Langsung ke konten utama

Kematian

-->

 
Kematian merupakan sebuah keniscayaan dalam diorama kehidupan. Mati berarti konsekuensi dari sejak kita lahir kedunia ini. Sebuah takdir yang tak bisa kita prediksikan kedatangannya sama sekali. Sejak manusia “terlempar” kedunia yang ambigu dan absurd ini, manusia sudah menjadi tubuh yang berjiwa dan bernyawa, yang akan menghidupi dan mengisi dunia, memenangkan pergulatan dengannya, atau bahkan kalah dan dipecundanginya.
Hidup ini memang tak terlampau indah. Terlampau hanyut dalam keindahan sorga dunia sudah barang tentu nafsu dan tubuh saja yang dijadikan matra, melarian diri dari absurditas dunia juga akan menjadikan manusia tak mengacuhkan kehidupan bersama, tanggung jawab terhadap dunia hidup manusia yang kian banal, penuh ketakadilan, dehumanisasi, marjinalisasi, eksploitasi…
Lantas dalam hidup yang sekejap ini, kemana arah dan tujuan hidup kita?
Orang Jawa bilang hidup ini sekedar mampir ngombe (minum), dunia ini sejenis tempat pengujian dan tempat penempaan diri sebelum ke tujuan utama, maka dari itu barangkali kita sekedar mampir saja, toh kematian cepat atau lambat akan merenggutkan hidup ini. Lantas apa gerangan yang menjadi hakikat kehidupan yang fana kecuali berbuat baik kepada sesama manusia dan mengabdi kepada titah Tuhan yang maha tak terhingga?
Di antara milyaran manusia yang melewati sejarah, hidup hanya ‘terentang sepanjang bekas cakar kita pada pasir’, demikian kata Wislawa Szymborksa, sang pujangga Polandia yang sempat meraih nobel itu, hidup ini layaknya gores cakar pada pasir yang segera lenyap diterpa deras ombak tepi pantai. Tak ada yang kekal dalam dunia materi yang fana ini, semua akan mati satu-satu, berkalang tanah, kembali menjadi seonggok lempung yang tak bernyawa, tak miliki rasa, apalagi cinta.
Menurut Heidegger, sang filsuf Jerman termasyur, kematian selalu berarti kematianku, ia selalu bergubungan dengan diriku sendiri. Final dari eksistensi manusia di dunia (Dasein) adalah kematiannya. Maka, setiap orang bertanggung jawab terhadap kematiannya, kita tak dapat mengelak didepan kematian. “segera setelah seseorang dilahirkan, ia sudah cukup matang untuk kematian,” demikianlah kata Heidegger, kematian kemudian bisa dimengerti bukan saja sebagai momen akhir dari eksistensi, tapi juga semacam cara Dasein menunujukan keberadaannya. Oleh karenanya sejak manusia lahir kedunia, masa depannya secara imanen sudah mengandung benih kematian. Manusia tak dapat menyeberangi kematian, ia harus menghadapi dan menjalaninya, saat-saat terakhir dimana nafas tak lagi berhembus dalam paru.
Berbeda dengan Heidegger, Levinas—sang filsuf etika “yang-lain”—kamatian tak harus dikaitkan dengan diri sendiri, dan akan lebih bermakna jika bersentuhan dengan yang-lain. Kematian dalam pandangannya bisa dimengerti sebagai kematian yang altruistis. Kematian seperti ini menjadi pendasaran etis terhadap etika kemanusiaan. Dalam hal ini pengorbanan menjadi taruhan, kematian selalu berarti kematian untuk yang-lain. Arkhe dan telos-nya adalah yang-lain, seperti yang diungkapkan Derrida “Semua yang-lain adalah semua yang lain itu.” Lantas apa itu yang-lain? Dalam hal ini, yang-lain (liyan) bisa berarti eksterioritas (exteriority), yaitu sesuatu yang eksis diluar diri kita, mungkin orang lain, benda-benda, hewan, dan tumbuhan. Bisa juga ia berupa yang tak berhingga (infinity), sesuatu yang transenden melampaui dunia kehidupan manusia, ini bisa berarti Tuhan.
Dalam filsafatnya, Levinas seringkali menyebut wajah sebagai sesuatu yang hadir sebagai yang lain. Wajah adalah semacam manifest dari yang ilahi, dimana kita diundang untuk mencerapi dan menggumulinya dalam cinta kasih. Epifani wajah itu memanggil, ia bukan wajah dalam arti fisis-biologisnya tapi lebih dimenegrti secara metafisis, ia bukan muka, ia adalah momen aletheia (penyingkapan yang transenden). Sehingga, hidup ini sudah barang tentu adalah menghormati, menghargai, menebarkan cinta kepada sesama, bukan sebaliknya menjadi serigala atau malah neraka bagi sesama kita, yang-lain itu. Dengan demikian mengabdikan diri pada Tuhan juga berarti menciptakan dunia hidup yang damai dan penuh cinta kasih kepada the other. Maka, kematian dalam terang pemikiran Levinas adalah kemtaian yang berguna kepada yang-lain—bukan sekedar kematian untuk diri kita sendiri.
Sementara itu, dalam ajaran Islam, kematian dipahami sebagai jalan lain. Sebagai sebuah transisi menuju sebuah tempat yang lain di akhirat, sebagai pembalasan terhadap apa saja yang pernah terlaku didunia.

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” ([3]:145)

Ketundukan dan kepasrahan kita sebagai hamba menjadi semacam aksioma dalam kehidupan. Hidup didunia ini tak lain dan tak bukan adalah untuk beribadah, baik yang wajib, sunah, dan apapun demi kebaikan. Maka apapun yang kita lakukan tentu didasari atas pengabdian kepada Allah SWT. Dalam hal ini etika atau akhlak menjadi utama, sebagaimana bisa kita taja dari pemikiran filsafat Levinas.
Post-scriptum
Di tengah hidup yang berkelimpahan bagi beberapa manusia, dan kekurangan bagi ramainya manusia, satu-satunya jalan yang mungkin lebih baik barangkali adalah dengan lebih banyak lagi memberi. Apa yang kita butuhkan dalam hidup selain sejumput cinta dan perhatian, secukupnya sandang-pangan-papan, dan jiwa yang berdamai dengan dirinya? Mungkin, tak ada yang lebih membahagiakan selain bersedih, bersedih karena kita adalah manusia yang selalu lalai oleh waktu yang terus bergulir, barangkali banyak hal yang seharusnya kita curahkan untuk beribadah, tapi malah kita gunakan untuk bersenang-senang, yang sifatnya sementara. Bersedih bukan sebuah kesedihan biasa, tapi melampaui kesedihan karena dunia, karena frustrasi, apalagi mati bunuh diri, yang tak tahu hidup yang begitu berarti.
Semua manusia pastilah menginginkan bahagia, tapi jika yang kita tuju hanya bahagia dalam arti materi semata, bukankah hidup justru kering nuansa? Maka sebelum kematian itu tiba, hendaklah kita selalu bersedih, karena-Nya, mengingat kematian dalam teduh syukur atas rahmat kehidupan tiada terperikan ini.
Syahdan, karena sebuah cinta kepada yang-lain itu, maka hidupilah kehidupan ini dengan lembaran cinta dan dawat kasih, demi hidup yang lebih berarti saat nanti…
Apalagi yang akan kita lakukan dalam hidup ini, selain berkarya untuk yang-lain itu, sehingga manfaatnya terus mengalir kepada orang lain, layaknya bengawan yang hilir airnya tiada pernah gersang?
Wallahu A’lam.
***

Komentar

Populer