berarti, perbaiki kualitas diri yang disesaki halimun hitam nafsu pemenjara nurani untuk berterima dan mengafirmasi sesama kita menuai kasih atas hubungan tali silaturahmi—saling berlomba dalam kebajikan tuk raih cahaya Ilahi.
Saling berjabat tangan dalam indahnya “maaf”, untuk kemudian berterima sesama manusia setelah sekian lalu menyisakan laku dan ucap yang menyayat luka dihati. Sungguh indah saat dimana hanya cinta yang mempersatukan semua manusia dalam ke-tauhid-an, sehingga semua sifat Tuhan yang suci coba “kita” dekati dalam kesatuan ummat.
Disana tak terdengar lagi angkuh menyisa, tak terucap lagi “aku” yang tak memeduli manusia lainnya, “mereka” yang juga bagian dari diri “kita”. Dalam takbir yang bersahut diseluruh semesta hingga semua ciptaan-Nya hanya bisa terpekur takzim dan melepaskan hasrat  berkuasa. Hospitality: kesediaan kita sebagai sesame untuk saling berterima—tenggang rasa.
Kita adalah daseinmanusia yang ada-dalam-dunia (being in the world), bukan deretan benda-benda yang hubungannya bukan menimba kasih tapi untuk berkuasa. Layaknya benda, mati tak punya rasa saling sapa untuk berbagi dan mewedarkan sublimnya cinta tuk damaikan dunia. Tapi aku bukan benda, aku manusia yang punya hati nurani tuk menyayangi sesama dengan balutan tirai cinta.
Karena “aku” bukanlah manusia tanpa wajah yang-lain menemaniku dalam makna soliter diri, dalam sepi yang hampa. Aku bukanlah diriku tanpa kehadiran wajahmu, adaan (beings) yang-lain-lain, liyaning-liyan (others) yang beda tapi sama sebagai sesamaku untuk berbagi rasa. Kau dan aku yang fana, janganlah lagi saling berebut kuasa atas nama tahta, convoitise, saling bunuh-membunuh, saling cibir-mencibir, saling memendarkan kebencian atas nama keadilan bahkan atas nama cinta.
Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, walillahilkham…
Saat ufuk kian menerakan kuning senja, dunia yang semakin sesak dan berjejal oleh dentum keliaran akal-instrumental yang ditemani lecut kehendak-menuju-kuasa tuk mengebiri dan melucuti harkat sesamanya. Tapi, hari ini dunia sejenak kembali tersenyum dan melupakan air mata luka atas teduh gema takbir yang memenuhi janji untuk kedamaian azali.
Syahdan, hari ini semua makhluk berbinar oleh terang cahaya. Tapi tidak bagi mereka yang hati dan jiwanya tak pernah terisi oleh cinta, yang tak pernah bertafakur atas keteduhan sunyi ayat semesta, yang tak pernah sadar akan segala rahmat dan bentangan nikmat-Nya tiada tepermanai, tanpa pernah dipungut biaya oleh-Nya, Tuhan yang maha esa, yang maha dari segala maha, sang causa prima, yang tak pernah lelah menebarkan cinta-kasihnya kepada makhluknya terhina—manusia: “kita.”
Maka, ijinkan aku berkata “maaf” atas jejak-jejak laku dan kata pernah menyayat luka, atas hak-hakmu yang tanpa sengaja aku renggutkan. Aku tak ingin menebar permusuhan denganmu, aku hanya ingin bersahabat denganmu, sebagai sesamaku: manusia!
Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, walillahilkham…

Komentar

Populer