Langsung ke konten utama

Agnostik



“Ah, mon cher, for anyone who is alone, without God and without a master, the weight of days is dreadful.” –Albert Camus

Dini hari adalah sebuah momen asketis, sebuah waktu yang penuh dengan dawai liturgis, setiap mata pada momen semacam ini sedang pulas-pulasnya terkantuk dalam lelah bunga tidur. Ada pula yang memasuki kesunyian dalam sendiri, merayakan dunia yang penuh kelindan nafsu, dan tak jarang yang mencari kemungkinan dalam ketakmungkinan hidup.

Langit tergurat hitam, terlihat mendung, tak menampak cahaya bulan memantul, hanya redup dan temaram lampu kota menggigir liris suasana.

Maka terjadilah. Disebuah warung kopi daerah kota baru pada dini hari yang semakin tak ramah oleh angin malam yang begitu dingin. Beberapa detik lalu dua orang sahabat tenggelam dalam wacana tentang etika…

“rasanya aku mulai kehilangan…”

“kehilangan? Apanya yang hilang? Sepertinya kau masih terlihat utuh, lagipula wacana kefilsafatanmu ku lihat tambah nggreget saja…”

“ya…ini tentang Tuhan, manusia, dan cinta…aku mulai tak percaya, entah kenapa…”

“hahahaa…Tuhan memang tak harus ‘ada’, kan ?” seraya menghembus asap nikotin pada celah udara.

“itu kan Cuma permainan bahasa untuk menegatifkan dan mentransendensikan Dzat Tuhan yang tak mungkin kita terka, tasybih dalam bahasa Ibn Arabi, tapi bukan itu masalahnya, secara teologis mungkin aku sudah lumayan paham, tapi Tuhan itu bagiku amat jauh dan semakin absurd, seperti kau bilang tentang etika Levinasian yang juga amat abstrak dan kurang praktis, padahal etika hanya butuh praksis alias amal, kebanyakan konsep malah makin absurd…”

“praksis tanpa ide itu cacat bung, toh ketika kita melakukan kerja material kita tetep mengandaikan konsep dalam akal-praktis, kita memahami dan baru eksekusi—dengan kata lain kita sudah punya pandangan-dunia dulu tentang apa yang kita anggap benar baru dimaterialkanlah tuh konsep…”

“ya mungkin begitu secara hirarkinya, tapi entah aku merasa imanku semakin lenyap, dan makin tak percaya Tuhan itu ada…” sambil mengangkat cangkir kopi terakhirnya, dan meniupkan api pada ujung tembakau. 

***
Tanpa terasa waktu telah menunjuk angka tiga, terlihat mata-mata insomnia menghambur disetiap meja. Melihatnya aku menjadi muak, dengan etika yang-lain, liyaning-liyan, yang sama sekali hanya jadi sampah dalam perdebatan wacana, dan cinta yang semakin hambar, tak ramah pada ketulusan, hanya mengabdi pada ketakmenentuan nilai, hingga terkadang aku percaya pada Marx bahwa manusia (subyek) tak lebih hanya bentukan kekuasaan (struktur), bentukan realitas eksternal. 

Tapi wajah-wajah itu terlihat suram, tak seindah apa yang dikatakan Levinas bahwa wajah adalah sebuah aletheia yang absolute dan seketika meluruhkan ego-aku pada alteritasnya yang beda dan unik. Yang kurasa justru seolah semua orang tertawa sinis meneriakiku pecundang! Ah…aku ingin misuh
Mungkin Cuma persepsi, tapi persepsi itu selalu hadir dan memberi sebuah impresi yang tiba-tiba, dan tanpa sadar aku mempercayainya… entahlah, aku juga semakin tak tahu, siapa sebenarnya diriku ini.

Entah akhir-akhir ini terasa begitu aneh, ada semacam waham, dan hatiku meronta lemas pada kesepian yang absurd. Bahkan setiap malam aku merasa hilang dalam kelainan, dalam kata-kata dan puisi yang semakin hari hanya sebuah mimpi, akan sebuah ketakpastian dan ketakmungkinan. Sebuah asal usul yang juga tak pernah ‘ada’, hidup dalam imajinasi dan tulisan, mungkin sebuah jalan, untuk menjadi, manusia yang utuh, tak retak. Tapi itu palsu, aku hanya merasa—dengan menulis—aku justru semakin jauh dari asal-asul tulisan, aku semakin menambah panjang mata rantai tulisan dan menjauh dari asal mulaku sendiri, memperparah rasa ‘kangen’ yang tak berkesudahan akan sebuah hal ihwal. Namun, paradoksnya hanya dalam ‘kangen’ ini asal-usul itu menjadi mungkin, hanya dengan menulis asal usul itu terasa dekat, terlihat, lamat.

***
Pada tengah malam yang selamanya tak tertembus, sebuah wajah dalam spiral kata menampakkan penanda yang semakin jadi ilusi, dan aku tahu itu, aku hanya bisa mengejanya dalam bait-bait sajak menyerta gema air yang memantul, membuihkan warna bersama ikan hias yang menghiburku untuk tetap setia.
“…Seperti pedang yang dapat menebas, tapi tak mampu menebas dirinya sendiri, seperti mata yang dapat melihat tapi tak dapat melihat dirinya sendiri…”
Seperti itulah kiasan tentang ‘aku’—yang semakin tak tahu—akan sebuah makna hidup yang selalu saja penuh dengan masalah, kesenjangan antara ‘pikiran’ dan ‘ada’, idealitas dan realitas, dasein dan dasolen.  Itulah ‘aku’ selalu terbelah dan berkurangan, tak pernah mencapai sebuah kepenuhan. Barangkali sebuah konsep yang mencakup segalanya, universalitas, dalam dunia ini hanya ilusi idealis belaka. Semuanya selalu berkekurangan, negasi atas negasi yang menjadi syarat kemungkinan pun akhirnya hanya menipu diri akan sebuah realitas yang nyatanya ‘ada’ secara mandiri—secara obyektip—tanpa tergantung pada impresi dan persepsi manusia, sebuah dunia material yang juga dialektis dalam lokus subyektifnya—itulah kenyataan yang harus dirubah bukan hanya diinterpretasi. 

Memang hari ini, aku paham, berfikir filosofis adalah hal yang tak penting bagi orang ramai. Bahkan tak berguna. Apalagi tuntutan praktis ‘realitas’ yang juga mencitrakan sebuah kesenangan pada buih-buih angka dalam lembaran merah yang tergambar PBR (pemimpin besar revolusi) dan sang intelektual asketis yang tak mempan dirayu bangsa penjajah. Memang itu lumrah dalam khazanah pikiran biasa (common sense) dimana hidup hanya merayakan apa yang tampak dan meniadakan apa yang tak ‘ada’. Meski tak ‘ada’ itu sebenarnya adalah ‘ada’ itu sendiri. 

 Ah… kenapa tiba-tiba aku jadi ingat kamu, yang benci puisi, mungkin sebentar lagi kau akan berjanji setia didepan pengadilan ijab qobul… semoga saja, kau tak lupa aku, yang semakin tak percaya pada “tuhan,” dan cinta yang selamanya buta—tak ‘ada’… 
“Menerima kemalangan adalah menerima keberuntungan, menerima persetujuan adalah dengan menerima penolakan…”
Hidup ini hanya butuh kerelaan, kejujuran, dan ketulusan akan sebuah kebenaran bukan karena suka atau tak suka. Seperti matahari yang tak pernah terlambat menyinari bumi saat pagi dan tenggelam diujung teja senjakala. Di sana mungkin tubuh tak terlihat gores luka, tapi selamanya jiwa selalu negatif—tak kelihatan. Setiap perasaan yang mengimpresi dan tersembul dalam persepsi hanya “aku” yang mengerti, meski kadang tak juga mengerti. Alam bawah sadar memang penuh misteri, dan selamanya aku tak akan tahu; tentang aku, kau, Tuhan, cinta, dan keadilan. Dan semua, akan terus berubah, laksana iman yang terus berubah, demikian pula sempurnanya agama islam yang sejatinya belum sempurna, kesempurnaan itu hanya dalam dunia idea saja, dalam normativitasnya, tapi realitas selalu tak sempurna. Ya…itulah hidup, selalu ‘ada’ dan men-jadi.

***
Biarlah orang melakukan yang diinginkannya,
lalu mereka mati, semua, satu-satu.
Bagi awan, himpunan itu, tak ada
yang ganjil di saat itu

seseorang pernah selalu ada di sana,
selalu ada di sini, kemudian
tiba-tiba lenyap
dan terus menerus lenyap.

Tak ada hidup
yang tak bisa kekal
meskipun cuma sebentar

Kuketuk pintu-depan batu itu.
Ini aku, izinkan memasukimu.

Kudengar ada balairung kosong dalam dirimu,
sesuatu yang tak tampak: indah, namun percuma,
sesuatu yang tak bersuara: ruang yang tak punya gema.

Kau mungkin akhirnya mengenalku,
tapi tak akan sepenuhnya mengetahuiku.
Seluruh permukaaanku menyambutmu.
Yang di dalam diriku melepaskan diri.

(Szymborska)

Meskipun sekuat apapun manusia ia tetap tak kuasa, ia tetaplah fana. Manusia akan mati berkalang tanah; kecantikan akan hilang, ketampanan akan musnahtak ada yang kekal. Tapi kematian betapapun mengharukan, ia kemudian akan menjadi kejadian yang biasa saja. Barangkali hanya kenangan, atau artefak yang terjejak akan berguna bagi kehidupan manusia selanjutnya. Maka, sebelum nyawa ini melepaskan diri dari jasad, sebelum nafas ini habis, hidupilah kehidupan dengan daya dan karya untuk sesamanya…   

Teruslah mencari, berfikir lagi, karena Kebenaran selalu tak penuh, Cinta selalu retak, Iman selalu tak tetap, Keadilan selalu terbelah, dan Tuhan (akan) selalu tak selesai…

Komentar

Populer