Langsung ke konten utama

Mata



Kehidupan selalu menjejak rentetan peristiwa. Dari momen waktu lampau yang kemudian kita rangkai kembali jejak-jejak itu dalam memori. Ada sesuatu yang tergapai pula yang lenyap menghilang jauh tak kita temukan lagi jejak penandanya. Semua yang terjumpa, tiap wajah yang membawa kita saling sapa, saling mengenal satu sama lainnya sebagai Dasein—manusia yang berada-dalam-dunia.
Setiap perjumpaan yang mengesankan, dengan orang asing atau orang yang kita kenal, bermula dari tatapan. Semula kita melihat wajahnya, ia begitu berbeda dan unik dibanding yang lain. Kemudian kita menatap matanya, dan dari situ kesan demi kesan mulai tumbuh dalam hati.
Setiap mata yang kita tatap meninggalkan gaung dalam diri, yang mungkin baru terdengar setelah kita berpisah darinya. Mata itu seperti bersuara. Ia seperti berbisik dari kedalaman dirinya dan bercerita segalanya. Dari mata, muncul dialog-jiwa. Aku dan dia saling menyapa dalam tatapan.
Hegel, filsuf agung Jerman itu, benar ketika mengatakan bahwa “mata adalah cermin jiwa”. Dari mata, kita meneropong jiwa seseorang. Dari mata, tergambar nada-nada jiwa yang berdenting di hatinya. Kesedihan, kepolosan, harapan, kegembiraan, kelembutan, kegarangan, kejalangan, keculasan, sedikit atau seluruhnya, terlihat dari cara mata mengekspresikan penglihatannya.
Tapi mata juga fatamorgana jiwa. Kita tak pernah tahu apa yang ada di benak seseorang dengan hanya menatap matanya. Mata adalah cermin yang retak. Kita tak akan sepenuhnya mampu menebak hati orang lain dengan melihat ke dalam matanya.
Kita dipertemukan oleh tatapan. Dalam tatapan, yang jauh terasa begitu dekat; yang dekat terasa begitu jauh. Dalam tatapan, aku melihat dunia pada diri-“nya” […]
Mata adalah miniatur jiwa. Mata adalah ihwal penunjuk cinta, cinta yang ada dalam jiwa sebagai potentia akan disingkapkan oleh ketakjuban mata pada keindahan wajahnya. Sehingga cinta itu teraktualkan (actus) jadi kebenaran, meski terkadang cinta itu tak tersambut daripadanya…

Komentar

Populer