“Bagian terbaik dari sebuah gambar adalah
bagian yang tak dapat direpresentasikan sebuah gambar…” –Francis Bacon
Sebuah pagi tergambar pada gurat cuaca
mendung. Terbangun aku dalam lintasan sepi dan masih dalam derap kantuk
terpatri. derit pintu memecah hening, diluar sana tak seorangpun terlihat
menaja peristiwa. Dan segera kusadari roti pagi pengganjal perut hanya menyisa
remah-remahnya saja.
Ku langkahkan kaki menuju sebuah Swalayan
local yang mulai tertatih-tatih oleh sengatan modal-modal raksasa. Tak
terlampau pepak memang, barangkali karena modal capital yang
seadanya, tak seperti di mart-mart multinasional yang ber-mega capital
dibeberapa meter sebelahnya. Entah, sampai kapan para pribumi ini akan terus diam
dan tunduk pada para wangsa capital multinasional yang semakin menyesaki hulu
dan hilir lokus perekonomian Negara ini.
Seperti langit mendung diatas sana, apa
makna cerah tak jua dimengerti, pula hujan yang lama sekali tak kunjung turun,
sehingga kita lupa akan sebuah kebersamaan, mencari sebuah perigi bersama,
dalam hidup yang dimanipulasi wangsa kapital. Hanya rintik gerimis yang
menyerpih kecil terasa dipori-pori. Mungkin ini sejenis prefix, pada
bulan September yang masih bertadah panas mentari, kering kerontangnya tanah,
dan krisis air—yang semakin hari semakin jadi komoditas.
Bahkan hidup semakin tak menentu arah,
kematian ala posmo pun rasanya tak bisa dibantah. Momen sepagi ini saja,
kurasakan kita sudah jadi budak. Segalanya jadi anchilla bagi tirani
hasrat dirinya sendiri, yang tentu, apa yang dihasrati adalah sesuatu yang
eksis diluar dirinya, sebuah liyan yang dijadikan “berhala”.
Kemarin aku mendengar ugahari adalah utama,
minimal hidup ini mencari makna. Dan barangkali selemah-lemahnya keutamaan
hidup adalah mencari yang berguna, atau yang berfungsi. Tapi kulihat lain hari
ini, kita semakin tak menggapai guna apalagi makna, yang kita gapai hanya
tanda, citra, symbol, demi sebuah perayaan modis ala selebritas yang heboh
mengguncang kebodohan ramai manuisa. Begitu pula cinta, hanya manis dan ramah
bagi para penjual sumpah serapah gombal. Ya…semua telah “MATI”, menenggelamkan
diri bersama kuasa citra tanpa balutan kedalaman makna, hanya kedangkalan yang
tertoreh bersama repetisi iklan dan juntai etalase-etalase mall. Begitu juga,
setiap hari, kita semakin jadi sepalsu Raja Midas. Memimpikan kaya tanpa usaha,
hanya keserakahan yang jadi matra.
Entah, bagaimana pula kita juga semakin
mati terpukat gadget, kita dikebiri oleh objek fetis yang kita buat
sendiri. Bayangkan, kita tiap detik, jam, hari, hanya sibuk dalam diri sendiri
dengan gadget, tanpa peduli yang orang lain berada didepan mata. Yang di urusi
Cuma dunia maya yang terpampang dalam layar gadget. Komunikasi sudah tak
menjamah yang real lagi, hiperealitas menggema dalam hidup yang semakin
dikalkulasi pada statistic yang beku, membawa hidup dalam obyektivitas semu. “kami
bukan benda! Kami manusia! Jangan ukur kami dengan segala kepastian tanpa
makna!” teriak para orang sadar dan bebas yang masih memimpikan hidup dalam
keutamaan sejati ditengah keringnya “iman” modernitas yang memuja “tubuh” dan
kepastian tanpa jejak.
Segalanya pun terus berlari tunggang
langgang. Memampatkan ruang dalam dimensi waktu yang semakin buncit dalam
percepatan—dromokrasi—yang dibatasi oleh hubungan imajiner yang telah dianggap
kenyataan. Inilah kenyataan dalam dunia fantasi!
***
Dunia ini sungguh tak mudah ditafsirkan.
Selalu saja menimbilkan beragam interpretasi dan ragam pemknaan yang selalu
berbeda. Aku sendiri tak paham mengapa aku harus diciptakan, mengapa aku
menjadi diriku yang tersesat dalam ambiguitas dan absurditas kehidupan dunia
ini. Barangkali, semuanya akan dijawab dengan mudah dengan dalil dalam kitab
suci. Tapi, jika itu hanya dogma, kita hanya dikebiri tafsiran yang tak jelas
kebenarannya. Ya saya beriman! Tak diragukan lagi, tapi iman bukan sedar
kepatuhan tanpa dasar. Iman adalah pencarian.
Bukankah kitab suci itu juga terberikan
untuk ditafsir? Lantas adakah yang berhak mengklaim bahwa tafsirannya adalah
yang paling benar dan paling sahih, dan yang lain adalah kafir an sich
yang harus dimusnahkan?
Ketika hidup sudah diseragamkan, kita hanya
bisa menangis dalam kekeringan, kita hanya bisa membisu dalam kekosongan, kita
hanya terpaku dalam kejumudan. Barangkali itulah yang terjadi ketika umat islam
terpuruk dalam lintasan zaman, bahwa “pintu ijtihad telah ditutup!” tak
ada yang boleh mengutak-atik lagi kesakralan Turats… ya, akhirnya jadi
ideology buta tanpa melihat realitas centang parenang dan terus bergerak dalam
kemajuan lintasan zaman, kita hanya melongo dan meratapi ketertinggalan.
Begitu pula kala orang lain menghujat diri
dan kelompok, apalagi nabi kita dengan kelakar sinis. Semua langsung terpancing
provokasi murahan tanpa dasar itu. Mudah sekali memang untuk menjungkirkan
orang yang sedang tak berdaya, yang terpojok dalam kubangan comberan dunia.
Kalau kita mamang benar kenapa musti takut dan reaktif? Bukankah yang bathil
niscaya akan mudah kalah dengan sesuatu yang senyatanya benar? Yang terpenting
adalah “melawan” kebodohan para penghujat itu dengan daya kreatifitas dan
menunjukkan sisi kedamaian Islam yang katanya Rahmatan lil-alamin, bukan
hanyut dalam provokasi murahan dengan teriakan “Allahuakbar…”
dijalan-jalan dan menunjukkan keberingasan islam, dengan begitu malah sang
dalang bakalan tertawa ngikik lihat tingkah umat islam yang begitu mudah
dipermainkan. Murah sekali kita meneriakkan nama Tuhan hanya karena sebuah
propaganda tanpa sebuah ihwal yang dapat dipertanggungjawabkan!
***
Setiap perjumpaan memang selalu menyisakan
kesan. Apalagi dengan seseorang yang berlainan jenis, tak dapat dinyana, sebuah
rasa akan timbul, dan tak terperikan. Tapi barangkali, semua itu sekedar
persepsi subyektif yang belum tentu bisa dipadukan dengan persepsi orang lain
yang terjumpa. Orang lain selalu hinggap dalam kesadaran, dan tak jarang kita
menghasratinya, menirunya, menjadikannya patokan diri kita sendiri. Dalam dunia
hidup yang ambigu ini, orang lain adalah dimensi lain yang merupa dalam
wajah-wajah, mereka bukan objek an sich, tapi mereka adalah being
yang lain yang sama dengan aku, dengan kita.
Impresi perasaan pun selalu menyembul dalam
diri, kadang kita terlalu menilai bahwa ini adalah baik dan itu adalah buruk,
ini patas ini tak pantas. Mungkin, dalam kulminasi perasaan itu akan tercipta
cinta, cinta yang mengabdi pada sebuah dimensi transendentalnya yang tak bisa
dikonsepsikan dengan apapun jua. Seperti wanita, ia ada, ia ku rasakan, ia ku
cintai, tapi tak mungkin pula apa yang terdapat dalam kesadaran subyektifku itu
bisa dirasakan orang lain—wanita itu.
Dalam hidup, didunia ini tak ada yang
superior. Jiwa lebih utama dari tubuh, ataupun sebaliknya, tapi kita adalah tubuh
yang menjiwa. Berkata “Ya” pada tubuh adalah niscaya, seperti
yang diproklamirkan Nietszche. Tapi tak berarti pula kita mengistimewakan
tubuh, karena jiwa adalah selubung makna menuju pencerapan cahaya. Tubuh itu
gelap, jiwa itu terang, dan kita berada diantara keduanya. Dengan memusatkan
jiwa kita jadi kaum fatalis yang tak mengacuhkan dunia yang terluka, sementara
dengan memusatkan tubuh kita kan menjadi kaum hedonis yang memuja kesenangan
dunia diatas segalanya. Semua harus berimbang, setidaknya menuju Kebenaran.
Karena kita selalu etre-au-monde (berada-dalam-dunia). Manusia adalah “persetubuhan”
dengan dunia, eksistensinya berkaitan erat dengan dunianya.
Dan disitulah orang lain pun berada dalam
persepsi kita. Orang lain bukan yang-lain dalam konstitusiku (dalam pikiran
yang membuat sesuatu itu ada), sebagaimana filsafatnya Descartes yang
mengobjekan orang lain. Orang lain bukan objek, tapi dia adalah aku-yang-lain
(alter-ego). Maka, dalam perjumpaanku dengan orang lain bukanlah untuk
menguasai, tapi memberikan makna, memberikan haknya seluas samudera, memberikan
keluasan bagi yang lain untuk mencerap kebenaran dalam diri kita sendiri,
memberikan cinta yang tulus pada dimensi kedalamannya.
Tapi, semua mungkin tak selempang apa yang
kita berikan dengan ketulusan. Karena orang lain juga “neraka bagi aku”.
Seiring ambiguitas manusia yang juga bemacam kecenderungan, kita tak bisa tahu,
mungkin dari tatapan matanya sedikit banyak akan tercerap makna. Kita bisa tahu
dan mengenali orang lain dari tatapan hangat matanya, tapi mata juga enigma,
sebuah topeng citra yang penuh teka-teki dan ambivalensi.
Hmmm…mungkin inilah kenapa kita disebut
“manusia”. Kita adalah sumber ketidakjelasan itu sendiri, sebegitu sulit
menebak rona manusia, ia reflektif, tak seperti alam yang memiliki hukum dan
garis edarnya yang sempurna. Kita adalah agen yang “dikutuk dalam kebebasan”,
sehingga barangkali sampai kapanpun, sebuah cinta tak akan terejawantah
sempurna, sebuah tulus akan dicurigai sebagai pamrih, dan terus kita akan
terjebak pada citra, pada sombolisasi yang terpampang didepan mata. Barangkali,
itu pula yang mendasari kita melakukan kekerasan pada yang-lain, entah atas
nama symbol atau kepalan tangan. Yang jelas, seperti kata Habermas, ada
distorsi komunikasi…
ya… Cinta itu selalu negatif, ia tak bisa
diterka dengan mata biasa […]
Komentar
Posting Komentar