Kesunyian pekat menyelimut. Sesekali,
terdengar derit roda kereta kuda dan gemercik air pada kolam ikan. Dijendela dan
lampu-lampu jalanan tak tersisa seberkas cahaya, hanya redup cahaya bulan
setengah lingkaran membingkai malam dengan ragam pesona. Jalanan lengang saja. Tubuhku
diam saat kantuk mendera, dan tak seorangpun yang kini dan disini (hic
et nunc) dapat mengisi ruang hampa dihatinya--mungkin hanya dia, yang semakin jauh meninggalkan jejak tanpa bekas.
Seperti waktu, terus bergerak dan terus
memacu mengiring tabuh kehidupan manusia. Semakin menjadi tua, renta, rapuh
dalam tubuhnya. Jam yang berdetak jadi saksi alur nada kehidupan yang penuh
ragam misteri. Siapakah waktu? Apakah ia jam yang bergerak mekanis dalam
ketepatannya dua-empat jam sehari? Atau sebuah relung sadar diri yang
memersepsi dunia hidup ini secara reflektif, terkadang waktu terasa cepat
bergulirnya, dan tak jarang terlalu lama memutar pendulumnya?
Masa depan adalah sebuah impian dan janji. Esok
hari, yang akan datang, kemudian, akan terjadi. Kita seringkali mematok sebuah
tujuan yang terjadwal, sebuah masa depan yang bisa diprediksi, terprogram, dan
melihat kemungkinan-kemungkinannya. Tetapi seperti apa yang dikatakan Jacques Derrida,
sang filsuf posmo Perancis, ada sebuah masa lain yang tak bisa diterka dengan
intuisi biasa. L’avenir (to come), sebuah kedatangan Yang-lain, liyan, the
Other, yang ihwal kedatangannya sama sekali tak bisa dinyana. Dan barangkali,
itulah masa depan sejati.
Sesuatu Yang-akan-datang itu sama sekali
tak bisa kita antisipasi kehadirannya. Sejenak, segala kepastian itu lenyap
dalam sebuah momen “gurun dalam gurun,” sebuah kehilangan dramatis tentang yang
pasti. Sebuah momen “topos aporetik” yang memadukan agama dalam dimensi
transendentalnya. Sebuah “iman” yang tak diukur atas nama teologi dan dogma
apapun. Sebuah agama tanpa agama. Begitulah, masa depan itu entah kapan akan
datang menghampiri kita yang kian hari lupa pada diri kita sendiri sebagai “manusia”.
“Tanpa gurun dalam gurun ini tak akan ada
laku iman, ataupun janji, ataupun masa depan […] ataupun singularitas dengan yang-lain…” tulis Derrida dalam faith and knowledge.
Masa depan itu niscaya tak terperikan. Kita
sebagai sebuah noktah kecil dalam kehidupan ini hanya bisa melakukan apa saja
yang terbaik. Setidaknya, bagi riuh rendahnya dunia yang semakin memuja
tuhan-tuhan ciptaan manusia. Dalam hidup yang singkat ini, kita hanya bisa
berusaha, berbuat baik kepada sesama, memancarkan cinta, mengulurkan tali kasih
pada yang-lain yang tak dihitung sebagai “kita”. Mereka juga kita. Barat adalah
timur, sebagaimana timur adalah barat. Semuanya bukan sebuah takdir yang
terberi begitu saja, semua ini tercipta hasil kreasi akal manusia. maka dari itu dengan akal pulalah kita bisa merubahnya kedalam harmoni, kedalam sebuah hidup bersama dengan tirai cinta.
Akupun tak mengerti, ketika hari ini, kita
masih jua bisu dan menutup diri. Atas nama nurani dan hati yang terdalam. Atas nama
cinta yang tulus, bukan karena materi bukan karena nafsu yang bermuara pada
kepalsuan “tubuh”. Benarkah cinta sejati itu se-utopia keadilan? Yang sampai
saat ini masih jadi misteri dan perdebatan? Ah, aku percaya cinta itu “ada”,
karena aku merasakan bulir lembutnya dalam sunyi malam. Ya! Ia ada dan terasa,
seperti wajah ayumu yang memendarkan diri dalam hening solilokui. Meski terkadang
melukai, tapi justru itulah yang disebut cinta, karena ia tak meminta apa-apa,
hanya ketulusanlah yang mengilhami pancaran keteduhan sublimnya. Cinta itu ada karena kita percaya, karena kita mengimani dan mencintai Tuhan yang maha segala, semoga kau membaca! […]
Komentar
Posting Komentar