Langsung ke konten utama

Kembali ke Jogja (sebuah catatan tentang absurditas hidup dan cinta)



“Merasakan ikatan ke suatu tempat, rasa cinta ke sekelompok orang, mengetahui bahwa senantiasa ada setitik tempat dimana hati kita akan damai—itu semua adalah kepastian yang banyak buat hidup manusia yang sekali saja…” –Albert Camus

Hari raya Idul fitri adalah momen dimana semua orang berkumpul dan saling bertemu kembali setelah beberapa lama terpisah oleh jarak yang pejal, demi mencari penghidupan di kota-kota besar. Bertemu dengan sanak-keluarga di kampung tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi setiap orang. Setidaknya alasan itulah yang mendasari tradisi mudik ke kampung halaman, tentu tak hanya bagi kaum muslim, tapi juga mereka yang non-muslim pun juga ikut mencicipi libur hari raya, lebaran.

Ihwal tentang silaturahmi dan berkumpul itu pula yang membawa tubuh saya pulang ke rumah—tanah wiladah—dimana saya lahir dan mengisi masa kecil.

“Berhari raya itu gampang. Tapi beridul fitri susah bukan main!”

Kata Cak Nun dalam sebuah essay-nya yang kadang binal tapi menohok makna kesejatian hidup. Memang benar kalau sekedar berhari raya, bergegap gempita dalam kemeriahan layaknya pesta itu mudah. Karena yang dituju sebatas kesenangan sesaat. Paling tidak hal itulah yang terjadi kala hari raya itu jadi formalitas, sebagaimana yang terpampang pada orang kebanyakan: makanan yang serba “wah”, pakaian yang serba “wah”, dan apapun saja yang terlihat serba “wah”, bahkan bunyi-bunyian petasan bak Guntur yang menggelegar semakin menggemuruhkan suasana hari raya. Padahal, sejatinya uang untuk m’brebegi tetangga itu akan lebih baik dan berguna jika diinfakkan pada orang miskin yang konon tiap hari jumlahnya makin bertambah di negeri ini.

Tentu hal itu mudah-mudah saja, tapi memang agak sulit bagi yang tak berduit. Lantas, beridul fitri kok susahnya bukan kepalang, kenapa? Karena idul fitri adalah suatu pencapaian tertinggi dalam makna puasa—menjadi manusia sempurna (insan kamil). Menahan hawa nafsu, serta meruwat kembali jiwa untuk bersenyawa dengan cahaya yang terang. Sebagaimana Ibn Arabi, jiwa sejatinya adalah pancaran cahaya dari ruh Ilahi, yang kemudian cahaya itu terpantul dalam tubuh sebagai manifest nilai kesempurnaan. Layaknya bulan, ia memancarkan cahaya matahari yang terang benderang ke bumi yang gelap gulita. Itulah manusia, seperti bulan. Ia berpotensi menyuluh cahaya terang mentari ke bumi tapi juga berpotensi menggelapkan bumi dengan gerhana.

Tapi, yang tampak pada berhari raya sekarang adalah “tubuh” bukan “jiwa”. Dan hanya sedikit orang yang barangkali bisa mencapai derajat kesejatian dan kesempurnaan itu. Sebagaimana saya sendiri yang masih belum mampu melampaui realitas yang demikian semakin banal memuja “tubuh.”

Syahdan, semua kembali kepada kita masing-masing. Karena fitrah manusia adalah bernafsu tapi juga sekaligus rindu akan cahaya, yang sunyi dan teduh, karena barangkali kita sebagai manusia secara alamiah selalu sadar diri sebagai fana. Tinggal bagaimana kita menyelaraskan keduanya agar tak terlalu berat sebelah. Antara hubungan pada Tuhan yang meneduhkan jiwa serta hubungan antar manusia yang kadang meng-obyek-an sesamanya karena nafsu untuk berkuasa. Maka, setidaknya ajaran tentang silaturahmi dan berhubungan baik sesama manusia itu menjadi motivasi diri untuk menjalani hidup bersama dalam bening cinta, sehingga tak tersisa lagi hasrat untuk menjadikan orang lain sebagai obyek yang harus “aku” kuasai. Atau dalam bahasa yang metaforik “memantulkan cahaya Ilahi yang penuh cinta-kasih itu ke bumi.”

Setidaknya, mudik ke kampung halaman menjadi tak sia-sia, karena tak sekedar “wah-wahan” yang hanya merayakan “tubuh” tapi juga merayakan indahnya cinta kepada sesama.
***

Paling tidak, dari sana saya beranjak, langkahkan kaki ke tiap-tiap rumah agar hubungan silaturahmi tetap terjaga, yang tentu paling utama adalah keluarga, tetangga, kerabat, serta sahabat. Semuanya coba saya haturi jabat tangan, meski kadang aku tahu sebagai manusia biasa aku tak kuasa berbuat khilaf dan salah meski sudah betapapun meminta maaf. Tapi setidaknya ada niat dan usaha kesana.

Sebagaimana kata-kata Camus, sang filsuf eksistensialis, yang saya kutip diatas. Hidup, meskipun absurd tapi cuma sekali, yang harus diisi dengan ikatan kepada semua orang demi sebuah “tempat” yang berikan damai di hati. Kurang lebih, disanalah makna hubungan kemanusiaan, meskipun pada kenyataannya kita terus melecut diri untuk mengalahkan yang lain tapi dalam diri dan hati “kemanusiaan” kita tetap tak bisa membohongi diri untuk menjalin kebersamaan, kedamaian. Bahkan menurut A.N. Whitehead esensi fungsi rasio, yang dalam masyarakat barat dilecut dalam rasio-instrumental sebagai ihwal penundukan atas manusia lain, sejatinya adalah dasar sikap saling hormat antar sesama manusia.

Disitulah antara nilai agama yang berbasiskan teologis-metafisis dengan filsafat yang berdasarkan pada kebebasan berfikir setidaknya menemukan titik temunya dalam dimensi “kemanusiaan”: yaitu etika yang mengejawantah cinta kepada yang-lain, yang-beda, yang meskipun beda tapi sejatinya ia sama, manusia.

Walau kita tahu realitas sudah sedemikian terpusat pada “tubuh”—pada materi yang jadi tujuan utama—sehingga berbicara “cinta” sering dianggap klise dan sekedar omong kosong belaka. Didalam kebisingan dimana sekarang kita hidup, cinta mustahil dan keadilan tak mencukupi…” seorang Camus-pun tak bisa keluar dari skeptisisme tetang keadilan dan cinta, barangkali karena manusia selalu memberhalakan identitas dirinya, kelompoknya, rasnya, sukunya, agamanya sebagai satu-satunya yang layak hidup, dan yang beda harus ditiadakan. Sehingga, cinta hanya manis dalam kata tapi tak lempang dengan realitasnya. Itulah problem perennial kemanusiaan, yang mungkin akan terkuak ketika dunia ini berakhir, ketika waktu tak lagi menunjukan angka. 

Kebenaran, barangkali, yang jadi permasalahan utama. Orang memang cenderung membenarkan dirinya sendiri, merasa benar sendiri, seolah kebenaran yang hanya milik Tuhan itu sudah “dihadirkan” atau dalam bahasa provokatif Derrida “Logosentrisme”. Mereka tak belajar untuk menghargai yang beda, padahal perbedaan adalah sunatullah yang juga berarti rahmat. Seperti kata pepatah “mencari kebenaran itu berbahaya—penuh onak berduri—tapi lebih berbahaya adalah mengklaim diri sebagai kebenaran.” Dari pepatah ini setidaknya mengingatkan kita untuk rendah hati dan menjalani hidup bersama dengan cinta bukan dengan pembenaran sepihak demi kepentingan diri atau kelompoknya semata.
***

Setelah seminggu pulang kerumah dan mencicipi lebaran di kampung halaman, saya jadi ingat kawan, sahabat, serta keluarga di Jogja yang belum terkunjungi. Dan tentu meninggalkan (lagi) kebersamaan bersama keluarga itu menjadi hal yang tak mudah, tapi apa daya hidup menantang untuk itu, hidup menantang untuk keluar. Yang dalam pepatah Jawa “mangan ora mangan asal kumpul” sedikit banyak telah terdekonstruksi, menjadi “kumpul ora kumpul asal mangan,” dan itulah yang terjadi, karena realitas menuntut demikian.

Kembali ke Jogja, ya… sebuah perjalanan yang lumayan eksotis siang itu, udara tak terlalu panas, matahari pun tak terlalu menyengat pori-pori. Jalanan memang ramai berjejal motor dan mobil yang akan kembali ke “tempat kerja” mencari penghidupan yang layak bagi anak-istri tercinta. Tapi dalam ramainya jalanan itu semakin jelas terlihat bahwa berkumpul dengan keluarga adalah hal yang tak ingin dilewatkan oleh setiap orang, meski harus berjejal dan macet mereka tetap rela.

Saat sampai di Muntilan, aku merasa amat takjub dengan bentangan kuasa-Nya yang tak habis-habis untuk direnungkan dalam kata-kata dan puisi. Gunung Merapi yang dua tahun lalu menyemburkan isi perutnya itu terpampang begitu jelas. Mataku sampai tak jemu melihat panorama yang langka itu, gunung itu berdiri gagah disertai semburat cahaya mentari peralihan. Diatasnya berarak mega yang putih dan sesekali mendung yang hitam coba melindap dan menyatukan dirinya.

Di Jogja suasana tak terlalu ramai seperti biasanya, agak sepi. Tentu, tak lengkap kiranya tanpa melewati tugu yang menjadi saksi bisu atas patahan sejarah yang pernah hadir dikota ini. Meskipun aku sudah lama di Jogja tapi tak bosan-bosannya aku sering berkunjung ke tugu, barangkali terkadang intuisi ku menangkap sesuatu yang berbeda disana, yang kadang tak sanggup aku ejawantah dalam bahasa biasa.

Langsung aku tancapkan gas ke rumah simbah di Bantul, dan sesegera ku rebut tangannya yang mulai renta dan berkeriput itu. Meminta wejangan dan memohonkan maaf yang sudah terakumulasi di tahun ini. Tapi, tak lengkap kiranya tanpa pergi ke sanak, saudara, dan sahabat. Meski agak lelah dalam perjalanan, biar sekalian lelahnya, muter ke rumah saudara.

Dipagi harinya aku sudah merencanakan sejak lama, berkunjung ketempat seseorang yang telah merenggut hatiku, hingga aku pun tak tahu, perasaan apa yang sebenarnya terus berdegup dihatiku itu. Dia yang mungkin tak akan aku sentuh, tak akan aku dapati cintanya…

Dia yang membenci puisi, yang hadir dalam mimpi. Mungkin aku tak akan dapati cintanya yang terlalu indah itu, tapi setidaknya aku telah merasakan apa yang sejatinya benar, yang meski menyakitkan tapi terkadang meneduhkan. Entah aku tak tahu, tapi aku tahu. Sorot matanya buatku tertegun, tak bisa aku terka, dan sepertinya sedikitpun aku tak “ada” dalam dirnya. Posisiku seperti apa yang diungkapkan Camus dalam mitos sissifus Tetap berada pada tubir yang memusingkan itu—itulah kejujuran, tapi selebihnya hanya dalih…” ya, barangkali itulah cinta, ia ada, ia terasa, tapi tak mungkin cinta itu memaksa sesuatu yang tak bisa mencintai. Meskipun berkali-kali aku sentuh tapi ia tetap, dan biarkan cinta itu jadi cerita yang tak terceritakan—biarkan ia tersimpan dalam kata, dalam hati.

Mungkin aku tak terlampau percaya pada takdir yang bisu, yang seolah menggariskan hidup dan jodoh dalam kubangan yang telah diceritakan. Aku percaya pada takdir tapi bukan takdir yang pasrah, tapi bebas, seperti kebebasan berfikir yang dalam Al-Quran tak dilarang bahkan dianjurkan. Aku bebas menentu arah takdirku, jalanku, jodohku, tapi hanya kematian, kelahiran, dan jenis kelamin saja yang ditentukan tanpa bebas pilihan. Aku adalah manusia merdeka, berfikir bebas, bebas memilih, itulah takdir!

Aku menghargai hak manusia sebagai manusia, mencintai manusia sebagai manusia, bahkan hewan dan alam semesta wajib aku cintai dan kasihi dalam harmoni, seperti ajaran sang Rasul Muhammad yang Rahmatan lil alamin.

Aku akan menjaga cintaku untuknya, yang meski mustahil, tapi biarkan waktu yang menjawab semua. Karena mencintai adalah hak, sebagaimana tak menerima sebuah cinta adalah hak. Dan tugas seorang hamba hanya menyampaikan pesan itu sejauh ia bisa, serta menghargai hak orang lain, agar tak terjadi pemaksaan, represi, atau dehumanisasi yang akhirnya hanya dapati luka dan darah hitam kebencian lara.

Dan ketika itu, saat nanti tiba menerakan tanda, dia yang disana, bahagia dalam perjanjian bunga kelapa. Aku akan datang, mengucapkan selamat untuknya, semoga bahagia dalam cincin dan tali pengikatnya setia, dan bahtera akan berlayar menuju cakrawala… Arete!

“Aku seperti sedang menatap matahari diderasnya hujan, dan mendulang air ditengah kobaran api…”

Komentar

Populer